Menghitung Taneh Karo (Bagian 1)

 Oleh: Penatar Perangin-angin

 

Selama ini, saya mengharapkan ada fokus perhatian dari kita masyarakat Karo ke wilayah “Karo Singalor Lau”. Menurutku, daerah ini sangat rentan dijadikan ‘komoditi politik’ orang luar sehingga kita tidak boleh apatis.


Dalam hal ini, pertama, kita sebagai kelompok masyarakat di luar pemerintahan, seperti kita yang berkumpul di grup Jambur Merga Silima (JMS) ini, walau kita jumpa-jumpa jambur dunia maya, saya kira sudah waktunya membentuk organisasi semacam NGO di dunia nyata, sehingga organisasi tersebut memiliki AD/ART serta memiliki rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang.

Domain kita difokuskan pada permasalahan sosial dalam masyarakat, pemberdayaan lingkungan yang terarah, penghijauan kembali perbukitan yang selama ini rawan longsor dan banjir bandang, pengadaan air bersih, dan pembangunan infrastruktur untuk menunjang produksi hasil bumi yang menjadi mata pencaharian utama warga. Lembaga ini diharapkan dapat kita jadikan kontrol bagi pemerintah untuk betul-betul serius membangun apa yang menjadi rencana dan tujuan poitik yang pernah mereka sampaikan.

Kita berdayakan mahasiswa dan sarjana yang kita punya. Aku yakin kita bisa jika betul-betul lembaga ini bersih. Tetapi, jika dijadikan sebagi alat politik praktis, atau sumber cari uang, maka semua ini akan sia-sia. Setelah semua berjalan, selanjutnya kita fokuskan kepada dunia pendidikan.

Saya pernah ngobrol dengan anak-anak Sekolah Dasar di suatu desa di wilayah itu. Dalam obrolan kami, mereka bercerita kalau mereka sekolah hanyalah untuk bisa baca tulis dan bukan ada tujuan lain. Mereka tidak berpacu, karena sang pendidikpun memang tidak memacu mereka. Ada guru yg membawa kampil ke sekolah, memberi tugas lalu nyirih. Ini contoh budaya pendidikan yang keliru. Masuk tidak masuk tidak soal. Mereka hanya menunggu gaji. Parahnya lagi, Dinas Pendidikan bukan menempatkan guru yang punya kemampuan mendidik baik, malah sebaliknya, sehingga lama kelamaan wilayah ini menjadi tren daerah ‘pembuangan’.

Bisa kita bayangkan, sebuah daerah bila menjadi momok bagi abdi negara. Apakah yang akan terjadi? Tentunya keterbelakangan, isolir dan akhirnya terlupakan.

penatar 7

Ke dua, fasilitas kesehatan. Selama ini, memang sudah banyak dan hampir di seluruh desa memiliki bidan desa merangkap mantri kesehatan. Ini sudah bagus, tetapi di tiap kecamatan tenaga dokter masih sangat minim. Kita tahu, anggaran memang menjadi alasannya, tetapi alasan anggaran saja saya kira tidak pantas untuk dijadikan pertaruhan untuk nyawa warga sendiri.

Di situlah pentingnya tata kelola yang unggul. Alangkah mirisnya kita melihat pembangunan Karo yang sangat tidak merata. Apa bedanya Gugung dengan Berneh? Jangan-jangan, untuk hal yang menyangkut “jatah”, ada pula istilah sintua dan singuda? Itu tidak pas. Karo satu dan sama. Selain tenaga dokter, tentu kita harus imbangi dengan fasilitas dan obat-obatan yang cukup. armada ambulance, dll.

Banyak warga meninggal bukan di rumah, bukan di rumah sakit, bukan di jalan tetapi di ambulance. Mengapa? Infrastruktur jalan. Jalan yang buruk mengakibatkan waktu tempuh yang panjang sehingga nyawapun melayang. Situasi ini sangat menyakitkan hati, padahal jarak tempuh tidak begitu jauh. Karena jalan rusak parah waktupun terbuang sia-sia.


[one_third]Pabrik plywoodpun sumringah[/one_third]

Ke tiga, pembangunan dan penyuluhan pertanian serta pemasaran produknya. Pembangunan pertanian ini berkaitan dengan mata pencarian utama warga. Pada tahun 2005, dalam sebuah perjalanan singkatku ke wilayah Berneh, di sebuah kede cimpa dengan warga kami ngobrol soal produksi kemiri yang semakin hari semakin menurun. Padahal di tahun-tahun yang lalu, kemiri ini merupakan primadona dan penghasilan unggul urutan pertama bagi masyarakat di sana. Mereka awam dan tidak memahami mengapa produksi kemiri ini tidak lagi cukup untuk memberi makan, apa lagi untuk sekolah anak-anak mereka. Karena tenaga penyuluh dan pakar biologi tanaman tidak ada, tindakan gegabah dan kelirupun ditempuh, tebang dan dijadikan duit. Pabrik plywoodpun sumringah. Dengan harga kayu chip yang sangat murah dalam situasi sulit, bujuk rayu dan godaan “gambar Soekarno” pun tak tertahankan. Chainsaw dan gundul lah bukit kita.

Selama ini, pemerintah kita tidak pernah peka dan peduli apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh petani. Menurut mereka, dengan menyalurkan berkarung-karung pupuk saja sudah cukup. Mengundang investor membangun pabrik penampung hasil tani (jagung) saja sudah beres. Beres apanya?

Lalu, pemasaran produk. Bila perlu, tidak hanya satu tempat penampungan dan pengolahan. Bila perlu, arahkan pabrik pengolahan ke Taneh Karo untuk memangkas biaya angkut. Maka kita akan rasakan hasil ganda (Bersambung).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.