Oleh: Robinson G. Munthe (Jakarta)
Sebagai pengantar diskusi dan penggugah, saya bisa menangkap semangat dalam tulisan Reinaldo Sembiring Meliala yang berjudul “Jalan Ngumban Surbakti berbisik” (lihat https://www.sorasirulo.com/?p=4979). Poinnya adalah kemajuan Karo dimulai dan ditentukan oleh tiap-tiap manusia Karo-nya. Jangan mengharapkan (apalagi menunggu) Karo besar bila para individu-individu Karo-nya tidak “besar”. Karena itu, kita jangan menuntut “Karo yang besar dan terhormat” kalau tiap individunya tidak berusaha “membesarkan dirinya” lebih dulu.
Ada tugas bersama yang dituntut dari kita untuk Karo, tapi ada pula tugas individu. Tugas bersama contohnya menyikapi Jl. Ngumban Surbakti. Tugas individu kita adalah meningkatkan kualitas kita masing-masing dan keluarga. Keduanya berjalan sinkron dalam prioritasnya masing-masing. Contoh tugas individu misalnya sebagai pelajar/mahasiswa. Prestasi seperti apa yang disasar sebagai pelajar/mahasiswa Karo? Sebagai profesional atau pekerja, apa visi karirnya?
Demikian juga bidang-bidang lain yang digeluti tiap insan Karo. Mindset kita memang seharusnya berubah menyikapi arus zaman. Misalnya, soal pilihan karir atau profesi, sudah saatnya anak-anak muda Karo tidak lagi berorientasi mengejar karir pada instansi-instansi pemerintah karena menganggap itu “bergengsi dan aman masa depannya”. (Ada saudara yang bilang untuk bisa jadi PNS di Sumut harus bayar Rp. 150 Jt).
Semua profesi bergengsi dan bermasa depan jika digeluti sungguh-sungguh dan jangan sekedar bisa (medioker). Juga soal kuliah agar mendapat “gelar atau titel” sudah seharusnya ditinggalkan. Kecuali untuk beberapa profesi yang memang menuntut gelar/strata tertentu. Itu semua butuh perubahan pola pikir, dan itu mulai dari diri sendiri.
Reinaldo lenga sempat kita ertutur tapi ugapa pe erkade-kade nge kita ma bage? Ketika kam mengatakan bahwa orang Karo sudah terlihat kelemahannya saat pemberian nama Tahura sekian tahun lalu maka saya langsung tergelitik. Saya terlibat langsung dalam pemberian nama Tahura dan saya tahu betul bahwa orang Karo sama sekali tidak lemah saat itu. Bahkan orang Karo mendapat acungan jempol dari orang2 Batak (yang lain) ketika itu. Bila perlu saya akan cerita peristiwa yg sesungguhnya terjadi. Tapi kalau boleh tahu mengapa kam bilang Orang Karo lemah soal pemberian nama tsb?