Legenda Berhala Sipispis

Dituturkan kembali oleh: Salmen Sembiring

salmenberhala 8Laya-laya memang telah usai, namun sisa derita masih mendera Rakyat Karo di seluruh penjuru negeri. Derita mereka berupa sisa penyakit, tanah yang baru ditanami sehingga banyak yang menderita kelaparan. Ada diantara mereka yang melakukan perjalanan jauh menjumpai saudara mereka dan ada juga yang merantau ke negeri seberang. Seperempat penduduk desa telah meninggal akibat laya-laya yang kejam itu. Kebanyakan dari yang meninggal itu adalah anak-anak dan orang tua.

Berhala, gadis belia yang juga hidup di zaman Laya-laya selamat dari serangan mematikan itu. Kini ia tinggal bersama ibu dan seekor anjingnya. Ayahnya dan saudaranya meninggal akibat serangan Laya-laya saat usianya anak-anak. Melihat situasi desa yang masih terpuruk, juga menanam padi masih menunggu enam bulan lagi baru panen maka ia berniat merantau. Sangat jarang sekali anak perempuan merantau di kalangan Suku Karo.

Ia sering bertanya-tanya kepada perlanja sira tentang kehidupan di Karo Jahe atau dimana saja di negeri yang jauh. Setelah membulatkan niat, ia memohon kepada ibunya. Tentunya larangan keras datang dari ibu Berhala karena hal tersebut sangat akan memalukan bagi keluarga. Terlebih mereka adalah keturunan Barus Simantek Kuta. Perdebatan mereka sengit, sampai-sampai Mama Berhala datang meredam pertentangan itu. Dengan jiwa diplomatnya, Mama Berhala akhirnya meluluhkan hati ibu Berhala dan mengijinkannya merantau.

***

Berhala akhirnya ikut bersama rombongan Perlanja Sira menuju dataran rendah di sebelah Utara Deleng Lau Simbiring. Enam jam perjalanan ia masih melihat pucuk Deleng Barus. Empat jam kemudian ia tidak melihat lagi bukit-bukit tempatnya dahulu dibesarkan bersamaan dengan datangnya kegelapan malam.

Ia tidak membawa kenang-kenangan dari ibunya. Ibunya hendak memberi tongkat ayahnya kepadanya namun ia menolaknya. Justru ia  ingin membawa anjing semata wayangnya, namun itu juga diurungkan karena susah sekali tentunya merawat anjing di negeri yang belum diketahui keberadaannya. Hanya bekal sehari dan pakaian seadanya yang ia bawa.


[one_third]Ia mengajak Berhala untuk bergabung [/one_third]

Parasnya yang cantik juga sikapnya yang lembut meluluhkan hati seorang saudagar dari negeri  di seberang laut, Sanggapura.  Ia pulang pergi berjualan ke pinggiran laut Melaka, membeli lada dan kayu-kayuan. Ia mengajak Berhala untuk bergabung dan bekerja untuknya di negaranya. Tanpa sedikit rasa keraguan Berhala ikut dalam perahu itu. Dan sering pulang pergi ke daerah pinggiran pulau Sumatra bersama kapal besar itu.

***

Sang anak saudagar keturunan Raja Melaka suka kepada Berhala dan akhirnya menikahinya. Kali ini sahlah Berhala menjadi keluarga saudagar. Sudah lima tahun berselang ia tidak pernah pulang lagi ke Negeri Serdang, kampung halamannya. Ia terlanjur mengatakan kepada saudagar itu bahwa ia telah menjadi anak melumang karena serangan Laya-laya. Karena kisah itu juga dahulu saudagar itu membawanya ke negerina.

Sekali jadi ibunya mendapat cerita dari Perlanja Sira bahwa anaknya si Berhala telah menikah dengan saudagar kaya dari negeri seberang laut. Ibunya tentunya tidak tahan lagi ingin berjumpa melihat putrinya yang teramat disayanginya itu. Tubuhnya yang mulai keriput kembali terasa segar karena ingin berjumpa. Ia sering menitipkan salam melalui perlanja sira agar disampaikan rasa rindunya kepada anaknya itu.

Secara sembunyi-sembunyi berhala sesungguhnya ingin menjumpai ibunya namun karena takut akan ucapannya dahulu ia menahan itu. Ia sering mengirimkan dua atau lima sen melalui perlanja sira kepada ibunya. Sedangkan ibunya sering mengirimkan gula aren dan gula tualah kesukaan Berhala.


[one_third]Akhirnya ibunya berangkat juga[/one_third]
a

Ibu berhala akhirnya mengokohkan kaki dan niatnya untuk dapat turun bersama Perlanja Sira. Tujuannya hanya satu agar dapat melihat wajah puterinya itu. Kehidupan di Gugung belum normal, masih saja kemiskinan merasuki kehidupan rakyat disana. Banyak sekali penduduk yang menderita gadam dan barut disana.  Akhirnya ibunya berangkat juga bersama Perlanja Sira. Sehari penuh perjalanan mereka.

***

Lebih seminggu ia menunggu kapal saudagar itu. Makan dan hidupnya ditanggung Perlanja Sira yang kebetulan juga menunggu kapal saudagar itu untuk menjual barang dagangan mereka yang datang bersama kapal itu juga. Harapnya kini memuncak di ubun-ubun tatkala dari kejauhan tampak kapal di pinggir laut. Perlanja Sira mengemasi raga-raga mereka. Ibunya juga mengemasi barang-barangnya. Anjing keluarga itu juga ikut dan terus menggoyang-goyangkan ekornya seolah ia juga merasa gembira menunggu kapal itu.

