GPK (Gerakan Penyatuan Karo) Menghadapi Pemilu 2014 (Bagian 2)

Oleh: M.U. Ginting (Swedia)

Ide – aksi – gagal. Seterusnya ide – aksi – sukses

M.U. GintingIni berlaku sepanjang masa dan di mana saja. Karo tak perlu takut kegagalan, karena kegagalan adalah pelajaran. Pelajaran yang sangat berharga, tidak bisa diperoleh dari sekolah, sekolah apa sajapun atau sekolah tinggi apapun, walau dengan biaya setinggi apapun. Kalau Karo gagal kali ini, tapi sudah berhasil menjalankaan dan mencapai misinya, yaitu melahirkan GERAKAN PENYATUAN tadi.

Mengapa kita harus memilih orang Karo, bukan memilih orang Mandailing atau Batak?

Bahwa orang Karo akan memilih orang Karo untuk memimpin daerahnya sendiri adalah satu pemikiran rasional dalam cultural revival dunia, tak ada keraguan. Tak masuk akal juga kalau dibilang orang Karo lebih bodoh dari etnis lain, walaupun orang Karo banyak ketinggalan sebagai akibat dari ketajaman ethnic competition yang tak terelakkan, terutama dalam segi-segi ekonomi maupun lapangan lain yang sangat menyolok kelihatan yaitu dalam soal jabatan/kekuasaan.

Ethnic-rivival atau Cultural-revival dunia adalah revolusi besar kultural, adalah arus perkembangan sosial dunia yang sangat terlalu dahsyat untuk ditentang, berpura-pura tidak tahu atau tak urusan, misalnya dengan sikap pro ’persatuan dan kesatuan’ sehingga tidak harus memilih Karo.

Pengaruh pergolakan ethnic-revival ini dengan segala macam bentuknya termasuk perang etnis yang sangat kejam dan makan jutaan korban jiwa di banyak tempat di dunia juga Indonesia (Kalbar, Kalteng, Maluku dll). Ini merupakan pencerminan nyata ’revolusi’ etnis/kultur itu sangat masuk ke darah daging dan jiwa orang Karo.

muginting 35Pertama, karena orang Karo merasakan sendiri perlunya kebangkitan sesuai dengan keadaan konkret etnisnya dan daerahnya di Sumut yang semakin terdesak dan tak punya kekuasaan apa-apa di propinsi Sumut dan bahkan di Sumtim terasa dominasi etnis luar (Tapanuli: Mandailing dan Batak). Apalagi kalau ngomong soal perwakilan Karo di Pusat. Orang Karo lebih memahami lagi persoalan ini karena orang Karo sangat fasih mengikuti informasi internet yang sangat lengkap terutama dalam soal-soal ethnic/cultural revival dunia pada akhir abad 20 dan permulaan abad 21.

Sejak lengsernya Orba, orang Karo merasakan kebutuhan utama kultural yang mendesak tak bisa ditunda-tunda lagi, yaitu kebutuhan cultural values and norms yang selama ini dirasakan tak terpenuhi atau bahkan disingkirkan dari kehidupan Karo dengan momok sukuisme, SARA, primordialisme, daerahisme, dll. yang sangat merugikan dan menghambat perkembangan Karo secara kultural/etnis serta begitu juga daerahnya yang semakin terdesak oleh etnis-etnis lain dengan kedok ’satu nusa satu bangsa’ seperti terjadi di Kalteng atau Maluku.

Cultural values and norms adalah kebutuhan sosial manusia yang tak bisa ditawar-tawar. Bahwa tiap orang berafiliasi ke kultur tertentu, adalah salah satu dari kebutuhan utama manusia. Terlepas dari apakah kita membicarakannya atau diam saja tanpa membicarakan. Kalau didiamkan saja tak dikeluarkan, tidaklah berarti bahwa kebutuhan itu sudah hilang tak berbekas, tetapi malah cenderung membara seperti api dalam sekam. Meledak seperti bom waktu jika sudah tiba waktunya. Hal seperti ini juga sudah banyak contohnya di banyak tempat di dunia.

Cultural values and norms berbeda bagi tiap etnis/kultur. Ada Karo, ada Batak, ada Jawa, dsb. Ini sepenuhnya ditentukan oleh keasilan serta kedinamisan potensi primordial yang ada pada tiap suku/kultur.  Kebutuhan kultural orang Karo tentu saja tak bisa dipenuhi oleh etnis/kultur lain. Kebutuhan kultur dan afiliasi Karo hanya bisa dipenuhi oleh kultur Karo yang tertanam dalam primordial Karo. Dalam era globalisasi, lebih ditekankan lagi oleh Erik Lane dalam bukunya “Globalization and Politics: Promises and Dangers” menulis:

“The focus is almost exclusively at ethnics and not nations . . . Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.”

Atau seperti juga dikatakan oleh professor sejarah J.Z.Muller:

“Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape the world in the twenty-first century.” (Jerry Z. Muller is Professor of History at the Catholic University of America).

muginting 36Semua kesimpulan dan pernyataan di atas tidak bertentangan dengan filsafat hidup Karo sikuningen radu megersing siagengen radu mbiring. Malah sangat cocok dengan perkembangan dunia dalam pengertian internasional win/win solution.

Ini artinya, bagi orang Karo atau kultur Karo yang mengutamakan afiliasi kekaroannya sebagai dasar titik tolaknya memperjuangkan keadilan (daerah atau nasional), sudah sesuai dengan perkembangan situasi dunia sekarang.

Dalam percakapan kita di milis biasa juga kita sering bilang dari daerah ke nasional. Jargon politik lainnya seperti pelestarian budaya dan kultur, kearifan lokal, dll. Karo sudah bertekad akan selalu berusaha membikin ini semua dalam kenyataan dan juga adalah mungkin karena, terutama ialah karena way of thinking Karo dan filsafat hidupnya dan dialektikanya, sesuai semua dengan arus besar perkembangan dunia.

Karena itu, Karo memilih Karo adalah kebutuhan kemanusiaan bagi  manusia Karo dari segi cultural values and norms manusia Karo, kebutuhan di abad 20 disisihkan dan dijauhkan dari kehidupan Karo. Dalam abad 21 kita akan berusaha keras untuk merealisasikan. Salah satu jalan ialah memilih orang Karo.

Sesuai dengan pandangan dari segi kultural ini maka orang Karo mendukung semua etnis terutama etnis-etnis minoritas negeri ini untuk berbuat yang sama. Dedikasikanlah semua kekuatan etnis itu untuk kemajuan dan perkembangan etnis dan daerahnya. Karo akan mendukung semua usaha tiap etnis negeri ini, seperti dikatakan dalam jargon lama ’pesikap kuta kemulehenta’.

Kita mendukung sepenuhnya orang Mandailing (Provinsi Sumtra) atau Batak (Protap) ’marsipature hutanabe’ atau orang Aslab (Asahan-Labuhanbatu) dalam gerakan ’memajukan kampung halamannya’.

Tiap etnis/ kultur punya kewajiban dan dedikasi. Saling mendukung penuh sesama etnis dalam pelestarian kultur/ budaya masing-masing dan pembangkitan kembali kearifan lokal. Tak ada rintangan yang berarti diantara kita sesama etnis yang berlainan kultur/daerah (Bersambung).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.