GPK (Gerakan Penyatuan Karo) Menghadapi Pemilu 2014 (Bagian 1)

Oleh: M.U. Ginting (Swedia)

 

 

M.U. Ginting“Pada Pemilu mendatang, suara orang Karo harus bersatu mendukung calon DPR dan DPD dari orang Karo,” ujar tim pengundang, Bengkel Ginting dalam pemaparannya. Selanjutnya dia katakan juga: ”Sebenarnhya saya enggan bersikap primordial namun, kali ini, harus dilakukan . . . ”. Jelas kita harus bersikap primordial, artinya primordial yang positif, berguna dan perlu bagi perubahan dan perkembangan Karo.

Sebagai orang Karo, memilih Karo atau tidak memilih Karo, ada dua pendapat yang bertentangan di kalangan Karo sendiri. Ini bisa terlihat juga pada Pilkada Karo yang lalu, antara calon Karo 100% (Karo Jambi) dan calon fifti-fifti Karo-Batak (Siti/Sagala). Karo Jambi dalam putaran ke dua menang Total, bisa dikatakan. Dan, ini tidak rasional, kata seorang pengamat sosial politik USU drs. Wara Sinuhaji MHum.

“Asal orang Karo, siapa pun “gilapun” tidak masalah, pokoknya orang Karo. Itulah yang sekarang berkembang di sana,” kata Wara  (Selengkapnya lihat di   http://www.inaberita.com/beta/view.php?newsid=3267)

Memilih Karo atau tidak memilih Karo merupakan dua macam pemikiran. Satu  pemikiran yang mewakili pembaharuan dalam soal primordialisme, dan yang lain tetap mempertahankan primordialisme lama atau sukuisme sebagai barang ’tabu’ dalam hubungan antar etnis. Yang ke dua ini adalah karena pengaruh satu abad lebih definisi negatif primordialisme yang dipaksakan oleh ahli-ahli Barat dengan tujuan untuk menahan dan menekan  perkembangan primordialisme positif kultur dan budaya dari suku/ nation jajahan. Bersamaan dengan itu pula sekaligus memasukkan kultur/ budaya jelek kolonial ke suku atau bangsa jajahannya, termasuk juga racun dan budaya multikulturalisme yang sudah gagal total. Budaya multikulturalisme ini sudah dinyatakan gagal total di Eropah sejak permulaan abad 21, a. l. oleh PM Jerman Angela Merkel dan PM Inggris Cameron.

Dari pengalaman memilih Karo Jambi dalam Pilkada Karo 2010, ternyata kemudian tidak sesuai dengan cita-cita rakyat Karo. Sekarang, sudah menjadi kenyataan setelah beberapa tahun praktek kekuasaannya. Walaupun kalau tadinya memilih calon fifti-fifti (Siti/Sagala) bisa juga menemui nasib yang sama, karena kedua kemungkinan itu adalah sama-sama spekulasi saja, sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia; bahkan sampai ke tingkat jabatan yang lebih tinggi seperti gubernur dan presiden.

Tingkat perkembangan daerah dan negeri kita masih begitu. Kita masih ingat Gubsu gagal dan Presiden juga gagal.

Tetapi, apa yang dimenangkan oleh rakyat Karo ialah keberaniannya mempertahankan kekaroannya, walau dengan risiko apa sekalipun. Inilah hasil yang menentukan, perubahan dan perkembangan pemikiran etnis Karo dari takut dianggap sukuisme/ primordial menjadi pendobrak utama kenegatifan primordialisme dan menjadi contoh penting di seluruh Indonesia dalam mengikuti ethnic/ cultural revival dunia.

Inilah yang akan menentukan kemenangan Karo yang mendasar dari segi Karo; bagi orang Karo yang masih menganggap Karo adalah basis kultur, budaya dan identitasnya. Pengalaman selama ini telah menunjukkan dengan tegas bahwa kultur/budaya dan Identitas tidak bisa dibohongi.

Tetapi, dalam hubungan dengan Pemilu 2014 ini, kita melihat juga perkembangan yang lebih menarik di kalangan Karo dan pemikiran Karo yang selama lebih dari setengah abad (sejak kepergian Balanda) belum pernah terjadi; yaitu munculnya gerakan penyatuan suara/ potensi Karo menuju perwakilan Karo di DPR atau DPD. Ini mungkin juga disebabkan oleh pertimbangan atas absennya orang Karo di badan-badan atau lembaga-lembaga nasional dalam waktu yang begitu lama.

Tak bisa tidak disebutkan juga ialah tersingkirnya orang Karo dari badan kekuasaan Sumut. Karo jelas terpinggirkan atau memang dipinggirkan. Ini juga terjadi di kota Medan yang notabene adalah daerah ’panteken’ orang Karo.

Gerakan Penyatuan Kekuatan Karo sejajar dengan gerakan kultural KBB (Karo Bukan Batak) dan keduanya sangat erat hubungannya. Gerakan KBB akan memperkuat dan telah berfungsi sebagai dasar Gerakan Penyatuan Karo (GPK) atau Gerakan Arih Ersada Karo. Ke dua gerakan ini punya dasar yang sama, yaitu primordial Karo.

Unsur-unsur penting primordial Karo ialah kultur/ budayanya yang sudah berumur lebih dari 7.400 tahun, seni arsitekturnya yang tinggi, identitasnya, filsafat hidupnya, dan dialektika Karo dalam way of thinking Karo, serta daerahnya yaitu semua daerah-daerah ulayat orang Karo. Selain Kabupaten Karo yang secara tradisional disebut Karo Gugung, ialah Langkat, Deliserdang termasuk Bangunpurba yang diserahkan ke Sergai (secara tradisional disebut Karo Jahe), Dairi-Karo (Taneh Pinem, Tigalingga dan Gunung Sutember), juga ada di Alas dan Simalungun.

Unsur-unsur primordial yang sangat penting ini tak mungkin exis tanpa daerahnya, sebagai tempat yang bisa menjamin existensinya dan perkembangannya. Contoh konkrit dalam soal ini ialah Israel dengan primordial Yahudinya dipertahankan mati-matian oleh penduduk Israel orang Yahudi. Jangan sampai terdesak oleh kultur sekelilingnya terutama kultur dan primordial Arab.

Kalau orang Karo gagal dalam pilihannya, bukanlah soal besar, karena ada soal yang lebih penting dari keberhasilan atau kegagalan (Bersambung).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.