Sore juga kapal itu baru berlabuh di pinggir pantai. Perlanja Sira akhirnya bercerita ke Berhala bahwa ia membawa ibunya. Berhala dari atas kapalnya melihat bahwa itu memang ibunya bersama dengan tongkat ayah dan anjingnya. Tangis dan malu bersatu di jiwanya seolah terpukul oleh tongkat ayahnya itu. Pakaian ibunya yang lusuh sangat tidak sebanding lagi dengan kehidupan berhala yang penuh kekayaan. Ia pun turun bersama pedagang lainnya membeli barang dagangan. Ibunya menanyai orang lain yang manakah anaknya itu.

Akhirnya ia menjumpai Berhala. Berhala langsung menyuruh puteranya naik ke kapal. Suaminya dari atas kapal bertanya siapa perempuan itu. Berhala mengelak, ibu tua ini membawa peninggalan dari dari almarhum ayah saya. Ini adalah tongkat dan anjing kesayangan ayah saya. Lalu ia memberikan lima sen kepada ibu itu dan langsung naik ke kapal membawa tongkat dan anjing itu. Demikianlah hebatnya ingatan seekor anjing, sudah bertahun-tahun berpisah masih saja ingat kepada tuannya.

Lain halnya dengan berhala yang karena melihat kemiskinan ibunya melupakan segalanya. Ibunya berteriak bahwa ia ibunya. Suaminya melihat ke istrinya tapi istrinya berjalan dengan cepat masuk ke kapal. Orang-orang hanya terdiam karena tidak akan ada orang yang berani menasihati saudagar kaya keturunan Raja Melaka di Sanggapura.

Terpukul benar hati ibu berhala dengan apa yang terjadi itu. Suaminya menjumpai ibu tua itu. Ibu berhala menceritakan semuanya. Tapi suaminya juga kurang percaya karena takut ibu itu hanya mengaku-aku hanya karena ingin berhenti dari hidup miskinnya. Si suami juga meberikan lima keeping emas ke ibu itu untuk bekalnya pulang. Ibu itu tidak melihat kepingan emas itu diikat di tudungnya.

***

Perlanja Sira menenangkan hati ibu Berhala. Mereka menuntunnya pulang keesokan harinya bersamaan dengan berangkatnya kapal itu juga. Hatinya masih terpukul dengan sikap anaknya itu.

“Tega benar anak yang lahir dari perutku berbuat demikian kepadaku,” pikirnya.

Sesampainya di Buntu ia menyuruh Perlanja Sira lebih dahulu saja berjalan, ia akan menyusul karena memang hanya tinggal 2 jam saja perjalanan menuju Negeri Serdang panteken Barus, nenek moyang Berhala. Perlanja sira itu meninggalkan ibu Berhala di kampung Buntu.

berhala 6Ibu Berhala menatap ke laut sore hari itu. Memang dari puncak gunung tampak laut jika tidak ada awan atau kabut yang menghalangi. Ia menangis dan mengutuki anaknya itu. Mulailah angin kencang dan hujan lebat meliputi sejauh pandangan sore itu. Tidak tampak lagi laut dari bukit itu. Ia meneruskan perjalanannya. Air matanya mengalir bersama air hujan yang dahsyat itu. Ia mematahkan sebatang  bambu kecil sebagai tongkatnya.

Angin kencang itu juga menerjang kapal keluarga Berhala itu rupanya dan akhirnya membalikan kapal itu. Belum jauh sesungguhnya kapal itu dari pantai, namun demikian tidak aka nada orang yang mampu berenang demikian jauhnya. Anjing itu ternyata menyelamatkan diri dari kepingan papan dan berhasil mendarat di pantai. Orang-orang lain tenggelam bersama kapal itu. Adapun yang sempat melompat dari kapal itu tetap saja mati karena badai laut.

Ibu berhala tidak dapat melihat jalan lagi dalam tebalnya kabut. Akhirnya ia bermalam di bawah kayu besar. Ia tidak sadar bahwa ia berada di Kerangen Sipis-pis Deleng Lau Simbiring yang sangat dikeramatkan selurh penduduk Negeri  Serdang, baik di gunung maupun dataran rendah. Ia bermalam di sana. Anjing itu ternyata mengingat jalan pulang dan terus berjalan di malam yang hujan lebat itu. Tengah malam anjing itu mendapatkan Ibu Berhala, ia menjilatinya dan berteduh di bawah kayu itu.

Setelah merenung dalam gencarnya petir Ibu Berhala merasa tidak ada gunanya lagi hidupnya karena anaknya juga telah meninggalkannya. Suaminya juga telah meninggal. Putera-puteranya juga telah mati karena laya-laya itu. Ia pun mengutuki dirinya, betapa malang hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

“Biarlah aku mati saja,” ujarnya dalam hati.

Namun ia juga takut bunuh diri. Doanya didengarkan oleh Keramat Kerangen Si Pispis. Petir yang dahsyat menyambar di dekat kayu itu dan kagetnya membuat ia membeku dan akhirnya membatu bersama anjingnya.

***

Sampai saat ini masyarakat desa-desa di Kecamatan Barus Jahe (Kabupaten Karo) dan Kecataman Senembah Tanjung Muda (STM) Hulu (Kabupaten Deliserdang) mempercayai legenda ini.

Terdapat batu besar yang diyakini sebagai ibu Berhala di kerangen Si Pispis, juga ada sebatang bambu yang tumbuh di dekat batu itu yang sampai saat ini tidak pernah tumbuh tinggi. Bambu tersebut diyakini sebagai tongkat bambu yang digunakan ibu Berhala ketika pulang karena tongkat ayahnya telah diambil Berhala. Juga terdapat batu kecil yang diyakini sebagai anjing. Sedangkan kapal berhala yang terbalik itu diyakini sebagai sebuah pulau yang tidak berada jauh dari pulau Sumatra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.