Pilar Sopan Santun

Herlina Surbakti (Medan)

 

herlina 3Indonesia telah meninggalkan pilar sopan-santun dan saling mempercayai yang dulunya sangat lekat dalam masyarakat tradisional. Sudah berpuluh tahun, kolusi, korupsi dan nepotisme berlaku dari level bawah sampai ke atas sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin menjadi lebih dalam dan lebih luas.

Orang Indonesia akan melakukan segala cara untuk mencapai keuntungan ekonomi termasuk menjadi pengedar narkoba dan berbagai penyakit sosial lainnya. Tidak ada lagi saling mempedulikan untuk membantu tetangga atau teman. Sebagai gantinya adalah nilai-nilai negatif yang ditetapkan oleh KKN dan pemimpin-pemimpin yang korup. Kelihatannya sangat langka pejabat yang tidak korup. Korupsi sepertinya sudah menjadi sesuatu yang pantas dibanggakan.


[one_third]memberi kepada orang lain dengan hati yang terbuka[/one_third]

Tidak mengherankan apabila kemudian masyarakat Indonesia tidak dapat memecahkan masalahnya atau mengatasi masalah sosial atau merespon bencana alam. Selama beberapa generasi, orang Indonesia tidak dididik untuk berpikir kritis, untuk mengelola keadaan darurat atau untuk memberi kepada orang lain dengan hati yang terbuka.

Kita melihat hasil pendidikan itu hari ini. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya dan kapasitas untuk menjadi salah satu negara paling kuat di dunia. Orang Indonesia sudah lama terkunci dalam sistem yang korup.

Mudah-mudahan pemerintah di bawah Presiden yang baru Jokowi Widodo dapat dengan cepat memandu bangsa Indonesia ke arah yang berbeda dan akan membawa kita semua untuk bisa berbalik arah dengan cepat seperti sardines bukan seperti yang paus.

One thought on “Pilar Sopan Santun

  1. “Indonesia telah meninggalkan pilar sopan-santun dan saling mempercayai yang dulunya sangat lekat dalam masyarakat tradisional.”

    Pernyataan ini sangat sesuai dengan kenyataan dan fakta-fakta yang sudah terjadi dalam proses perkembangan Indonesia setelah berakhirnya era kolonial.

    Ketika Karo masih Karo (Karo sinoria, Karo tradisionil) saling percaya berlaku, atau bahkan mungkin tak dikenal istilah saling percaya, karena kepercayaan sesama manusia (disini sesama Karo) adalah alamiah. Peradaban yang dibawa kolonial terutama budaya perang dan budaya duit, telah menghancurkan semua impian alamiah itu, munculnya saling mencurigai dan tak percaya antara sesama manusia dan grup manusia.

    Pada akhir abad 20 muncullan istilah baru dalam soal ini, yaitu modal sosial atau social capital. Modal sosial ini menggambarkan tingkat perkembangan satu masyarakat, dalam soal kwalitas saling hubungan sesama anggota masyarakat, dalam berorganiasi, saling menolong dan mendukung sesamanya dalam mendorong perkembangan sosial, ekonomi dan dalam berdemokrasi. Karena itu dalam satu masyarakat tertentu, modal sosial ini mempunya nilai (values).

    Dalam masyarakat yang masih saling mencurigai, saling bunuh dan saling mencuri sesamanya, values ini punya tingkatan tersendiri seperti itu. Dalam masyarakat yang lebih saling menghormati, saling mempercayai dan saling mendukung punya values lebih tinggi. Profesor Robert Putnam punya tesis terkenal dalam beberapa bukunya a.l. Bowling Alone, menyatakan bahwa saling percaya (trust) dalam masyarakat tertentu adalah syarat utama adanya modal sosial yang bernilai tinggi. Artinya semakin tinggi trust, semakin tinggi nilai modal sosial.

    Dalam soal ini Putnam mengeluarkan pendapat yang sangat banyak ditentang oleh pengikut multikulturalisme yang sudah semakin tak laku, a l dikatakan oleh PM Jerman Angela Merke, ‘multikulti has failed totally’ katanya. Begitu juga PM Inggris Cameron.

    Putnam tulis:

    ”Ethnic diversity seriously undermines the trust and social bonds within a community”, kata Putnam seorang proessor dari Harvard. “The effect of diversity is worse than had been imagined.”

    Selanjutnya dalam soal saling percaya dia tulis:

    “The more ethnically diverse the people we live around, the less we trust them. this pattern may be distressing normatively, but it seems consistent with conflict theory.”

    Yang paling menarik dia katakan bahwa dalam situasi macam-macam suku itu terjadi situai sangat kacau ‘civic malaise’, dan juga ‘psychological confusion’,
    dan saling tidak percaya bukan hanya diantara berbagai grup tetapi juga dikalangan grup yang sama malah terjadi saling tak percaya juga, dia tulis,

    “there were neither great bonds formed across group lines nor heightened ethnic tensions, but a general civic malaise. And in perhaps the most surprising result of all, levels of trust were not only lower between groups in more diverse settings, but even among members of the same group.”

    Pengikut kolot multikulturalisme pernah meminta kepada Putnam supaya menarik kembali tesisnya mengenai kenegatifan ragam etnis ini, tetapi ditolak oleh Putnam dan Putnam malah dapat hadiah literatur spesial Swedia 2006 atas tesisnya itu. Putnam sudah bekerja lebih dari 10 tahun mengumpulkan fakta dari kenyataan di Eropah dan Amerika untuk menyiapkan teorinya, tentu dia tak mau mencoret begitu saja hasil penyelidikannya. Dan bagi pengalaan orang Karo juga betul apa yang dikatakan Putnam.

    Kembali ke masyarakat tradisional tadi, dimana bisa dipastikan bahwa modal sosial ketika itu sangat tinggi nilainya (dalam pengertian zaman dulu) karena tak ada ethnic diversity yang disebut Putnam, sehigga trust sangat tinggi dikalangan masyarakat.

    Dengan tesis Putnam memang jadi persoalan atau soal utamanya tak terselesaikan, kalau ethnic diversiy adalah penyebab utama semua kekacauan modern ini, sedangka etnis diversity semakin tinggi juga dimana-mana.

    Kita kembali lagi ke kearifan tradisional negeri ini, ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’. Kita kembali ke daerah dimana dominasi kultur daerah tertentu masih berlaku sebagai kultur mayoritas. ‘Individuals pursuing their ethnic interest’ dan ‘Minorities should be welcomed but they should not be able to remake society in their own image’ kata Kevin MacDonald. Atau seperti kata kita “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.

    Dari daerah ke nasional kita bilang, didaerah masih ada kekuatan kultural sebagai basis trust untuk meningkatkan modal sosial sehingga tetap memlihara ‘pilar sopan-santun dan saling mempercayai’.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.