Sopan atau Tidak Sopan dalam Berpakaian

Oleh : Bastanta P. Sembiring (Medan)

pakaian 1bastantaBeberapa hari lalu saya memposting sebuah foto di sebuah grup (lihat foto). Beberapa komentar positif, khususnya memuji cara berpakaian keempat wanita dalam foto. Ada juga komentar yang membanding wanita-wanita dalam foto dengan gaya berbusana wanita sekarang yang, katanya: “Wanita sekarang tidak sopan dalam berbusana, berbeda dengan wanita zaman dulu.”

Pertanyaannya, apakah dengan melihat gaya berbusana seseorang lantas kita bisa memvonis mereka ‘tidak sopan’?

“Dengan langsung memberlakukan nilai kesopanan yang nota bene adalah nilai-nilai agama Samawi dapat mempersempit upaya kita untuk mengenal keanekaragaman pakaian tradisional serta perkembangannya,” kata Juara R. Ginting (JRG) di dalam merespon tanggapn di atas

Menurut pandangan saya, sesungguhnya ‘sopan’ adalah hal yang relatif. Demikian juga dengan ‘tidak sopan’. Setiap budaya bangsa memiliki standard kesopanan yang berbeda. Ruang dan waktu sangat menentukan sesuatu dikatakan ‘sopan’ atau tidak. Misalkan, kita lihat gaya berbusana artis Hollywood atau Bollywood yang kita katakan “sexy” dan beberapa diantara kita katakan ‘tidak sopan’. Atau wanita yang hanya berbikini di pantai.

Bagaimana pula dengan busana perempuan di nusantara zaman dahulu? Yang membuat saya pun bertanya-tanya, sopan itu seperti apa. Apakah sexy sama rtinya dengan tidak sopan?

bastanta 1
Sanggar Seni Sirulo menghibur wisatawan gereja-gereja Kalimantan di Museum GBKP Sibolangit

Untuk itu, saya mengajak pembaca sekalian kembali ke masa-masa lalu (silahkan search foto-foto perempuan tempo dulu) dan melakukan perbandingan dengan gaya busana wanita zaman sekarang.

Pertanyaannya: “Kira-kira apa yang berbeda?”
Dalam sebuah diskusi, seorang perempuan menjawab: “Model, warna lebih cerah, dan bahan.”

Bagaimana dengan modelnya, apakah lebih terbuka atau cenderung lebih tertutup?
Tentunya kita setuju ‘relatif’.

Jadi, apakah seorang perempun yang memakai gaun yang tampak belahan dadanya atau setengah punggungnya terbuka; ataupun perempuan dengan kain panjang menutupi tubuhnya hanya sampai dada, itu sexy? Kebanyakan katakan “sexy”, namun, apakah tidak sopan? Jawaban lebih variasi.

Dalam Kamus English-Indonesia, sexy diartikan: menggairahkan, menggiurkan (tanpa ada penjelasan lebih lanjut). Kembali kepada kata dasarnya, yakni ‘sex/seks’ yang berarti: jenis kelamin, alat kelamin, yang berhubungan dengan alat kelamin.

Saya coba bandingkan dengan kata ‘sopan’ dalam KBBI, dimana disebutkan, sopan: 1. hormat dan takzim (akan, kepada); tertib menurut adat yang baik; 2. beradab (tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian, dsb); tahu adat; baik budi bahasanya; 3. baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul).

bastanta 2Kembali timbul pertanyaan: Apakah perempuan dahulu kalah ‘sexy’ dengan perempuan sekarang? Atau masih samakah sexy dengan ‘tidak sopan’? Atau, apakah semua yang berpenampilan terbuka adalah sexy dan tidak sopan? Silahkan simpulkan sendiri.

Namun, menarik komentar dari bang Edi Sembiring: “Sexy is good looking”, yang menempatkan sexy itu sebuah hal yang tidak membosankan, atau seorang perempuan sexy: perempuan yang berpenampilan menarik dan tidak membosankan.

Sebagai perbandingan bagi kita untuk melihat seberapa kuat faktor ruang dan waktu menentukan suatu kesopanan, saya kutip dari dialog novel/film ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’. Demikian kata Zainudin/Shabir kepada Hayati: “Pantang bagi seorang pemuda memakan sisa orang!”( film ini berlatar 1930-an, dan komentar tidak saya lanjutkan).

Atau kata “pengkah” dalam bahasa Karo yang arti dan penggunaanya adalah “cabang”, namun belakangan terjadi perubahan makna, dimana kata ‘pengkah‘ ini dipakai untuk menunjuk alat kelamin laki-laki (penis). Akibatnya, tentunya saja, kata ini menjadi tidak layak diucapkan sembarangan.

Maka, kita stop saja sampai di sini, sebab dalam hal ‘sexy’ saja pandangan setiap individu dan kelompok berbeda-beda. Apalagi jika sudah sampai kepada ranah ‘sopan’ atau ‘tidak sopan’.

 

Sejak kapan nusantara tahu kesopanan?

Kembali saya katakan, ‘sopan’ itu relatif. Sangat ditentukan oleh ruang dan waktu. Ruang berkaitan dengan tempat, misalkan: di kantor, tempat ibadah, rumah, tempat wisata, di tempat pendidikan, dlsb. Atau di Bali, di Tanah Karo, di Toraja, dll.

Waktu, misalkan saat beribadah, saat bersama orangtua, saat bersama pasangan, saat bersama anak-anak, dlsb.

