Kolom M.U. Ginting: Gayo, Karo dan Haru

benteng putri hijau 4
Penggalian kerangka manusia purba di Loyang Mandale (Gayo) oleh Balai Arkeologi Medan

M.U. GintingBerbagai pendapat soal asal-usul istilah ’Karo’. Sebagian bilang ’Karo’ berasal dari ’Haru’ nama kerajaan besar sejajar Majapahit dan Gajah Mada. Orang Aceh bilang ’Karee’, suku Karo yang sudah lama ada di Aceh Besar. Istilah ’Batak Karo’ masih banyak yang menulis sampai akhir abad lalu. Setelah itu, terutama setelah penemuan arkeologi di Kebayaken Gayo, ternyata Karo dan Gayo sudah berumur 7.400 tahun.

Berarti, Karo dan Gayo sudah ada lebih dari 5.000 tahun SM, sedangkan ’Batak’ baru tiba di Sumatra antara 2.500 – 3.000 tahun lalu kata Prof. Dr. Bungaran Simanjuntak, walaupun menurut arkeolog Ketut Wiradyana jauh lebih baru lagi, yaitu 700 – 800 tahun lalu.

Sudah banyak yang membaca dan mengetahui penemuan luar biasa ini sehingga penulisan istilah ’Batak Karo’ sudah terlihat sangat ketinggalan jaman. Dari penemuan itu juga bisa dipastikan bahwa Karo sudah ada ribuan tahun sebelum Haru berdiri sebagai kerajaan suku Karo. Jadi, kemungkinan yang lebih masuk akal ialah kalau nama kerajaan itulah yang berasal dari kata ’Karo’, bukan sebaliknya.

Penemuan arkeologi 2011 itu, dimana DNA Gayo dan Karo ditemukan pada satu tempat penguburan, membuktikan bahwa di masyarakat setempat adanya dua suku atau hanya satu suku saja ketika itu, sebutlah namanya Gayo. Sebagian dari kelompok ini satu waktu pergi menjelajah daerah lain. Bagian yang pergi atau pindah ke Dataran Tinggi Karo dinamai oleh kelompok yang masih tinggal di daerah Kebayaken sebagai orang Karo. Istilah ’karo’ dalam bahasa Gayo artinya asing atau pergi memisahkan diri dari kelompok yang sudah ada. Istilah ’gayo’ sendiri dalam bahasa Karo artinya ’kepiting’. Karo menyebut Gayo ’kepiting’ dan Gayo menyebut Karo ’asing’. Dua istilah ini dalam arti praktis menggambarkan dua pikiran bertentangan yaitu tetap tinggal bersama atau pindah ke tempat lain.

Bahwa orang-orang ’kepiting’ dan orang-orang ’asing’ ini tadinya satu kelompok budaya yang sama terlihat juga dari bahasa dan way of thinking yang masih sangat dekat antara Gayo dan Karo sampai sekarang Abad 21 ini, walaupun proses perpisahan atau ’pengasingan’ ini sudah lebih dari ribuan tahun.

[two_third]Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said[/two_third]

Di bawah ini saya kutip dari Wikipedia sebagai perbandingan: ”Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad” (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara” (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar di samping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo.

Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putro dalam bukunya “Karo Dari Jaman ke Jaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.”

Foto head cover: Benteng Putri Hijau di Deli Tua yang ditenggarai sebagai pusat pemukiman Kerajaan Haru


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.