Kolom M.U. Ginting (Swedia): Revolusi Dalam Evolusi (Kepercayaan Tradisional, Kultur dan Agama)

M.U. GintingEvolusi perkembangan manusia dari berbagai segi telah banyak terlukiskan dalam buku-buku. Salah satu yang paling tua ialah tentang proses perkembangan makhluk hidup seperti yang dibukukan oleh Darwin. Pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi, setelah manusia bermasyarakat, berangsur terjadi proses munculnya kepercayaan dan perkembangan kepercayaan (kemudian agama), yang pada dasarnya adalah expresi budaya dan kultur serta way of thinking suatu masyarakat tertentu.

foto pilihan 1
GADIS DI PINTUN PERIK (Fotografer: Romero Ginting. Model: R.R. May Ratri Damayanti. Lokasi: Rumah Mbelin, Dokan, Kecamatan Merek)

Maksud utama pada mulanya ialah untuk mengantisipasi bahaya yang mengancam kehidupan manusia ketika itu seperti kekuatan alam dan kekuatan ‘gaib’ lainnya yang bisa mematikan manusia, dan jauh di luar pengetahuan dan kekuatan manusia. Terlihat jarang ditulis bahwa agama itu adalah pencerminan way of thinking dan way of life masyarakat tertentu, nation tertentu atau etnis tertentu.

Biarpun tak ditulis, hal ini terlihat juga dalam kenyataan sekarang, dalam kristen atau islam. Di Indonesia ada ‘islam jawa’, yang disesuaikan dengan adat dan way of thinking orang Jawa. Islam di Arab atau islam di Turki, juga masing-masing sesuai atau disesuaikan dengan kultur dan budaya masing-masing negeri itu. Karena itu perbedaan dalam agama walupun sama-sama islam atau sama-sama kristen, tetaplah budaya dan kulturnya yang membikin berbeda, atau sebagai asal-usul perbedaan.

Perang etnis di mana-mana walaupun agamanya sama menunjukkan bagaimana kuatnya expresi kultur/ budaya dalam agama. Atau dengan perkataan lain, expresi kultur/ budaya tiap etnis/ nation adalah yang menentukan proses perkembangan interaksi antara dua etnis/ nation.

Dalam agama Kristen terlihat perbedaan expresi kultur/ budaya yang sangat berlainan bahkan berkebalikan atau kontradiktif yaitu antara kultur/budaya dan way of thinking dalam Perjanjian Lama dan dalam Perjanjian Baru. Hal ini sering juga disebutkan dengan ungkapan ‘biblical contradiction’.

Ke Karo. agama Kristen dibawa oleh Belanda, dan ke Batak oleh orang Jerman, dua bangsa Barat yang juga berlainan kultur dan budayanya. Orang Belanda membawakan Kristen Calvinis sedangkan orang Jerman bawa Lutherian. Terjadi sedikit ‘kelucuan’, dimana kultur Calvinis Belanda dan kultur Lutherian Jerman masing-masing jatuh ke Karo dan ke Batak.

Tanpa disengaja, kebetulan kompatibel pula dengan perbedaan kultural Calvinis dengan Lutherian Eropah. Dua mental berbeda yang dibawakan oleh dua mental guru, kebetulan ompatibel dengan dua mental murid didiknya masing-masing. Sekiranya Lutherian diajarkan ke Karo atau sebaliknya Calvinis diajarkan ke Batak, pasti sejarahnya akan lain sekali, kalaupun tidak berabe.

Sebagai tambahan, perlu juga dijelaskan bahwa kehadiran agama Kristen di Karo mulanya diusahakan oleh kolonial Belanda untuk antisipasi perlawanan orang Karo terhadap penjajahan (perampokan tanah-tanah subur Karo di Deli dan Langkat oleh kolonial Belanda sangat ditentang keras dan dilawan mati-matian oleh orang Karo). Jadi, maksud Belanda semata-mata adalah menjinakkan orang Karo sebagai kebutuhan langsung dan kepentingan utama Belanda ketika itu.

Agama Kristen ke Karo membawakan kultur dan budaya kolonial Belanda. Adanya perubahan (revolusi) kepercayaan dalam kultur/budaya Karo, dalam soal kepercayaan ini dimulai dengan kedatangan kolonial ke Karo. Setelah merdeka, Belanda pergi. Dengan hilangnya penyebab pertama, perubahan kepercayaan ini (Belanda) dari Karo  sepertinya Karo kembali ke alam evolusi kepercayaannya, agama Pemena dan tradisinya.

Di Karo kembali tak ada yang mengganggugugat keasliannya. Tradisi, kultur/budaya dan way of thinking Karo, termasuk dialektikanya berjalan lagi seperti biasa, dan yang pada kenyataannya sudah berjalan (evolusi) secara alamiah apa adanya sejak 7500 tahun lalu (penemuan tertua sivilisasi Karo dan Gayo di dataran tinggi Gayo 2012).

