Kampung Terasing Dekat Medan

jujurenjujuren 17JUJUREN SITEPU. KUTALIMBARU. Jaraknya hanya 10 Km dari Simpang Tuntungan, tapi kampung ini sangat terisolir.

Artinya, kampung itu hanya berjarak sekitar 11 Km dari Pancurbatu atau sekitar 25 Km dari pusat Kota Medan. Jarak tempuh dari Medan bahkan bisa lebih singkat lagi bila melalui Pajak Melati lewat Tanjung Selamat dan Tanjung Anom. Bisa juga ditempuh dari Binjai lewat Namoterasi.

Itulah sebuah kampung Karo (kuta) bernama Gunung Keriahen, terletak di Kecamatan Kutalimbaru (Kabupaten Deliserdang). Rusaknya jalan antara Desa Berdikari dengan Desa Keriahen menjadi penyebab utama keterasingannya dari dunia luar. Jalan menuju Berdikari dari Pancurbatu atau Medan memang tidak ada masalah. Tapi, dari Berdikari ke Gunung Keriahen yang sulit ditempuh oleh kenderaan roda empat.

Sebagaimana terlihat oleh Sora Sirulo, pengaspalan yang pernah dilakukan di jalan itu kini telah hancur lebur, menjadi serakan kerikil dan berlobang-lobang. Selain karena kualitas pengaspalan yang sangat rendah, tidak adanya saluran air di pinggir jalan adalah penyebab cepatnya jalan hancur. Tidak adanya saluran air atau drainase ini membuat jalan digenangi air ketika hujan turun.

Selain jalan yang rusak, kondisi jembatan yang menghubungkan Gunung Keriahen ke Namoterasi, bila warga hendak ke Binjai, juga tidak layak dipakai lagi. Dinding pengaman jembatan sudah peot di sana sini dan dikhawatirkan tidak mampu menahan kenderaan bila tergelincir. Adapun dasar jurang di bawah jembatan berkedalaman sekitar 20 meter.

Menurut warga Kecamatan Kutalimbaru yang diwawancarai Sora Sirulo kemarin [Minggu 30/3], akibat jalan yang rusak parah, tidak ada angkutan umum yang memasuki Gunung Keriahen. Bila hendak bepergian ke Pancurbatu, Medan atau Binjai, warga harus berjalan kaki sekitar 8 kilo meter jauhnya menuju Berdikari sebelum mereka memperoleh kenderaan umum yang mengantarkannya ke dunia luar.

“Itu yang membuat kami jarang ke kota. Terlalu banyak memakan waktu berjalan kaki ke Berdikari,” kata seorang warga kepada Sora Sirulo.

Memang, belakangan ini, hampir setiap rumah tangga memiliki sepeda motor sehingga mobilitas warga tidak bisa dikatakan rendah. Namun begitu, rusaknya jalan masih berdampak terhadap perekonomian masyarakat. Akibat jalan yang rusak parah, tidak ada pekan di Gunung Keriahen. Warga harus pergi ke desa tetangga untuk berbelanja keperluan sehari-hari.

“Di Berdikari dan Namoterasi ada pekan seminggu sekali,” kata seorang warga beru Tarigan.

Rusaknya jalan juga berdampak pada harga jual hasil-hasil pertanian dan peternakan.

“Memang ada pedagang yang datang membeli hasil-hasil panen, tapi harganya di bawah atau lebih murah dari desa-desa tetangga. Contohnya, bila buah pinang sekilo di Berdikari dihargai Rp 8.000, di Gunung Keriahen dihargai hanya Rp 7.000,” kata seorang warga yang diamini oleh teman-temannya.

Lain lagi cerita bidan desa R.  br Ginting ketika ditanya tanggapannya mengenai rusaknya jalan ini.

“Bila harus merujuk pasien, tidak pernah sesuai teori. Memang jarak ke tempat rujukan dekat, tapi waktu yang ditempuh sangat lama. Ya, karena jalannya sulit ditempuh,” kata bidan desa beru Ginting ini.

Sedihnya hidup di desa ini, selain alat transportasi yang sulit, alat komunikasi pun mengalami masalah alias sulit dijangkau. Bila hendak berkomunikasi menggunakan HP, harus mencari signal ke atas bukit-bukit.

Dapat ditambahkan bahwa kampung-kampung Karo di sekitar ini bukanlah kampung-kampung baru. Sejak sebelum masuk Belanda sudah ada kampung-kampung (kuta) Karo di sekitar wilayah ini yang umumnya didirikan oleh merga Surbakti atau Sinulingga. Bila di Karo Gugung hanya dua kuta yand didirikan oleh Sinulingga, yaitu Lingga dan Bintangmeriah, di daerah Urung Serbenaman ini banyak sekali kuta yang didirikan oleh merga Sinulingga.

Lebih ke wilayah Langkat atau Binjai, banyak pula kampung-kampung yang didirikan oleh merga Sitepu. Namoterasi, misalnya, didirikan oleh merga Sitepu. Meskipun sekarang ini banyak warga Namoterasi berasal dari Karo Gugung, khususnya Berastepu, kampung ini sudah ada sejak sebelum kedatangan kolonial. Nama asli kampung ini adalah Namo Nderasi. Nderasi adalah nama sebuah pohon obat/ ramalan dalam bahasa Karo yang seteknya biasa di tanam di tengah ladang padi saat musim tanam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.