Kolom M.U. Ginting: KPK dan Media Sosial

M.U. GintingPengawasan atas pekerjaan petugas negara dalam semua institusi telah mengalami perubahan besar serta akan terus berubah dan berkembang. Dalam era internet dan terutama dengan menggunakan media sosial, semua anggota masyarakat tanpa kecuali telah berfungsi sebagai petugas pengawasan atas semua pekerjaan dan kelakuan pengurus negara. Petugas pengawas yang resmi seperti Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan atau Badan Reserse Kriminal Polri dsb jelas telah terbukti tak memberikan pegangan apa-apa bagi KPK dalam soal Budi Gunawan.

”Menurut Ketua KPK Abraham Samad, proses penyelidikan terhadap transaksi mencurigakan Budi dilakukan saat mereka menerima laporan masyarakat, dan bukan dari Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan.”

Dari keterangan ketua KPK Abraham Samad jelaslah bahwa laporan masyarakatlah yang menjadi faktor yang menentukan dalam soal BG ini. Keterbukaan dari masyarakat dalam mencari dan memberikan laporan kepada KPK menjadi faktor kunci dalam melacak kecurigaan yang dilakukan jenderal polisi BG. Ini menunjukkan bahwa masyarakat telah berfungsi sebagai pengawas utama perjalanan pemerintahan negara Indonesia.

Mengapa ini tidak dibongkar ketika SBY jadi presiden, padahal laporan masyarakat itu sudah masuk ketika itu juga?

Bisa jadi karena dia (BG) ketika itu bukan mau jadi Kapolri, maka dibiarkan saja, atau pemerintah atau SBY ’sungkan’ bongkar kebobrokan seorang jenderal yang juga ex ajudan Megawati. Atau karena mobilisasi masyarakat juga harus lewat proses waktu.

Revolusi Pengawasan adalah fenomena proses perubahan sosial yang menunjukkan perubahan besar dalam pengawasan atas pejabat negara yang berbuat curang atau menggelapkan uang rakyat. Rakyat atau individu-individu yang aktif dalam persoalan masyarakat, suka rela bikin inisiatif sendiri mencari dan mengumpukan fakta yang mungkin dan terjangkau untuk dipublikasikan langsung atau meneruskannya ke KPK. Keterbukaan telah menjadi fakta, dan menjadi senjata.

Jasa besar media sosial ialah menciptakan keterbukaan dalam semua aspek penting sosial dan kemasyarakatan. Koran-koran besar dari the establishment tidak lagi menjadi patokan, bahkan koran-koran ini banyak mengambil berita dari media sosial yang disebarkan oleh jutaan orang, yang punya kekuatan sinergi luar biasa.

“The best weapon of a dictatorship is secrecy, but the best weapon of a democracy should be the weapon of openness.” —Niels Bohr

Openness here means public access to the information needed for the making of public decisions.

Itulah misalnya dalam soal penggantian Kapolri, persoalannya telah berhasil diubah menjadi public decision.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.