Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting sebagaimana dirilis oleh merdeka.com [Jumat 30/1] mengatakan, dalam Pasal 77 KUHAP mengatur bahwa Praperadilan hanya berwenang memeriksa: (i) sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, (ii) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan (iii) ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Dari formulasi tugas-tugas praperadilan ini bisa dipastikan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan (BG) tak akan berubah dengan hasil keputusan praperadilan. Dengan memutuskan terdakwa BG dari KPK tidak sah, maka hakim Sarpin telah bersikap sebagai pengadilan sungguhan, bukan lagi sebagai praperadian dengan tugas dan kewajibannya yang sudah tertulis jelas menurut UU KUHP.
Dalam Pasal 11 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK mengatur sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK. Disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Selain itu, kasus yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Alasan Sarpin yang utama ialah, katanya, BG bukan eselon 1. Dia bilang: “Karobinkar merupakan unsur pelaksana SDM, jabatan administratif golongan IIA, tidak masuk penyelenggara negara, bukan eselon 1.”
Yang dia kaburkan di sini ialah ‘aparat hukum’nya yang tertulis dalam UU KPK yaitu berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
[one_fourth]seorang polisi apalagi kolonel pastilah termasuk aparat penegak hukum[/one_fourth]
Kalau kita orang biasa tentu tak bisa dikatakan ‘aparat penegak hukum’, tetapi seorang polisi apalagi kolonel pastilah termasuk aparat penegak hukum. Jadi, tentu saja, termasuk yang jadi sasaran penyelidian KPK. Apakah BG di Karobinkar sebagai kolonel polisi atau sebagai eselon 2 memang tak disebutkan. Akan tetapi, menurut Sarpin, BG adalah eselon 2. Karena itu, dia tak boleh disentuh oleh KPK.
Dua ‘terobosan’ Sarpin jadi perdebatan: 1. melanggar tugas praperadian seperti tertulis di UU Pasal 77 KUHAP dan 2. menafsirkan BG sebagai eselon 2 dan bukan ‘aparat penegak hukum’.
‘Kekacauan adalah tetangga Tuhan’, kata orang Swedia. Huru-hara KPK-Polri ini telah dan akan meningkatkan pengetahuan rakyat soal Undang-undang dan pentingnya perubahan dalam KPK maupun Polri untuk bisa lebih mantap melawan kekuatan besar musuh negara dan musuh nation Indonesia; yaitu korupsi dan mafia koruptor di tempat-tempat basah, yang merupakan urat nadi kepentingan negara seperti tambang, pajak, pendidikan, dll.