Kolom M.U. Ginting: Darwinian Competition in Karo Region

Juara R. Ginting 2
Beidar Sinabung ditampilkan oleh orang-orang Karo di Belanda dalam acara Pasar Malam Indonesia yang dilaksanakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Utrecht (Foto: Ariyadi Wijaya).

M.U. GintingDengan bertambahnya penduduk pendatang di banyak daerah di Indonesia maupun di banyak negeri di dunia, terutama di Eropah, maka teori Darwin soal persaingan antara berbagai ragam makhluk hidup terlihat semakin tajam. Sebagai akibat aliran pendatang ini, di Eropah muncul berbagai gerakan nasionalisme dan telah jadi kontradiksi abad ini di sana. Di Indonesia dan semua negeri multi-etnis muncul gerakan sukuisme atau primordial atau kontradiksi antar suku/ daerah.  Bedanya sekarang ialah, semua sudah legal dan perjuangannya harus terbuka, kalau mau adil dan tak mau punah.

Sama halnya dengan semua daerah lain, orang Karo dan daerahnya juga punya masalah yang sama. Menyangkut masa depannya dan nasibnya sebagai suku, yaitu Suku Karo dengan budaya, kultur dan daerahnya yang masih utuh. Termasuk di dalamnya kearifan lokal.

[one_half]

“Given that some ethnic groups (especially ones with high levels of ethnocentrism and mobilisation) will undoubtedly continue to function as groups far into the foreseeable future, unilateral renunciation of ethnic loyalties by some groups means only their surrender and defeat – the Darwinian dead-end of extinction. The future, then, like the past, will inevitably be a Darwinian competition in which ethnicity plays a very large role,” kata Prof. Kevin MacDonald dalam tulisannya yang berjudul Genetic Interests of Ethnic Groups. 

[/one_half]

Dalam bahasa Indonesia (terjemahan bebas):

“Mengingat bahwa beberapa kelompok etnis (terutama yang tingkat etnosentrisme dan mobilisasinya tinggi) pasti akan terus exis dan berfungsi sebagai kelompok jauh ke masa depan, dan penolakan sepihak loyalitas-etnis oleh beberapa kelompok berarti hanyalah  menyerah dan mengakibatkan kekalahan mereka – atau dari segi Darwin berarti titik akhir kepunahan mereka. Maka itu, masa depan, seperti juga masa lalu, pasti akan terus berlaku  kompetisi Darwin dimana kesukuan memainkan peran yang sangat besar, ” kata Prof. Kevin MacDonald.

Bagi orang Karo juga sangat berlaku kebersamaan dan kesetiaan sesamanya dalam menghadapi persaingan yang tak terelakkan ini. Kalau kebersamaan dan kesetiaan sesama Karo ini terganggu, atau karena satu atau lain hal diabaikan oleh orang Karo secara sengaja atau tidak dalam persaingan itu, berarti orang Karo sudah menyerah dan sedang menuju kekalahan. Selanjutnya, berangsur-angsur akan tiba di batas akhir kepunahannya sebagai suku tersendiri yang utuh.

Orang-orang pendatang di Karo selalu disambut oleh orang Karo, tetapi orang Karo sebagai tuan rumah tidak harus secara sepihak menolak atau mengurangi kesetiaan-sukunya sesama Karo. Ini perlu untuk mempertahankan budaya dan kultur Karo di daerah ulayat Karo dan dengan sendirinya juga kearifan lokal tanah ulayat Karo.

Orang Karo bersikap terbuka menyambut pendatang. Memang begitulah kebiasaan dan way of thinking Suku Karo. Tetapi, pendatang maupun orang Karo tak boleh lupa kalau pendatang itu datang ke daerah ulayat orang Karo. Di situ ada tradisi Karo yang tak perlu dirombak atau dirusak oleh pendatang.

[box type=”shadow”]

‘Minorities should be welcomed but they should not be able to remake society in their own image,’ kata Prof. MacDonald.

