Kolom M.U. Ginting: Fenomena Florence Sihombing dan KBB

M.U. Gintingflorence 3”Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya”, kata seorang mahasiswi Fakultas Hukum UGM Jogjakarta.

 

 

 

 

Miskinnya di mana, tololnya bagaimana dan mengapa tak berbudaya? Tidak ada tambahan penjelasan apa-apa. Karena itu pernyataan ini sama sekai tanpa dasar argumentasi, apalagi argumentasi ilmiah. Tanpa alasan yang masuk akal tentu jadi perkara ’besar’ di media sosial internet. Diskusi jadi ramai dan berakhir dengan hukuman ’pengusiran’.

Kecekatan sarjana hukum atau advokasi sekarang sejak era lalu (era ’loudmouth braggarts) dan sebagai hasil cetakan abad lalu, konkritnya era Orba, umumnya tak lain adalah kecekatan pokrol bambu, walaupun sering menghasilkan duit yang banyak ketika itu dan masih juga terjadi sekarang (bandingkan dengan loudmouth braggarts Wall Street abad lalu).

Umumnya orang-orang ini adalah kaum extrovert yang berdominasi Abad 20. Tetapi, berapa lama lagi suasana seperti ini bisa bertahan? Quite Revolution kaum introvertAabad 21 sudah mulai berjalan dan sering tanpa disadari oleh banyak orang extrovert.


[one_third]Tanpa Argumentasi Tak Ada Kontra Argumentasi[/one_third]

Pernyataan tanpa fakta dan tanpa dasar ilmiah seperti di atas bisa dimasukkan ke dalam grup judgmental yang negatif (judgmental tidak harus negatif) dan tidak memberikan gejala pembaruan atau perkembangan. Karena, tanpa argumentasi, ’lawan’ tidak bisa memberikan kontra-argumentasi. Akhirnya hanya diganjar dengan ’pengusiran’ orang bersangkutan dari Yogya. Ii bukan tanda-tanda kemajuan.

Berhadapan dengan kenyataan seperti ini umumnya orang-orang introvert seperti Karo sering mengambil sikap ’tak peduli’, walaupun tahu dan mengerti soalnya tetapi pura-pura tidak tahu atau bersikap seakan-akan seperti ’non-judgmental’.

Sekiranya sikap dan pemakaian ’non-judgmental’ ini adalah sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan, tentu banyak orang Karo yang senang dan berusaha akan menterapkan sekuat tenaga. Mengapa? Karena orang Karo (juga orang Jawa) sangat senang tidak mengomentari sikap dan perbuatan orang lain, walaupun sering sudah jelas sikap dan perbuatan orang lain itu salah atau sangat tak patut dan jelas tak adil.

Orang Jawa Jokowi dalam soal ini pernah pakai sikap ’rapopo’. Orang Karo bilang ’sinekken saja’ atau ‘enggo me‘. Jadi, sangat cocok dengan ’non-judgmental’. Tapi, ini sudah berlalu.

Sekarang, Jokowi sudah tak pakai ’rapopo’ lagi. Dia cepat mengubahnya. Orang Karo juga sudah mulai belajar dan sangat senang bikin argumentasi ilmiah. Banyak yang sudah meninggalkan ’sinekken saja’ atau ‘enggo me‘. Orang Karo telah berusaha dan juga ada kepastian bahwa dalam proses pastilah akan meninggalkan pengaruh buruk non-judgmental.

Perlu diketahui, konsep non-judgmental pada umumnya dipropagandakan justru oleh orang-orang yang judgmental. Tujuan utamanya ialah supaya orang-orang diam saja terhadap ucapan dan sikap negatif orang-orang judgmental atau ’kai pe belasina’. Secara internasional konsep non-judgmental dianjurkan oleh kaum Yahudi konservatif di USA maupun di Eropah, terutama sangat menyolok setelah keluarnya buku ilmiah soal Yahudi karangan Kevin MacDonald, yaitu di samping Triloginya yang sudah terkenal dan sangat banyak dapat kritikan dari kaum Yahudi, juga sangat tidak disukai ialah buku MacDonald 2007 berjudul Understanding Jewish Influence, dalam kompetisinya dengan etnis-etnis lain di banyak negeri dunia, terutama dinegeri maju.

Secara nasional, bagi kita orang Karo, ada contoh ’the new understanding of Karo and Batak’ dalam kompetisi antara dua suku yaitu gerakan pencerahan KBB (Karo Bukan Batak) pada dasarnya adalah understanding Batak influence in every day life competition between Karo and Batak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.