Kolom M.U. Ginting: Bahaya dan Larangan

M.U. GintingnarkobaNarkoba telah menjadi alat paling murah untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, kata Megawati pada Hari Ibu 22 Desember 2014. Lebih dari 4 juta pencandu narkoba sekarang di negeri ini. Narkoba juga telah merupakan alat penyebar HIV/AIDS di samping prostitusi dan PSK. Karena itu, kata Megawati, persoalan ini telah menjadi ’belenggu penjajahan modern di bidang ekonomi dan kebudayaan’.

Penggunaan narkoba telah menjadi semacam kultur tersendiri di negeri ini dan juga di semua negeri lainnya di dunia. Banyak kematian dan saling bunuh dalam kultur satu ini. Sering orang mabuk dibunuh oleh yang tidak mabuk, atau sebaliknya yang mabuk yang membunuh orang.

Apakah bunuh-bunuhan ini jadi pelajaran bagi orang mabuk atau bagi yang tak mabuk? Bermanfaatkah pelajaran ini?

Kalau mabuk sudah jadi tradisi seperti ‘drug culture’ global, maka bunuh membunuh ini otomatis juga jadi tradisi. Kalau dalam perang etnis saling bunuh-bunuhan adalah karena pertengkaran kultur artinya kultur berbeda jadi dendam berkarat yang tak bisa diselesaikan tanpa perang, seperti di Kalteng dan Rwanda. Pertengkaran dan saling bunuh dalam drug culture bukan karena berbeda kultur.


[two_third]kultur yang tumbuh di bawah larangan[/two_third]

‘Drug culture’ adalah baru. Barangkali baru setengah abad umurnya. Dalam perjalanannya makin besar dan meluas ke seluruh dunia serta beredar dalam segala macam kultur. Atau jadi kultur baru dalam semua kultur lama/ tradisional. ‘Drug Culture’ adalah kultur yang tumbuh di bawah larangan di dalam semua kultur tradisional dan dalam tiap masyarakat yang ada sekarang di tiap negara.

Kultur apa saja tidak seharusnya tumbuh dan berkembang di bawah larangan. Karena larangan itu banyak sekali korban jiwa dalam kultur ini, dan juga banyak sekali aliran uang dalam kultur ini di samping banyak sekali juga yang dipenjarakan. Banyak bank besar global hidup dari aliran duit dari kultur ini.

Dua macam kematian dalam kultur ini. Pertama yang mati karena aliran duit tadi (dibunuh), dan ke dua, yang mati karena obat itu mematikan orang, sakit dan akhirnya mati atau bunuh diri tak kuat lagi hidup.

Seorang mabuk bilang: “My goal in life wasn’t living . . . it was getting high. Over the years, I turned to cocaine, marijuana and alcohol under a false belief it would allow me to escape my problems. It just made things worse. I kept saying to myself, I’m going to stop permanently after using one last time. It never happened.”

Satunya lagi bilang: “It started with the weed, then the pills (Ecstasy) and acid, making cocktails of all sorts of drugs, even overdosing to make the rushes last longer. I had voices in my head, had the shakes and couldn’t leave home for six months. I thought everyone was watching me. I couldn’t walk in public places.”

Jelaslah bagi orang ini sudah tak berbeda, membunuh orang atau dibunuh orang.

Kalau memang ini satu kultur yang sedang berkembang, hilangkan saja larangan, biar kultur ini berkembang sebagaimana mestinya suatu kultur akan berkembang dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Beberapa tempat sudah dibebaskan seperti di Belanda (narkotika ringan), atau di Colorado, Washington, dll (marijuana).

Pelajaran dalam satu kultur akan bermanfaat kalau tak ada larangan karena akan berkembang menurut cita-cita dan spirit kemanusiaan yang manusiawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.