Namun, belakangan ada kecendrungan pada kita untuk menilai ‘kesopanan’ berporos pada ‘sexsualitas’ sebagai tolak ukur. Maka sangat menjadi menarik kajian yang disampaikan JRG.

Dari pengalaman beliau (JRG) meneliti ruma-rumah adat di Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat. Menarik untuk diperhatikan mengenai tradisi ‘membalut tiang’ pada rumah. Hal ini sangat terkait dengan pengaruh norma-norma Islam, tetapi tetap bertumpu pada (dasarnya) Pre-Islam. Dari cross-cultural survey, maka tampak adanya tahapan perubahan kebudayaan dari Pre-Islam kepada kebudayaan yang telah kuat dipengaruhi oleh norma-norma Islami.

Dicontohkan, rumah di Minang (Sumbar) yang keseluruhan tiang di bawah kolong tidak ada yang dibiarkan ‘telanjang’. Bandingkan dengan etnis tetangganya Mandailing (Sumut), ada sebagian yang dibalut (ditutup dengan papan mengikuti cara Minang) dan rumah-rumah yang lebih tua dibiarkan ‘telanjang’.

Bandingkan juga dengan patung, ukiran, ataupun lukisan pada candi/kuil Hindu – Budha. Ataupun kebudayaan Pre-Hindu – Budha, misalkan patung-patung di Nias. Dimana bagian-bagian tubuh seperti payudara dan alat kelamin ditonjolkan, karena sexsualitas dipandang sebagai sumber kesuburan dan ketenangan. Di lain pihak, agama-agama Samawi menganggap hal-hal seperti ini yang  menimbulkan huru hara di dunia.

bastanta 3
TARTAR BINTANG seusai tampil di Buitenhof, Den Haag (dekat gedung parlemen Belanda, Binnenhof) [Rabu 6/6/ 2012].

Apa kaitannya dengan gaya berbusana? Tentu ada, sebab dalam budaya Austronesia, konstruksi sebuah rumah sangat erat kaitannya dengan tubuh manusia atau hewan, sebagaimana telah banyak ditunjukkan oleh antropolog, kata JRG.

Pergeseran budaya ini juga jelas tampak terjadi pada Suku Karo. Kita ambil contoh gaya berbusana perempuan Karo masa Pre-Zending (sebelum 1890-an), yang memakai ‘abit datas’ (tertutup hanya sebatas dada, ada juga di bawah payudara, atau hanya sampai pinggang, sehingga seluruh badan bagian atas terbuka), namun di zaman sekarang ini akan jadi cemohan jika seorang perempuan Karo memakai ‘abit datas‘ berkeliaran di tengah kuta.

Maka dapat kita tarik beberapa kesimpulan, diantaranya: 1 ‘Sopan’ ataupun ‘tidak sopan’ sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu, sebab seperti kata pepatah, “Andere Zeitten, andere sitten“. Lain lubuk, lain ikannya. Lain bangsa, lain budi bahasanya. Lain dulu, lain juga sekarang. ; 2 penilaian kesopanan yang berporos pada sexsualitas merupakan pengaruh agama Samawi yang di masa Hindu-Budha ataupun Pre-Hindu/Budha memiliki pandangan yang berbeda.
Sehingga penilaian yang diberikan kepada gaya berbusana orang tidak selamanya relevan dan etis. Jadi, tidak usah takut tampil sexy. Mejuah-juah.


2 thoughts on “Sopan atau Tidak Sopan dalam Berpakaian

  1. Di beberapa daerah di Indonesia, saya ambil contoh Suku Anak Dalam di Jambi. Wanitanya masih memakai sehelai kain panjang saja yang menutupi tubuh hingga dada. Bahkan, ada yang hanya sampai dibawah payudara, ada juga yang hanya sampai pinggang(tubuh bagian atas keseluruhan terbuka). Apakah mereka tidak sopan?

    Atau, apakah kesopanan pada mereka(suku pedalaman) tidak/belum berporos pada sexualitas? Tidak juga. Mereka sangat menjaga aurat, yang dalam pandangan mereka mungkin sebatas alat kelamin, sehingga bagian ini sangat dijaga. Seperti di Mentawai, bilik laki-laki dan perempuan saat tidur terpisah, walau suami istri. Dan hanya saat ingin menjalani ritual meneruskan keturunan, baru tidur dalam satu bilik.
    Menurut saya ini contoh budaya pre-Samawi yang tidak tertutup kemungkinan akan bergeser ke penganut pandangan agama-agama Samawi, seperti halnya yang telah tetjadi di Suku Karo, dll. Mejuah-juah.

  2. Mantap analisa sopan santun ini, pembaca lantas berkesan tak usah takut dikritik soal berpakaian, atau tampil sexy.
    Ruang dan waktu tadi memang menentukan. Manusia mulanya telanjang saja, belum mengenal pakaian. Sampai 70 an masih ada suku bangsa di Brasilia belum berpakaian sama sekali.
    Masa kini pakaian dibikin untuk cari duit, mode dsb. Tendensi yang sedang berkembang di Eropah barat ialah berkurangnya pembeli dan penggemar pakaian dengan tendensi baru ke makanan. Manusia lebih memilih minum kopi atau makan daripada ke toko pakaian. Ada hubungannya juga dengan tendensi ke lingkungan. Tendensi arah pemikiran ini kelihatan semakin kuat, dengan statistik penurunan pembeli pakaian.
    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.