Kolom M.U. Ginting: 100 HARI JOKOWI

M.U. Ginting100 hariPada jam-jam Pilpres tempo hari, sering muncul survei yang sangat memihak, berat sebelah sehingga tak bisa dipercayai. Tetapi dari kenegatifan itu juga datang yang positifnya. Pengusaha/ kepala survei-survei itu dihadapkan ke meja pembuktian angka-angka dan statistiknya, yang palsu terpaksa mundur dan gulung tikar.

Angka-angka itu dari segi pemikiran logis juga bisa diduga benar tidaknya. Semua orang juga melihat situasi sebenarnya di hadapan mata dan situasi keliling di tiap daerah survei yang menjadi target tukang survei. Angka-angka yang sangat bertentangan dengan logika memang juga salah, yang kemudian terlihat dalam pembuktian di hadapan berbagai ahli peneliti.

Kemarin, sudah ada juga survei bilang kepopuleran Jokowi masih 70%, dan dari survei ini (LSI) di atas 50%. Jadi, kalau pun kita duga sendiri, kira-kira begitulah. Sebab utama katanya adalah program Jokowi KIS, KIP, KKS. Ini bisa juga dimengerti karena, bagi rakyat banyak, program-program praktis yang membantu ekonomi mereka memang lebih mantap dalam ingatan daripada persoalan pengangkatan Kapori bermasalah. Soal-soal ekonomi menyangkut langsung soal perut rakyat, terutama bagi lapisan bawah yang sangat membutuhkan. Dan, yang ini jumlahnya banyak di Indonesia.


[one_fourth]lantas Merkel pula disuruh bayar[/one_fourth]

Secara internasional, terlihat juga bagaimana pelaksana pemerintahan di Yunani yang tak pernah bisa duduk tenang karena soal ekonomi perut tadi. Pemerintah baru sekarang dari ’rombongan’ Marxis, Komunis, Sosialis mencoba nasibnya. Dicoba dengan meminta utang sebagian dihapuskan. Utang ini sudah lama mencekik leher orang-orang Yunani. Angela Merkel Jerman menolak permintaan itu. Memang terlalu enak juga kalau orang-orang berkuasa selama ini bikin utang, lantas Merkel pula disuruh bayar. Semua orang juga bisa jadi kepala negara kalau utangnya dibayarkan oleh orang lain. Tak usah mikir.

Dari segi lain ialah utang-utang itu karena banyak korupsi, dan juga bank-bank asing/dunia sengaja bikin banyak pinjaman untuk bisa mengikat leher orang-orang Yunani, seperti juga yang dialami orang-orang negeri kita.

Kembali ke soal ekonomi perut tadi, soal Rusia dan Putin. Kepopuleran Putin dengan gasnya berlimpah + peningkatan ekonomi Rusia telah bikin popularitas Putin mencapai puncaknya sampai waktu dimulainya konflik dengan Ukraina. Sekarang, dengan pemboikotan ekonomi dan perang yang menghabiskan uang banyak, ekonomi Rusia merosot, dan ekonomi perut tadi telah mulai dirasakan oleh rakyat banyak dan kepopuleran ’gospada’ (tuan, bukan towarish atau kawan) Putin juga merosot.

Memang banyak juga yang berpendapat bahwa pemboikotan Barat tak begitu berpengaruh terhadap Rusia.

“Dari dulu juga Rusia tak pernah mengalami ekonomi bagus,” katanya.


[one_fourth]Norwegia sudah ngerem produksinya[/one_fourth]

Ekonomi dunia dilanda perkembangan baru, terutama perubahan penting di lapangan sumber energi. Shale gas Amerika, Kanada, dan digalakkannya produksi minyak besar-besaran oleh Saudi bikin harga/ biaya pembelian bahan bakar drastis menurun seluruh dunia. Saudi Arab pernah menantang semua produsen oil adakah yang mampu bertahan dengan harga oil per barrel di bawah 50 dollar. Sekarang sudah 50 atau bahkan di bawah 50. Saudi bertahan terus. Norwegia sudah ngerem produksinya karena biaya produksi terlalu mahal dibandingkan penjualan. Tadinya uang Norwegia lebih tinggi dari uang Swedia, lantas orang Norwegia pada belanja ke Swedia. Sekarang terbalik, orang Swedia belanja ke Norwegia. Semua senang, hanya jadi bahan lelucon saja, karena semua masih ekonominya bagus saja (Swedia dan Norwegia).

Ketika Jokowi hapus subsidi BBM dan dialihkan ke bagian lain, sebagian dari ketiga program di atas, banyak juga yang protes. Jokowi memang ada untungnya juga, atau dia memang sudah menduga soal perjalanan proses penurunan harga minyak dunia itu. Penghapusan subsidi BBM tak begitu jadi soal yang berlaru-larut, soal yang SBY tak pernah berani untuk melaksanakannya. SBY ada juga memang keistimewaannya dalam soal-soal pedih negara, dia selalu berada di LN. Jokowi siap dan setia menanti kemarahan rakyat. Dia belajar dari situ. Itulah Jokowi, itulah Indonesia di era Jokowi, era Revolusi Mental, era Introversi Quiet Revolution, quiet karena orang-orang extrovert dari abad lalu tak akan pernah mendengar atau tak mungkin mendengar.

Dan juga bukan era angkat senjata seperti gospada Putin atau era ke LN kalau ada persoalan sulit. Era Jokowi adalah era Suara Rakyat. Demokrasi Keterbukaan dan Transparansi, diskusi dan dialog terbuka. Era ‘the voice of the people’, bukan lagi era ’rakyat yang tak jelas’.

Jadi, 100 hari Jokowi tidak hanya diselamatkan oleh KIS dan KIP seperti dalam survei LSI, tetapi lebih banyak karena KETERBUKAANNYA.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.