Oleh: Ita Apulina Tarigan
Malam jatuh
Angin perlahan berdesir
Sulit baginya bedakan desiran daun dan angin
Langit biru cerah berbintang
Tanda dingin bukan kepalang
Uis kapal semakin rapat membungkus tubuhnya
Airmatanya jatuh satu-satu
Membeku di bawah dagu
Rambutnya berembun
Dia tak peduli
Terus berjalan menembus hutan
Lewat jalan setapak
Berkali-kali walau sekilas
Dia melihat kelebatan bayangan mendampinginya
Kadang tak sengaja bertatap mata
Mata penuh kasih
Tapi dia tidak tahu, makhluk itu lelaki atau perempuan
Cantik sekaligus tampan
Dia tidak peduli
Kehadiran makhluk itu membuatnya tentram
Dalam malam,
Cintanya luruh satu-satu
Perlahan hatinya mengeras dingin
Sedingin logam tumbuk lada yang terselip di pinggangnya
* * * *
Entah bagaimana mulanya
Tiba-tiba dia terbangun
Di bawah batang buah
Sinar mentari kemerah-merahan
Menembus daun buah
Semakin membuat merah buahnya buah
Pohon ini tinggi sekali
Samar, di sebuah dahan
Terlihat paruh kuning mengkilap
Milik burung enggang
Semakin berdesir darahnya
Melihat seekor kuda mendengus ramah padanya
Seolah mengatakan:
“Aku siap engkau tunggangi, wahai Beru Puteri!”
Puteri masih mencoba mengingat-ngingat gelap malam tadi
Kabur
Ingatannya selalu berhenti ketika siluman itu mendekat dan semuanya gelap
Termangu, merenung
Andiiihhh..!!
Puteri berteriak sambil menengadah
Sang Enggang sedang sarapan
Akibatnya, sebagian buah merah berjatuhan
Tanpa pikir panjang lagi
Puteri langsung menunggang kuda hitam mengkilat
Ya, dia sudah di tepi hutan
Dia sudah di jalan besar
Eaaahhh…..
Debu-debu tinggal dihentak kaki kuda
* * * *
Kuta yang ramai
Seperti kota-kota lainnya
Yang terletak di pinggir sungai
Selalu jadi pusat keramaian perdagangan
Bermacam manusia
Dari berbagai suku bangsa
Dapat ditemui di sini
Bahasa pantai banyak dipakai
Karena, kadangkala
Orang-orang tidak tahu berbicara kepada siapa
Hanya dialeklah yang membedakan
Banyak berpakaian indah
Bersulam emas berkulit halus
Banyak pula berpakaian kumal
Kaki tangan kasar
Orang-orang tidak terlalu peduli
Suara tinggi ditingkahi suara rendah
Gemerincing uang perak
Kuli-kuli lalu lalang
Mengangkut jaba ke perahu berhaluan naga
Ada banyak perahu berhaluan naga
Prajurit berkulit putih mengatur kuli-kuli
Menyusun karung
Di perahu terdepan
Tepat di haluan
Seorang lelaki berdiri menjulang
Air mukanya sulit digambarkan
Selain matanya tajam seperti elang
Dari lapak penjual kain
Puteri memperhatikan semuanya
Dia mengerti bahasa pantai tetapi ragu mengucapkannya
Sepertinya dia sudah di kuta yang benar
Ragu-ragu Puteri mencari orang yang tepat untuk ditanya
Tetapi, biasanya
Gelanggang ndikkar tidak sulit dicari
Lelaki-lelaki yang selalu perlu membuktikan jati diri
Pasti berkumpul di sana
* * * *
Pukulan di dawai kulcapi menghentak-hentak
Memanggil jiwa yang dirindukan
Seperti burung elang terbang menantang matahari
Melengking memekik tinggi memanggil buah hati
Sudah kukurung jiwamu dalam mantra rinduku
Ke manapun kau pergi
Jiwamu akan mencari jiwaku
Di bawah beringin tua dingin gelap
Kulantunkan lagi mantra pemanggil
Datanglah padaku, padaku, padaku
Engkau milikku
Siapakah engkau pemain kulcapi di bawah beringin tua?
Suatu masa, bukan, di banyak masa kita telah berjumpa
Siapakah engkau?
BERSAMBUNG
Puisi menarik, bikin pikiran sekejap melayang, ke kayang-kayang, melintasi sejarah jauh kebelakang, tetapi sebentar telah berada lagi didepan mata, dunia sekarang.
MUG . . . . .