1,812 KM MENUNTUT KEADILAN — Konflik Agraria di Deli Serdang sejak 1950an

Oleh: Made Supriatma

Konflik agraria di Kabupaten Deli Serdang dan sekitarnya sudah berlangsung sejak Tahun 1950an. Wilayah ini dikenal oleh para peneliti ilmu sosial sebagai ‘the plantation belt’ atau wilayah sabuk perkebunan. Dialah wajah kapitalisme di Hindia Belanda sejak akhir Abad-19. Kota Medan adalah metropolis yang diciptakan kapitalisme ini.

Anthony Reid mengatakan bahwa Medan adalah kota pertama dimana ‘plural society’ benar-benar terwujud.

Perkebunan menciptakan kemakmuran kapitalistik. Seperti sekarang juga, kota-kota menjadi sasaran migrasi. Tidak mengherankan kalau Sumatra Timur juga menghasilkan intelektual dan penulis yang kemudian mendefinisikan apa itu Indonesia.

Kalau Anda akrab dengan teks akademis, akar konflik ini bisa Anda jumpai di buku Ann Stoller, “Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979.” Buku ini menggambarkan bagaimana kapitalisme tumbuh di sabuk perkebunan di Sumatra Timur dan bagaimana konflik-konflik bersemai di sana antara buruh dan tuan kebun, yang terdiri dari pemilik dan manajer-manajer perkebunan.

Perkebunan mengubah wajah Sumatra Timur. Penguasa-penguasa lokal menjadi sangat makmur (Sultan Deli adalah salah satu orang terkaya di Hindia Belanda saat itu). Penguasa-penguasa lokal mengontrakkan tanah kepada para pekebun. Tidak peduli bahwa rakyat masih tinggal di sana. Saat itu rakyat tidak ada artinya.

Tidak mengherankan jika pada tahun 1945 ketika Indonesia diproklamirkan, Sumatra Timur bergolak hebat. Wilayah ini adalah satu dari sedikit wilayah di Indonesia yang benar-benar melakukan revolusi. Iya, revolusi! Rakyat memobilisasi diri membentuk milisi-milisi.

Sasaran utama mereka adalah kaum feodal pribumi dan kaum kolonial (Belanda sudah lari ketika itu; Inggris datang kemudian namun mendapat perlawanan hebat). Keluarga kerajaan diburu dan dibunuh. Turut terbunuh adalah penyair Amir Hamzah. Dia dianggap sebagai bagian dari aristokrasi.

Revolusi juga dibarengi dengan penjarahan tanah-tanah perkebunan. Tanah yang dulunya dikuasai Sultan-sultan dan penguasa lokal — yang hidupnya luar biasa mewah itu — akhirnya diambil alih oleh rakyat. Perkebunan-perkebunan itu diubah menjadi sawah.

Rakyat ini adalah pelaku-pelaku Revolusi. Itu adalah satu-satunya harapan bagi rakyat biasa, yang tidak punya apa-apa, yang tanah-tanahnya dikontrakkan oleh para penguasa lokal kepada kapitalis perkebunan.

Jarang buku-buku sejarah kita menyebut mereka sebagai “pejuang.” Mereka jatuh ke dalam kategori “pemberontak.” Begitulah para sejarahwan kita, khususnya pada jaman Orde Baru, menggambarkan kaum revolusioner ini.

Pada akhir tahun 1950an, perkebunan-perkebunan ini diambilalih oleh militer. Ketika itu Soekarno mengumumkan nasionalisasi perusahan-perusahan asing. Perkebunan yang seluruhnya milik asing itu, diambialih dan militer didudukkan sebagai manajer. Merekalah “Tuan Kebon” baru. Militer ditunjuk karena di banyak perusahan yang dinasionalisasi, para buruh mengambilalih perusahan tersebut.

Keadaan inilah di Sumatra Timur membuat militer berkonflik dengan petani. Militer kemudian menciptakan SOKSI (Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia yang kemudian berubah nama menjadi Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) yang berhadapan dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang radikal dan kekiri-kirian.

Itulah awal konflik militer dengan kaum Kiri, yang sebagian berafiliasi dengan PKI. Namun ada juga yang berafiliasi ke Murba serta partai-partai berhaluan sosialis dan komunis yang kecil.

Keterangan lebih lengkap soal konlfik ini bisa Anda dapati di bukunya Karl Pelzer, “Peasant Against Planters.” Pelzer, ilmuwan sosial dari Yale dan gurunya Ong Hok Ham itu, memberikan detail organisasi-organisasi yang terlibat konflik baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kalau Anda pernah mendengar konlfik Bandar Betsy, dimana ada tentara yang dibunuh, itu tidak terjadi pada ruang kosong. Peristiwa Banda Betsy adalah rangkaian dari konflik agraria yang terjadi sejak Revolusi di wilayah ini. Narasi sejarah saat ini selalu mengatakan bahwa peristiwa itu menjadi bukti kekejaman PKI. Tidak sesederhana itu.

Konflik petani dengan negara dan militer terjadi hingga saat ini. Wilayah-wilayah perkebunan itu sekarang diambilalih oleh negara. Perkebunan-perkebunan itu menjadi BUMN (PTPN). Dan konfliknya pun beralih menjadi konflik antara PTPN dengan petani. Di beberapa tempat, konflik terjadi antara militer dengan petani.

Lagu Karo TANGISAN DEWI PADI

Pada tahun 2015, Pangdam Bukit Barisan ketika itu Mayjen Edy Rahmayadi terlihat memarahi para petani yang menginap di Gedung DPRD I di Medan. Mereka adalah para petani di wilayah Ramunia yang berkonflik dengan TNI-AD. Pihak militer mengaku bahwa itu adalah tanah negara.

Konflik-konflik agraria di sepanjang sabuk perkebunan itu menjadi abadi. Kini pun, ratusan petani dari wilayah Simalingkar dan Mencirim yang berkonflik dengan PTPN II masih bersuara. Saya kira mereka generasi ketiga yang mewarisi konflik ini.

Mereka berjalan kaki dari Medan ke Jakarta. Itu jauhnya 1,812 kilometer. Demikian jauh perjalanan mereka, demikian lama perjuangan mereka. Dan, banyak orangtua mereka dulunya adalah kaum revolusioner di Sumatra Timur.

Sekarang mereka sudah sampai di Tangerang. Mereka akan berkemah di depan Istana Merdeka. Ini akan menjadi pengingat yang sangat baik karena kita akan menyambut 75 tahun kemerdekaan kita.

Untuk para petani dari Simalingkar dan Mencirim serta banyak petani dan kaum buruh Indonesia, kemerdekaan itu tidak pernah datang. Namun mereka tidak pernah berhenti menuntut.

Jika kaki mereka cukup kuat menempuh 1,812 kilometer, tentu Anda bisa bayangkan bagaimana perjuangan mereka tidak padam setelah tiga generasi.

Untuk diingat: bahkan setelah 75 Tahun Republik, kita belum sepenuhnya merdeka!

Video selengkapnya di bagian ke-27 :
https://youtu.be/YK1Q-wG_Hj0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.