Sirabit Dates (Karo Simbisa Watch) [Bagian 1]

sirabit dates 1

Oleh: Juara R. Ginting  

 

Gunung Sutember masih berselimut kabut. Bukit-bukit kecil di sekeliling tidur pulas. Tak mau dengar celoteh burung dan monyet berlompatan dari dahan ke dahan, menyongsong jarum-jarum mentari menusuk sela-sela dedaunan. Di rimba raya Segi Tiga Emas. Perbatasan Karo, Aceh dan Langkat.

Secara pemerintahan, Gunung Sutember masuk wilayah Keresidenan Tapanoeli. Tepatnya Onderafdeling Dairilanden. Tapi, bagi orang-orang Karo, seputaran gunung ini adalah bagian Taneh Karo, tepatnya Karo Berneh.

“Kita lanjutkan perjalanan,” seorang diantara lima pemuda itu berseru pada empat temannya.

Dengan sigap mereka berkemas. Meninggalkan rongga akar-akar pohon raksasa tempat mereka lewatkan malam di dasar lembah yang masih termasuk wilayah Nini Sutember.

“Untung kita menemukan Dalen Sira,” dengus seorang diantara kelima pemuda sambil menyelempangkan sarungnya dan kemudian menghapus wajah dengan ujung sarung.

Sebelas hari lalu, mereka terlibat pertempuran sengit di Langkat. Laskar pimpinan Togeng Wari  Manik menyerang tambang minyak Pangkalan Berandan. Banyak diantra laskar badannya terkoyak-koyak oleh peluru musuh. Ada yang mati di tempat dengan tubuh ditembusi peluru. Ada terluka parah dan tak sempat ditolong oleh teman-temannya yang terpaksa lari pontang panting diberondong peluru Belanda. Selebihnya, kocar-kacir ke segala penjuru diburu peluru dan mortir KNIL pimpinan Leutenant Jan Onderbroek.

Kelima pemuda terpisah dari rekan-rekan seperjuangan saat disergap musuh dekat Rumah Galuh. Mereka sempat bingung saat tiba di Lau Bekancan, Telagah (Langkat Hulu). Apakah mereka mengambil jalan kiri menuju Durin Serugun (Deli Hulu) atau menuju Toraja (sekarang Kutarayat, red.) yang terletak di Karo Gugung, Urung Empat Teran.

Akhirnya mereka putuskan untuk menyembunyikan diri di Rumah Galuh yang letaknya tak jauh dari Telagah dengan perhitungan esoknya segera menuju Toraja.

Tak dinyana, pikiran mereka telah terbaca oleh pasukan Jan Onderbroek. Konon, leutenant muda asal Boekel (Noord Brabant) ini, sebuah kota kecil terpencil di Negeri Belanda, rajin membaca arsip-arsip lama di Museum Volkekunde, Leiden. Jan sangat meminati deskripsi Pdt. H.C. Kruyt tentang jalan-jalan pemikul garam (perlanja sira) dari Karo Jahe ke Karo Gugung. Menurut perhitungannya, para laskar tidak akan terlalu jauh menempuh Sumbo Ikan Pass di Deli Hulu. Mereka akan menempuh Bekancan Pass lewat Rumah Galuh.

Betul saja. Para laskar terkejut amat ketika mendekati Rumah Galuh mereka disambut siraman peluru musuh.

“Tigaaaaannnnnnnn !!!!!!!!” Basie Karo yang merga Surbakti ini menjerit kesakitan ketika pundaknya sebelah kanan disambar peluru lawan. Dia berlari sekencang-kecangnya tanpa tahu arah di gulita malam. Basie berteriak memanggil tunangannya yang beru Tarigan. Mereka sudah merencanakan Nangkih setelah penyerangan pangkalan minyak Berandan.

Entah lanai kari surung erjabu ndai, ateku nak,” katanya kepada sesama laskar yang selamat dari sergapan pasukan Onderbroek. Itu dikatakannya 2 bulan setelah peristiwa ketika mereka bertemu kembali dan teman-temannya yang bertanya mengapa dia berteriak “Tigaaannnn”.

Peristiwa Rumah Galuh memang tak bisa dilupakan oleh para laskar Barisan Harimau Liar (BHL). Mereka berserak pontang-panting melarikan diri masuk hutan.

Kelima pemuda adalah satu kelompok yang, entah bagaimana jalan ceritanya, mereka sendiri tidak tahu, tiba-tiba saja dihadang oleh air terjun Belingking di depan mata.

Di Belingking, mereka putuskan berjalan ke Karo Gugung, tepatnya ke wilayah hutan belantara Urung Liang Melas. Mereka berlima adalah Ngosari Tarigan, Ngoudak Perangin-angin, Dodas Sembiring, Kernep Karo-karo dan Paguh Ginting.

“Ke mana tujuan?” Ngosari menatap rekan-rekannya bergantian usai menakjupi keindahan air terjun Belingking.

