Diskusi Riset Sosial WALHI Sumut bersama Juara R. Ginting

walhiDANA TARIGAN. MEDAN. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara menyelenggarakan diskusi tentang riset Sosial di sekretariat Walhi Sumut Jl. Sembada VII No. 31, Koserna (Medan Selayang), membahas bagaimana membuat kerangka penelitian yang meliputi pembuatan proposal riset sampai teknik riset yang baik.

Fasilitator dalam diskusi adalah Juara R. Ginting yang merupakan Antropolog dari USU yang sedang berada di Leiden (Belanda). Dalam kunjungan singkatnya ke Medan, WALHI mengajaknya memberi bimbingan tentang riset ilmiah. Dalam diskusi itu Juara Ginting memaparkan tentang bagaimana langkah-langkah untuk membuat proposal penelitian serta melakukan penelitian secara efektif dan terukur. Fasilitator menyampaikan materi diskusi secara sederhana sehingga sangat mudah dipahami oleh peserta diskusi.

Setelah sesi diskusi penelitian selesai, acara berlanjut dengan diskusi tambahan. Kali ini membahas terkait etnis di Sumatera Utara yaitu seputar Karo Bukan Batak(KBB). Karo yang selama ini dianggap satu dengan sebutan Batak ternyata merupakan etnis yang berbeda dengan Batak.  Begitupun, diskusi tersebut tidak punya tujuan kecuali dalam kaitannya dengan pencarian  identitas. Seluruh peserta terlibat aktif dan bisa menerima hasil diskusi.

Untuk membuat jelas perbedaan antara Karo dengan Batak, Juara langsung mengmbil kasus sepasang suami istri yang kebetulan ikut dalam diskusi. Si suami marga Hutapea dan si istri beru Ginting. Ketika Juara menanyakan berapa kali upacara adat dilakukan untuk perkawinan mereka, yang bersangkutan mengatakan dua kali.

“Upacara adat apa saja yang dua itu?” Tanya Juara.

“Upacara adat Karo dan upacara adat Batak,” jawab yang bersangkutan.

“Kalau Karo adalah juga Batak, maka dengan upacara adat Batak saja sudah cukup, tak perlu ada upacara adat Karo,” kata Juara menanggapi kasus ini.

Selanjutnya, Juara mengatakan tidak ada perkawinan campur antara Batak dengan Karo.

“Berdasarkan konsep upacara itu sendiri, yang kawin adalah antara Karo dengan Karo melalui upacara adat Karo dan antara Batak dengan Batak di dalam upacara adat Batak. Tidak ada satupun adat yang mengatur perkawinan antara Karo dengan Batak,” paparnya.

Acara diskusi dimulai Pukul 11.00 Wib dan berakhir pukul 18.00 Wib, diikuti oleh 22 peserta yang berasal dari lembaga-lembga anggota Walhi Sumut, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI), Sahabat Walhi dan Staf Walhi Sumut sendiri.

Turut hadir dalam diskusi itu Pemimpin Redaksi Sora Sirulo, Ita Apulina Tarigan.

One thought on “Diskusi Riset Sosial WALHI Sumut bersama Juara R. Ginting

  1. Beberapa hari lalu dalam sebuah Forum Diskusi ahli-ahli di Swedia tentang Analysa Perkembangan Strategi politik dan ekonomi dunia, memaparkan perubahan dan perkembangan yang sangat aktual dan menarik. Disamping analysa sangat bagus dari beberapa peserta, Forum itu juga menekankan perlunya meluaskan diskusi dan debat keseluruh lapisan masyarakat karena sekarang katanya hampir semua sudah bisa mengikuti dan mempengaruhi opini umum dalam soal apa saja. Usaha dan anjuran forum ini bagus sekali dan juga disiarkan luas lewat TV dan radio.

    Yang sangat ’menarik’ bagi saya dalam semua diskusi resmi seperti ini di Eropah selalu dihindari (sengaja atau tidak) ialah perubahan dan perkembangan kultur suatu etnis atau suatu nation misalnya seperti Swedia. Tendensi menghindari analisa gerakan perubahan dan perkembangan dibidang kultur ini masih terus, walaupun gerakan besar dunia dengan adanya ethnic revival atau cultural revival dunia yang masih terus saja sampai sekarang termasuk di Eropah sendiri. Menutupi atau melupakan gerakan kultur ini adalah tanda nyata adanya gerakan kultur nasional yang semakin kuat di Eropah, seperti munculnya partai-partai yang disebut partai-partai ’rasist’, yang sekarang telah berkembang bahkan menjadi partai-partai nr 3 besarnya di banyak negeri Eropah seperti di Skandinavia, Findland, Perancis, Inggris dll. Partai-partai ’rasist’ ini adalah gerakan berdasarkan kultur nation tertentu dan usaha mempertahankan kultur nation itu. The Establishment (penguasa dan golongan yang sudah mapan di masyarakat) selalu mencap gerakan kultur ini sebagai rasist.

    “tidak ada perkawinan campur antara Batak dengan Karo.” Kata JRG.
    “Berdasarkan konsep upacara itu sendiri, yang kawin adalah antara Karo dengan Karo melalui upacara adat Karo dan antara Batak dengan Batak di dalam upacara adat Batak. Tidak ada satupun adat yang mengatur perkawinan antara Karo dengan Batak,” paparnya. Sekiranya omongan begini keluar pada tahun 60-an maka JRG akan dituduh rasist, sukuisme, primordial, pemecah-belah, separatist dsb. Di Indonesia seorang, yang berpikiran maju seperti JRG sudah tak dituduh lagi rasist atau primordialsit. Ini juga menandakan bagaimana Indonesia sudah maju setapak lebih jauh dari Eropah dalam soal pandangan terhadap gerakan kultur ini. Kita boleh bangga.

    Dari analisa JRG idatas terlihat lebih jelas bahwa tidak ada upacara adat ‘Batak-Karo’ artinya suku ‘batak karo’ itu TIDAK ADA. Yang ada ialah suku Batak ditandai dengan upacara adat Batak atau suku Karo ditandai dengan upacara adat Karo.

    Kultur merupakan ciri-ciri atau pembawaan alamiah manusia yang telah memungkinkan gerup manusia tertentu melanjutkan hidupnya dalam proses ribuan tahun tantangan alam maupun tantangan gerup manusia lain, dan karena itu kultur adalah soal survival atau kelanjutan hidup bagi tiap etnis atau nation. Itulah pula yang telah menjadi sebab utama mengapa gerakan kultur ini tak pernah bisa dihambat atau dihentikan oleh siapapun. Ethnic revival atau cultural revival dunia walaupun telah sempat memakan korban jutaan jiwa manusia, tetapi gerakan kultural tetap saja terus berlanjut. Fase sekarang sudah lebih menekankan jalan damai tanpa perang, dengan diskusi dan debat ilmiah serta dengan transparan, terbuka dan keterus-terangan.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.