Kolom M.U. Ginting: Pengetahuan Berubah (2)

Soal Dialektika Karo

muginting 56Manusia Karo/Gayo adalah manusia alam, hidup erat dengan alam sekitarnya. Hanya dari situ datangnya pengalaman dan pengetahuan mereka sebagai manusia purbakala. Kalau mereka bisa berpikir bikin anyaman tentu cara pikir sudah tinggi, dan itulah yang tertinggi ketika itu.

Manusia lain belum ada, apalagi budaya dan kulturnya baru muncul ribuan tahun kemudian. Sebelum ada penemuan baru lagi yang lebih tua, dengan budayanya yang lebih tua pula, penemuan 7400 tahun inilah yang menjadi patokan sebagai manusia dan budaya tertua di dunia ini, tepatnya, orang Karo dan orang Gayo di Dataran Tinggi Gayo, tepatnya di daerah Kebayaken.

Hidup dengan alam, melahirkan pemikiran soal alam, seperti sungai (Karo: lau) adalah tempat mencari ikan, termasuk untuk memenuhi kebutuhan. Dari lau (sungai) mereka mengenal atau mengetahui adanya bagian yang deras, beriak, (Karo: aras) dan adanya bagian yang tenang dan dalam (Karo: namo). Kedua bagian dari sungai ini punya arti masing-masing dan manfaat masing-masing dalam kehidupan alamiah Karo. Namo untuk mandi dan menangkap ikan dengan menjala, dan aras untuk menangkap ikan, pasang bubu (anyaman juga), dan menangguk ikan dengan ’durung’ (juga alat anyaman dari benang/tali).

Bahwa aras akan jadi namo dan namo akan jadi aras di sepanjang aliran sungai, akan selalu menjadi perhatian penuh dan jadi pengalaman penting bagi kehidupan alamiah Karo terkait kegunaan praktis yang berbeda-beda tadi. Mereka harus tahu di mana aras dan di mana namo, umumnya semua hafal soal ini.

Aras jadi namo, namo jadi aras” adalah cara pikir kuno orang Karo. Sudah diketahui sejak adanya manusia alamiah Karo, setidaknya 7.400 tahun lalu. Dalam kehidupan nyata Karo, ini diumpamakan dengan orang dangkal dan orang serius atau berisi.

Intelektual Karo sekarang menamakan ini ”panta rei Karo”, hanya nama sekarang dalam era modern dalam perbandingan dengan dialektika alam ciptaan Heraklitos ”panta rei” 500 BC.

Hal-hal yang bertentangan dalam kehidupan selalu ada dan terjadi, tak terkecuali apakah manusia primitif, manusia purba, atau manusia modern. Selalu terjadi atau terdapat pertentangan (kontradiksi) dalam kehidupan, termasuk juga dalam kehidupan alamiah orang Karo Kuno.

Selain pertentangan dengan alam, juga dengan orang lain, dengan anggota keluarga, dengan suami/istri, dengan suku lain (kalau sudah ada suku lain). Istimewanya, orang Karo menemukan dan menyadari kontradiksi ini setelah merasakan lebih dulu kesenangannya (seh sura-sura). Orang-orang kuno ini terpaksa membuat kesimpulan pahit dari pengalaman hidupnya sendiri, pengalaman yang tak pernah terelakkan, yaitu setelah dapat sedikit kesenangan, selalu diikuti oleh kesusahan baru atau problem baru.

Begitu panen padi atau tanaman apa saja yang bagus dan subur, datang musuh padi seperti burung atau bengkala atau wili yang menghabisi panennya. Mereka simpulkan ”seh sura-sura tangkel sinanggel”. Begitu tercapai cita-cita (sura-sura) lantas datang problem baru (sinanggel). Pengalaman dari kenyataan hidup ini selalu tercermin dalam pikiran manusia, begitulah juga terjadi dalam pikiran, itulah dialektika pikiran. Dalam pikiran juga selalu terjadi kontradiksi yang sama, tak henti-hentinya, sura-sura dan sinanggel silih berganti.

Lebih dari 7.000 tahun kemudian yaitu pada abad 18 disebut oleh Hegel dengan ”thesis-antithesis-synthesis”. Sekarang intelektual Karo menamakan ini dengan nama thesis-antithesis-synthesis Karo, atau ”seh sura-sura tangkel sinaggel”.

Inilah serba singkat soal PENGETAHUAN Kultur-budaya Karo dan Dialektika Karo ditinjau dari segi empiris dan teori, pengalaman hidup dan penemuan ilmiah ahli-ahli arkeologi (Selesai).

Lihat Bagian 1.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.