“Kita makan siang di Amburidi” jawab Paguh sambil membagikan ubi bakar kepada teman-temannya.

“Untung ada pencari rotan membekali sarapan pagi,” kata Kernep dan langsung menyikat ubi bakar bagiannya.

“Ah. Kau terus-terusan untung. Ke mana kita sekarang?!” Ngoudak yang dijuluki teman-temannya ahli “pemetaan masalah dan pematangan tujuan” mengingatkan kembali pertanyaan Ngosari.

“Begini …” sambil mengunyah ubi, Dodas membeberkan peta perjalanan.

“Dari Amburidi kita ke Kuta Malé dan seterusnya ke Kuta Buluh. Mungkin kita bisa makan malam di Kuta Buluh. Aku kenal pengulu Rumah Tersek. Bila kita tiba agak sore di sana, kita lanjutkan saja ke Tiga Kerenda. Aku harap pasukan Pa Jerngem masih di sana. Kita menggabungkan diri dengan mereka.”

Kernep melirik ke arah Paguh saat Dodas menyebut Pa Jerngem.

“Apa salahnya?” ucap Paguh seolah mendengar isi pikiran Kernep.

simbisa 4Mereka melanjutkan perjalanan. Sesekali meraba pinggang kiri dengan tangan kanan setiap ada suara tak jelas.

Sekitar Pkl. 12 siang. Laskar tiba di perladangan Amburidi. Ada beberepa pondok berkolong. Dikitari hamparan ladang padi. Beratap ilalang berdinding tepas. Ditopang kayu-kayu sebesar paha orang dewasa. Ada pondok bertopang tenggiang. Di satu sisi pondok umumnya terlihat sagak bambu tempat ayam bertelur.

Di halaman. Beberapa bocah telanjang asyik bermain patuk lélé. Ayam berseliweran sekitar mereka.

Seekor induk ayam asyik mengais bersama belasan anak-anaknya yang baru menetas. Ayam jarah-jarah berjalan lincah cari tanah baru tempat memagut makan. Seekor ayam jago merayu seekor jarah. Merapat sayap menepuk paha. Mengelilingi jarah setengah lingkaran. Beberapa jago lainnya beradu kokok.

Seekor jago Cabur Bintang mengkilau mengejar betina cokelat kekuning-kuningan. Menyeberang tempat bocah bermain. Gaya ayam betina itu seperti benar saja dia ketakutan sangat dicotok Si Cabur Bintang yang mengejarnya hingga kolong sebuah pondok.

Si Cabur Bintang menjambak tengkuk betina dan mendekap punggungnya. Ada getaran. Dan, selesai. Si betina salah tingkah. Mengais tanah. Menunduk kepala. Seolah tak pernah terjadi. Para bocah tak peduli dan meneruskan permainannya.

Kelima laskar mencuat dari dalam hutan. Aron Si Siwah mendongak dari tengah ladang. Tangan menongkat ujung tangkai pacul. Memandang heran ke arah lima laskar yang sedang menghampiri.

“Kuja nge aténdu é limana, mama?” aron paling centil menyapa sambil tersenyum manis dan berkacak pinggang menonjolkan tubuhnya yang, memang, menurut pemuda kampung, lumayan molek.

“Mau ke Amburidi, turang. Di kampung apa gerangan kami berada?” Ngosari menyahut.

“Ini perjuman Amburidi. Kalau kam hendak ke rumah kuta, masih sekitar sejam dari sini,” aron menimpali tanpa bergerak dari tempatnya. Tetap dengan lagak centilnya.

“Berhenti dulu, mama. Mari minum. Hari begini siang kam pasti haus,” satu aron yang tampak lebih dewasa mengajak mereka mampir.

“Nandé Aron,” bisik Paguh pada Kernep.

Mereka mampir. Dipersilahkan duduk bersaung daun biru. Lagi-lagi Nandé Aron mengambil inisiatip. Dia sodorkan seruas kitang minuman kepada laskar dan menyuruh satu aron segera ke kampung.

“Katakan pada ibu. Ada lima simbisa hendak makan. Kam bantu ibu menyiapkan makanan. Kam suruh anak-anak di rumah menangkap seekor ayam,” lagi-lagi mengambil inisiatip yang tak bisa disanggah oleh siapa saja. Karena, “memang begitu sepatutnya”, bisik semua dalam hati.

“Ué, tua,” gadis itu beranjak.

Tanya jawab dan cengkerama para aron dan laskar. Dari mana mau ke mana. Merga dan beberé. Asal kampung. Keadaan perjuangan. Dan ke sana ke mari. Kadang serius. Kadang berekor gelak tawa. Dibumbui malu-malu kucing.

Hingga kecelakaan itu datang. Paguh tak tahu buat apa. Kecuali, ah … Langgumina, Si Rabit Dates, mengantarnya ke sebuah sapo pergulan (Bersambung).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.