Mengangkat Batang Terendam: Melestarikan Tradisi Lisan Nusantara

Oleh: Frieda Amran (Leiden)

Di tiga sisi, halaman gedung Museum Volkenkunde di Leiden ramai dengan kios-kios bertenda dan khalayak. Hari Sabtu, 14 Juni 2014, ada pasar kriya yang menarik. Beberapa peternak lebah membawa lebah-lebahnya, madu dan lilin dari sarang lebah; beberapa pelukis dan perajin membawa dan menjual karya masing-masing. Lukisan, tekstil, boneka-boneka, sabun, bunga dan tetanaman dan entah apa lagi. Di halaman depan, empat orang dengan aneka alat musik memainkan lagu-lagu bernada jazz dikelilingi penonton yang duduk di bangku-bangku taman dan rumput. Seorang pemain akordeon berkeliling menyanyi untuk siapa pun yang melirik ke arahnya.

frieda 5
Foto: TOM HOOGERVORST

Matahari cerah dan langkahku terhenti sejenak. Ingin nongkrong juga. Tapi aku ke Leiden bukan untuk nongkrong di pasar! Di dalam museum, KITLV menyelenggarakan seminar sehari “Negotiating The Spoken Word: Storytelling in the Indonesian Archipelago.” Acara gratisan yang dimulai dari pk 10.00 sampai pk 17.00 itu diisi oleh tujuh orang pembicara bermutu. Sebagian besar di antaranya adalah pengajar atau peneliti di Universitas Leiden: Aone van Engelenhoven, Els Bogaerts, Tom Hoogervorst, Marije Plomp dan Clara Brakel; Pudentia Mpss, ketua Kajian Tradisi Lisan yang datang dari Indonesia dan Marjolijn Groustra, seorang illustrator yang terbakar inspirasi melukis setelah mendengar dongeng penciptaan orang Pakpak-Dairi.

Di dalam ruangan seminar, aku teringat pada seorang temanku, Rachel, yang hobby mengumpulkan dongeng. Ia sudah mengumpulkan lebih dari 3000 dongeng dari seluruh Nusantara dan jumlah itu terus bertambah.

Setiap kelompok masyarakat di Indonesia mempunyai cerita, mengenai asal-usulnya, lingkungan alamnya, nenek-moyangnya, sejarahnya dan budayanya. Tak terhitung jumlahnya dan beraneka pula sumber inspirasinya.

frieda 9
Foto: TOM HOOGERVORST

Sebongkah batu karang raksasa di tepi pantai di Maluku Tenggara bukan hanya batu belaka, tetapi menjelma menjadi seekor ikan layar di mata masyarakat Tutuala dan Aone van Engelenhoven yang sedang meneliti di sana. Batu yang sejak dahulu kala bergeming dihantam ombak menjadi hidup dan bermakna di dalam mitos setempat mengenai ikan layar. Di tempat lain di Maluku terdapat aneka cerita tentang ikan layar. Masing-masing berbeda-beda sedikit satu sama lain karena setiap cerita memasukkan unsur-unsur baru, sesuai dengan lingkungan dan konteks kehidupan mereka sehari-hari.

Els Bogaerts menyampaikan cerita mengenai Sultan Mataram dan percintaannya dengan Nyai Roro Kidul. Marije Plomp mengajak penonton mengikuti petualangan Pangeran Bahram Syah yang berkelana dari Aceh ke Minangkabau. Baik Sultan Mataram maupun Pangeran Bahram Syah merupakan tokoh-tokoh sejarah yang memang pernah ada; akan tetapi di dalam dongeng, keduanya bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang memberikan kebijaksanaan, kesaktian dan karisma. Tempat sejarah berhenti dan membaur dengan tahyul dan kepercayaan setempat menjadi kabur di dalam dongeng-dongeng yang mereka ulas.

Tom Hoogervorst adalah pembicara yang agak ‘lain’. Ia tidak mengutak-atik dongeng, melainkan roman picisan Sino-Melayu dari awal abad ke-19. Siapa di antara kita yang tidak mengenal Khoo Ping Ho dan cerita-cerita silatnya yang seru, menegangkan dan sesekali romantis? Selain cerita-cerita silat, penulis-penulis Cina-Melayu banyak menulis roman cinta—yang dulunya dijual murah seharga 10 ketip atau 10 sen.

frieda 11
Foto: TOM HOOGERVORST

Saking murah harganya, roman-roman yang dianggap melulu bercerita tentang cinta (sehingga dianggap tidak bermutu) disebut sebagai roman picisan. Namun, sebetulnya roman-roman itu bukan hanya menggambarkan percintaan belaka. Roman picisan juga memberikan gambaran yang hidup mengenai kehidupan masyarakat kelompok Cina-Melayu di Nusantara pada awal abad itu.

Nuansa yang mengingatkan pada budaya masyarakat Cina tampak di foto-foto yang ditayangkan Pudentia bersamaan dengan ulasannya mengenai seni pertunjukan Mak Yong dari Kepulauan Riau yang hampir punah. Tradisi itu memang berasal dari Thailand. Di Kepulauan Riau, hanya tinggal beberapa kelompok kecil yang masih menguasai seni pertunjukan itu. Tanpa penerus dari kalangan generasi muda, kesenian Mak Yong—dan kesenian serupa dari daerah-daerah lain–akan hilang begitu saja.

