Sinabung: You can’t stop the wave, but you can learn to surf

Foto: Ari Angin

Oleh: Rudy C. Pinem (Jogjakarta)

Ada 3 fase penanganan terkait kebencanaan: sebelum, selama dan setelah bencana terjadi. Ketiganya saling kait-mengkait, tak bisa dipisahkan begitu saja, dan harus diingat: INTERDISIPLINER. Penanganan ketika erupsi Sinabung 2010 bisa dimaklumi karena tidak ada persiapan sebelumnya. namun erupsi 2013 ini, mestinya ditangani secara lebih baik, karena sudah ada referensi dari 2010. Saya pribadi percaya bahwa pemerintah, baik kabupaten, propinsi maupun pusat, akan memberi perhatian lebih pada Sinabung. Relokasi bagi warga di wilayah yang paling terdampak tentu bukan pilihan yang mudah, meski tidak mustahil. seperti kata bang Juara R Ginting, bikin KEJUT BADAN.

Setidaknya, menurutku, dibutuhkan 3 hal pula untuk mewujudkan hal tersebut: (1) aturan main yang mampu menjamin kehidupan yang lebih aman dan penghidupan yang lebih layak bagi para warga yang hendak direlokasi, (2) kesiapan aparat untuk menjamin pelaksanaan relokasi yang akuntabel, dan (3) kebesaran hati masyarakat untuk belajar mencintai Sinabung dari sudut yang berbeda.

Apakah relokasi harus segera dilakukan atau menunggu redanya erupsi Sinabung? Aku kira, di sinilah pentingnya keterbukaan dari semua pihak. Jika ternyata ketiga desa dimaksud hancur dihantam erupsi kali ini, tentu tidak ada pilihan lain, pemerintah harus segera menyiapkan warga untuk relokasi. Namun, jika hingga erupsi berakhir desa ersebut masih tegak berdiri, tentu dibutuhkan kearifan dari para pemimpin untuk berdialog dengan warganya untuk mencari solusi terbaik bagi pengurangan resiko bencana.

Berkaca pada pengalaman menangani korban Tsunami di Aceh, ada sebuah desa bernama Kuala Bubon di Aceh Barat yang menolak perintah pemerintah untuk relokasi meski desanya terkubur menjadi rawa 3 meter pasca Tsunami 2004. Argumen mereka cukup sederhana, “apa gunanya kami punya perahu, jika tidak tinggal di pinggir pantai?”

Mereka yakin bahwa angin Barat akan mengirimkan pasir dan material lainnya untuk menimbun rawa tersebut dan mengembalikan desanya seperti sedia kala. Kegigihan warga untuk berjuang mempertahankan desanya, bahkan dengan demonstrasi dan gedor-gedor rumah pejabat daerah, membuahkan hasil dengan disetujuinya tuntutan warga untuk kembali ke lokasi semula. Ketika pembangunan rumah di Desa Kuala Bubon selesai dilakukan, kedalaman rawa tinggal 1 meter, bukti keyakinan warga yang lebih mengenal alamnya dari siapapun.

Kembali ke Sinabung, tentu berbeda dengan Tsunami di Aceh maupun Merapi di Jogja – Jateng. Sinabung memiliki keunikannya sendiri dan karenanya dibutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Terlalu lama nyenyak dalam buaian bubur panas dari tungku cincin api, tentu kita harus disadarkan untuk tidak hanya memetik panen buah suburnya Tanah Sinabung. Namun kita juga harus mau belajar bersahabat dengan perilakunya yang sekarang suka gelisah meminta perhatian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.