Merawat Dialog Sinabung (Bagian 2)

Oleh: Ananta Bangun (Medan)

 

Mendengarkan dan memahami Sinabung

sby 1Sebagaimana kisah dalam film heroik. Tidak melulu keburukan muncul dalam upaya bantuan bencana Sinabung. Terobosan oleh relawan di Posko Pengungsi Paroki Santo Petrus dan Paulus (SPP) Kabanjahe dengan menggelar pelatihan home industry mendapat apresiasi luas.

Konon, inilah yang membuat penasaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyaksikan langsung. Bahkan, hingga bermalam bersama pengungsi di areal posko tersebut. Upaya pelatihan untuk mengasah keahlian (brain ware) ini merupakan pendekatan berbeda tentang bagaimana berdialog dengan pengungsi Sinabung.

Esensi terobosan ini terangkum dalam penjelasan Koordinator Relawan SPP Bastanta Purba. Para pengungsi tersebut tidak menderita secara fisik, namun mental yang terkungkung dalam penantian. Belum ditambah dengan penemuan jerih bertani mereka porak poranda oleh debu vulkanik. Program ini pun menjadi tahap jangka panjang, ketika ibu Ani Yudhyono bersedia menjadi sales dadakan untuk makanan dan barang hasil pelatihan tersebut. Setidaknya selama batuk Gunung Sinabung masih kumat.

Di samping itu, bekal keahlian tersebut juga mumpuni bila kebijakan relokasi sungguh dijalankan pemerintah. Namun pendekatan untuk relokasi sendiri berbeda dengan pembekalan keahlian tadi. Terlepas dari betapa baik tujuan relokasi tersebut, tanpa dibarengi strategi komunikasi yang benar, sulit bagi pengungsi memahami dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Terlebih jika terdapat riwayat keluarga yang panjang dan mengharukan di kaki Gunung Sinabung.

Satu slogan yang diusung sebuah perusahaan asuransi, yakni “Selalu Mendengarkan, Selalu Memahami”, baik untuk dilakukan untuk menyampaikan ihwal relokasi. Untuk ini sebenarnya membutuhkan waktu cukup lama dan kesabaran juga. Walaupun tak layak menjadi perbandingan dengan kasus Sinabung. Kiat Jokowi, semasa Walikota Solo, merangkul para Pedagang Kaki Lima tak berlangsung dalam kejapan mata saja. Sebagaimana kebiasaan budaya Timur, Jokowi mendengarkan pihak ke dua ialah setelah bersama-sama mengganjal perut terlebih dahulu.

ngguntur purba 119Strategi yang unik berlaku ketika menyampaikan pesan kepada para pengungsi atau masyarakat yang disasar. Hendaknya tidak mengulang guyon tentang seorang pakar membawakan presentasi digital canggih ke daerah pelosok yang belum terjamah daya listrik. Hanya menimbulkan canggung dan sekat-sekat. Karenanya perlu memahami media komunikasi yang dekat dengan mereka. Terutama yang lekas diserap serta lama diingat. Dalam khasanah budaya masyarakat (secara khusus) pengungsi Sinabung, pentas seni dan lagu daerah merupakan pendekatan lebih membumi. Informasi atau pesan penting tersebut didesain untuk melebur dalam media komunikasi daerah tadi.

Dialog dengan Sinabung dirintis dengan baik melalui terobosan pembekalan keahlian. Tetapi fokus untuk pendampingan para pengungsi belum henti di sini saja. Isu-isu kepentingan sosial lainnya juga membutuhkan perhatian untuk merawat ruang dialog tersebut. Setidaknya kita tidak berkutat pada ‘lingkaran setan’ yang sengaja diciptakan untuk kepentingan sepihak. Terobosan tersebut telah diretas. Hasil baiknya, strategi komunikasi akan dikerubungi agenda bakti sosial lainnya untuk pengungsi Sinabung: pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, bahkan bilik asmara (Selesai).

* Ananta Bangun adalah pewarta di Majalah Menjemaat – Komsos Keuskupan Agung Medan)

One thought on “Merawat Dialog Sinabung (Bagian 2)

  1. “Setidaknya kita tidak berkutat pada ‘lingkaran setan’ yang sengaja diciptakan untuk kepentingan sepihak. Terobosan tersebut telah diretas. Hasil baiknya, strategi komunikasi akan dikerubungi agenda bakti sosial lainnya untuk pengungsi Sinabung: pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, bahkan bilik Asmara”.

    Dialog Sinabung ini banyak manfaatnya, secara umum dalam penanganan bencana alam. Tetapi disini khusus bencana alam yang menimpa orang Karo, satu suku bangsa negeri ini yang punya kekhususan tersendiri dalam bhinneka tunggal ika. Orang Karo Sinabung karena biasa cari nafkah dengan tenaga dan keringat sendiri atau hasil kerja sendiri jadi agak ‘terkejut’ menerima bantuan ‘berlimpah’ tanpa kerja. Dan jadi ada ruang bagi ‘lingkaran setan’ untuk menunjukkan diri. Atau dengan pengetahuan yang sudah ada, dimana-mana juga ‘lingkaran setan’ ini selalu terjadi dalam suasana demikian. Hanya di Sinabung ini tetap saja orang Karo lebih suka dapat ‘rezeki’ dari hasil kerjanya dari pada dapat gratis tanpa keringat.

    Relokasi yang telah terpikirkan semula jadi ‘ingat tak ingat’ bagi penanggung jawab atau pemerintah. Pengungsi karena sebab utama tadi dan juga karena semakin ‘aman’ sudah banyak yang kembali ke tempat semula, memulai lagi kehidupan walaupun sangat susah. Kesini pastilah bantuan yang ‘berlimpah’ tadi masih ada tempat penyaluran yang sangat dibutuhkan. Banyak rumah yang rusak, apalagi ladang/kebun yang butuh waktu untuk bisa lagi menghasilkan sesuatu. Memperbaiki pohon jeruk supaya menghasilkan kembali bukan juga yang gampang. Belum lagi import geruk dan produksi pertanian lainnya dari negara yang sudah sering menghambat perkembangan penjualan dan perkembangan produksi petani Sinabung.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.