Dokumentasi dan revitalisasi diperlukan untuk melestarikan warisan budaya seperti Mak Yong. Sebagai selingan, tiga buah pertunjukan kesenian ditayangkan: sebuah tarian Jawa oleh kelompok tari Kuwung-kuwung dan sebuah tarian lain dari Sumatera Barat diiringi oleh musik talempong oleh kelompok musik Archipelago Group.

Tari dan musik merupakan bentuk budaya dan kesenian yang seringkali hanya dianggap sebagai hiburan. Namun, musik dan gerak yang dinikmati mata dan batin membuat kita lupa bahwa bentuk-bentuk kesenian seperti itu bermakna dan bertujuan menyampaikan suatu pesan. Lirik lagu, gerak dan koreografi tarian pun menyampaikan sebuah cerita, walau tak ada sepatah kata pun yang terdengar.

[one_third]hilangnya seekor kambing hutan[/one_third]

Selingan ke tiga yang ditayangkan adalah ratapan Karo yang merupakan bentuk campuran antara tradisi musik dan bercerita. Melalui ratapan berjudul Beidar Nandena, Juara Ginting bercerita mengenai hilangnya seekor kambing hutan yang sempat keluar dari persembunyiannya di dalam belantara setelah Gunung Sinabung meletus. Binatang itu menghilang lagi entah ke mana setelah diamankan oleh pihak yang berwenang. Ketukan halus berirama dari dua buah keteng-keteng (alat musik perkusi dari bambu) dan sebuah gong serta tiupan belobat (sejenis suling) dan kulcapi (kecapi) yang dimainkan oleh Juara memberikan suasana dramatis sebagai pengantar dan latar belakang cerita di dalam ratapan itu.

frieda 3
BEIDAR NANDENA dituturkan oleh Juara Ginting sambil bernyanyi diiringi musik tradisional Karo (Foto: TOM HOOGERVORST)

Berapa banyak orang Karo yang masih dapat mendongeng melalui ratapan seperti itu? Berapa banyak yang pernah mendengarkan sebuah ratapan? Seperti juga Mak Yong, tradisi meratap ala Karo itu pun harus diwariskan dan diteruskan kepada dan oleh generasi muda.

Puncak dan penutup acara adalah peluncuran buku “Dairi Stories and Pakpak Storytelling” (2014) oleh Clara Brakel. Buku itu merupakan hasil olah data penelitian mengenai tradisi lisan yang dilakukan Clara bersama almarhum suaminya. Cerita-cerita rakyat yang terangkum di dalamnya merupakan hasil pencatatan dari lapangan penelitian puluhan tahun lalu.

frieda 7
Juara Ginting saat melakokan ibu Beidar menyuruhnya Beidar mengungsi dari Sinabung

Salah satu dongeng penciptaan di dalam buku itu membakar api inspirasi seorang illustrator Belanda, Marjolijn Groustra. Etsa-etsa hitam-putih sederhana yang menggali ilham dari ragam hias Pakpak yang ditayangkannya di layar lebar Museum Volkenkunde membuat cerita itu teramat hidup.

Sayang, buku Clara Brakel belum bisa dibaca karena baru akan terbit tahun 2015. Ah, alangkah lamanya menunggu?!

Foto kepala: FRIEDA AMRAN


 

 

One thought on “Mengangkat Batang Terendam: Melestarikan Tradisi Lisan Nusantara

  1. Pakpak dan Karo sebagai suku-suku minonritas Indonesia masuk juga dalam acara tradisi lisan Belanda ini. Karo sudah sering kita dengar masuk acara-acara seni tradisional di negeri kincir angin ini. Tartar Bintang dan nama Juara Ginting dkk, tak bisa dipisahkan dari acara-acara Karo di Belanda selama abad 21. Begitu juga JRG berhasil mengangkat ‘cerita hidup’ yang sangat mengesankan, Beidar Nandena Karo dari Gunung Sinabung yang, gunung mana juga sambil menunjukkan kekuatannya ‘menyiksa’ manusia disamping selama ini telah meberi kehidupan pula bagi manusia Karo sekitarnya.

    Tidak hanya sampai disitu, gunung ini telah berhasil juga mengangkat Karo ketingkat internasional, termasuk dari segi ‘drama Beidar Nandena’, kambing hutan Sinabung yang bernasib buruk, dan yang kemungkinan punah juga ada. Kita mengharapkan Beidar ini tidak punah sepenuhnya, karena hewan ini adalah sisa peninggalan sejarah kambing gunung hutan tropis yang sudah sangat langka.

    Salah satu orang Indonesia yang sangat prihatin atas hutan dan hewannya ialah Longgena Ginting, yang sekarang jadi boss Green peace. Dia sudah banyak berjuang untuk lingkungan dan alam selama menjadi boss Walhi, dan kemudin di Green peace. Dia sudah dikenal banyak secara nasional dan begitu juga intrnasional karena sikapnya dan tindak tanduknya mempertahankan lingkungan Indonesia dan dunia. Kalau nanti terbentuk pemerintahan baru dengan presiden baru, patutlah orang-orang seperti Longgena Ginting dipertimbangkan menjabat pekerjaan soal lingkungan, karena soal ini sangat penting sekarang dalam membangun satu negara.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.