Sampai jatuhnya Soekarno dan berdirinya Orba, proses evolusi kepercayaan serta kultur/ budaya dan tradisi Karo masih berjalan. Ketika Orba berkuasa, paksaan atas Karo mulai lagi, dan jauh lebih kejam dari paksaan politik kolonial orang Belanda. Karo dipaksa meninggalkan evolusi kepercayaan atau agamanya dan harus memeluk agama yang disediakan oleh Orba. Karo terpaksa melaksanakannya karena ancaman yang sangat berat dari rezim Orba. Karo memillih Kristen, Islam, Hindu/ Buddha. Yang terakhir ini lebih mendekati tradisi/ way of thinking Karo. Karena itu banyak juga pengikutnya, walaupu pilihan terakhir ini tidak begitu populer secara ‘nation’ (informasi tambahan dari redaksi, di tahun 1985, Karo sempat dikenal seabgai penganut Hindu terbesar di Indonesia setelah Bali dengan penganut resmi sebanyak 5.000 jiwa dan simpatisan 5.000 jiwa).

Apapaun yang dipilih orang-orang Karo (Kristen atau Islam) kebanyakan tidak mengganggu dalam pemikiran tradisional adat istiadat Karo. Karena itu, banyak juga yang heran (di kalangan pengikut agama yang lebih fanatik) mengapa orang Karo tak mempersoalkan agamanya (Islam atau Kristen) dalam upacara-upacara adat Karo. Bahkan dalam satu keluarga, tidak jarang anggota keluarganya menganut beragam agama, hal mana sangat jarang terjadi di kalangan penganut agama Islam/Kristen yang sudah mapan seperti dalam satu kultur/etnis tertentu.

muginting 14
Click foto untuk ukuran besar

Yang tidak mengerti dan tidak mengikuti proses perkembangan evolusi dan revolusi kepercayaan Karo tentu merasa heran. Bagi orang Karo sepertinya masih berlaku kuat, bahwa kultur/budayanya sangat melekat ke pemikirannya atau ke sikap dan identitasnya dalam menghadapi kehidupan sosial sehari-hari sesama Karo. Begitu juga sopan santun Karonya tetap terbawa dalam pergaulan dengan orang-orang di luar Karo. Karena itu juga maka terkenal istilah ‘Batak halus’ terutama di Jawa sebagai nama julukan bagi orang Karo. Istilah ini datang dan muncul karena ketidakpengetahuan tentunya. Karo tak ada yang mengenal.

Politik isolasi dengan ‘pembatakan’ Karo yang dimulai oleh pemerintahan kolonial sejak era Karo Rebel Badiuzzaman Surbakti (Batak Oorlog, 1872-1895) dan diteruskan oleh Orba selama 30 tahun lebih, pada Era Reformasi terjadi perubahan-perubahan besar dan mendasar.

Istilah Batak bukan dari orangnya, kata DR Ichwan Azhari (Unimed) diperkuat oleh DR Daniel Perret bahwa istilah ‘Batak’ dipakai dalam politik adu domba kolonial.

Dalam perang perlawanan yang paling lama di Indonesia, Perang Sunggal (Karo-Rebel) istilah ini dipakai untuk menghina dan mengisolasi perlawanan patriotis orang Karo di bawah pimpinan keluarga Badiuzzaman Surbakti. Selama 33 tahun kekuasaan Orba, istilah ini telah berhasil mengucilkan dan mengisolasi Karo dari mata dan pengetahuan umum.

muginting 15
Click foto untuk ukuran besar

Karo sebagai suku yang mandiri dan sejak Era Kolonial terkenal sangat patriotis (nasionalis), dibenci dan ditakuti oleh kekuasaan penjajah Belanda, juga terkenal sebagai suku Soekarnois dalam Perang Kemerdekaan, tetapi pada era anti-Soekarnois Orba, Karo sama sekali tidak pernah dikenal lagi oleh kebanyakan orang Indonesia. Suku Karo dengan patriotis nasionalisnya sepertinya lenyap dari muka bumi Indonesia, tetapi malah dikenal sebagai ‘Batak halus’. Yang lebih lucu lagi ialah bahwa dalam bahasa Karo ‘batak’ punya arti lain yang sangat  negatif yaitu ‘perampok’ atau ‘orang yang mengembara sambil merampok’ (kamus Karo-Indonesia, Darwin Prinst, Bina Media 2002).

Setelah jatuhnya Orba dan dimulainya Era Reformasi, Karo berangsur kembali lagi ke evolusinya, way of thinkingnya, dialektikanya, tradisi, kultur dan budayanya yang selama lebih dari 30 tahun dipaksa ‘sembunyi’. Yang sangat lebih menggairahkan Karo ialah terjadinya ethnic revival atau cultural revival dunia, bersamaan dengan jatuhnya Blok Soviet. Pembebasan kultur/budaya etnis-etnis maupun nation-nation dunia yang selama abad 20 sangat tertindas dan tunduk di bawah kultur/budaya yang lebih dominan, seperti Rusia di Uni Soviet, Serbia di Yugoslavia, Tutsi di Rwanda, dan banyak lainnya, sangat menjadi inspirasi pembebasan kultur/ budaya bukan hanya bagi banyak etnis-etnis lainnya di Indonesia, tetapi juga sangat berpengaruh besar bagi renesans kultur/budaya Karo dalam Era Reformasi.

Sejalan dengan arus besar gerakan pembebasan kultural pada era ethnic/cultural revival dunia, pengaruh negatif politik kolonial ini mulai terkikis sampai ke akar-akarnya. Orang Karo beramai-ramai secara merakyat menegasi dan menghapus peninggalan politik kolonial ini dengan gerakan pencerahan yang sudah terkenal sekarang yaitu KBB (Karo Bukan Batak) sebagai salah satu revolusi besar yang sangat penting dan menentukan dalam proses dan perkembangan evolusi kultur dan budaya Karo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.