[/box]

Bagi pendatang, masih tetap harus diberlakukan ‘dimana bumi di pijak, di situ langit dijunjung’.  Bagi orang Karo, harus tetap mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal Karo, karena kearifan lokal Karo sudah terbukti bikin hidup Suku Karo sejak ribuan tahun. Tiap daerah ulayat suku tertentu di situ ada kearifan lokal suku itu.

Persaingan etnis adalah alamiah (Darwinian natural selection). Tak pelak, kita harus melawan human nature dalam menangani persaingan etnis ini. Kita harus mengakui ini baru bisa menghadapinya. Kita harus mengerti juga bahwa tiap etnis punya mobilitas berlainan, begitu juga inteligensinya dan kesetiaan etnisnya sangat berbeda dari etnis ke etnis seperti dalam penjelasan MacDonald di atas.

eiwans tarigan
Foto: Eiwans Tarigan

Kalau di Karo ada elit penguasa/pejabat dari suku pendatang, secara teori dan praktek akan sangat membantu bagi pesaing pendatang untuk lebih meluaskan pengaruhnya dalam ethnic competition di daerah ulayat Karo dan terutama di ibu kotanya Kabanjahe dan juga Berastagi sebagai kota wisata dan kota pendatang.

Jangan lupa, ada contoh bagus dalam hal ini. Nasib ibu kota Simalungun dan ibu kota Dairi Pakpak yang sepenuhnya sudah berada di luar kekuasaan penduduk aslinya. Juga di daerah ulayat Karo Deliserdang yang berada di bawah external dominansi pendatang.

Di 3 daerah ini berlaku dan sudah berjalan proses Darwinian ethnic competition ‘adaptation’ dan‘natural selection’.  Dalam ‘adaptation‘, semua etnis yang bersaing saling menyesuaikan diri sesamanya dan dengan situasi keliling. Dalam ‘natural selection‘, terjadi perubahan mendasar, vital dan fatal. Yang lemah terpaksa keluar dari pertandingan, menyingkir atau lenyap, dan yang kuat ambil alih semuanya. Kekuasaan dan daerah ulayat pindah tangan. Kearifan lokal dan kultur/ budaya bagi penduduk asli hanya tinggal nama.

[box type=”shadow”]

Bupati Karo Terkelin Brahmana dibandingkan dengan bupati-bupati sebelumnya kelihatannya sudah melihat jauh  persoalan ini, terlihat dalam kata sambutannya dalam Jubileum 75 Tahun salah satu organisasi gereja pendatang di Kabanjahe. Bupati Terkelin mensinyalir kemerosotan kearifan lokal dan nilai-nilai lokal.

[/box]

Semua etnis ingin mempertahankan existensi dan perkembangan sukunya. Orang Karo juga pastilah tidak menginginkan supaya suku Karo hilang atau punah dalam persaingan Darwinian ini, khususnya tentu tidak ingin kehilangan kultur/ budayanya dan daerah ulayatnya.

Karena itu, orang Karo harus ingat kembali proses sejarah Darwinian competition yang sudah ratusan tahun berlaku. Yang sudah pasti menang ialah suku yang mobilisasinya tinggi dan etnosentrisnya  tinggi. Artinya, yang keaktifan dan solidaritas sukunya lebih tinggi dari suku-suku saingan.

Dari segi inteligensinya juga berlainan tiap etnis, termasuk dalam inteligensi verbal, dalam berbicara dan angkat bicara menyatakan hak dan kepentingannya sebagai perorangan dan sebagai suku. Suku-suku yang sudah ternyata rendah dalam soal-soal ini, sudah lama punah atau sekarang dalam perjalanan punah. Yang tinggal nanti dalam ‘natural selection’ ini ialah yang kuat tadi, mobilitasnya tinggi, soldaritas etnisnya tinggi, inteligensinya tinggi dan kecepatan pertambahan jumlahnya tinggi. Kombinasi ini telah terbukti sangat idial dan pasti berhasil.

Kalau hanya inteligensi tinggi terbukti tak bisa berhasil. Inteligensi harus dikombinasikan dengan inisiatif, mobilitas, dan solidaritas dalam satu etnis (etnocetrisme tinggi) harus ada penambahan jumlah yang cukup, dan tak kalah pentingnya daerah etnis yang utuh tempat kulturnya berkembang.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.