Kolom M.U. Ginting: Kebebasan Pers

M.U. Ginting pers 3Kebebasan pers sudah ada, sudah sejak kejatuhan Orba 1998. Ini salah satu tanda adanya demokrasi. Perubahan yang sangat luar biasa di Indonesia, dibandingkan dengan banyak negeri lain dalam perubahan dari diktator ke demokrasi.

”Indonesia’s elections are among the most significant of 2014 given that it is the world’s third-largest electoral democracy, an ongoing test case for the transition from authoritarian rule and a prominent model for democratic survival in multi-ethnic states,” ditulis dalam sebuah artikel di Asia Time mengomentari Pemilu 2014.

Ongoing test case, antara diktator otoriter kekuasaan lama atau pembaruan abad 21 yang diwakili oleh Capres Jokowi, terlihat juga dalam media yang SBY bilang “pers kita sudah terbelah”, dalam pidatonya 3/6 di Bogor.

“Aktual, faktual, dan berimbang itu susah. Fair itu susah. Tapi media massa itu milik publik dan untuk kepentingan publik, bukan hanya pemilik modal atau kepentingan kalangan tertentu,” kata SBY meneruskan.

Betul sekali, memang ’keharusan’ yang diinginkan SBY, di tengah kenyataan yang ada secara fakta. Bahwa media massa itu milik dan kepentingan modal dari kalangan tertentu. Dalam Pilpres kali ini diwakili Metro TV dan TVOne. Kebebasan pers diwakili oleh dua media ini, atau ’pers kita sudah terbelah’.

pers 4Dulu pers tak terbelah, hanya diwakili oleh satu pihak, pihak Orba. Sekarang ’terbelah’ dan bahkan semua yang lain juga bisa bersuara lewat media sosial internet. Karena itu bukan hanya dua suara, banyak sekali suara, seluruh rakyat. Dan, semakin jelas ke mana arah besar suara-suara itu. Suara mana yang semakin berdominasi dan suara mana yang semakin terisolasi. Arah besar itu ialah Keadilan, Dialog dan Tranparansi, dalam semua solusi persoalan kemanusiaan abad 21.

Di Indonesia dalam Pilpres kali ini tergambar dalam berbagai ungkapan yang sudah populer, seperti antara singa atau kambingorba atau reformasinaik kuda atau jalan kaki, semuanya terpusat dan tergambar juga dalam diri Capres Prabowo atau Jokowi.

”Aktual, faktual, dan berimbang itu susah,” kata SBY juga.

Betul susah memang bikin suatu yang ’berimbang’. Kesimbangan atau berimbang itu terjadi di luar kesadaran manusia, dalam proses kesimbangan dialektika, proses perubahan dari perjuangan segi-segi bertentangan tiap hal-ihwal. Katakanlah apa yang harus dikatakan dari segi sudut pandang tiap golongan atau tiap orang, katakan dengan argumentasi yang semakin masuk akal dan semakin ilmiah. Semua pihak bikin begitu. Dari situlah muncul atau lahir KESEIMBANGAN ilmiah yang tak bisa lagi dibantah oleh siapapun. Itulah KEBENARAN, sama halnya dengan pencarian kebenaran soal-soal ilmiah dalam lapangan akademis.

Itulah yang orang Indonesia akan capai dalam DIALOG yang transparan dan adil. Itulah perubahan. Kesanalah kita.

Contoh bagi Karo ialah KBB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.