Kritik Sastra atau Maki-maki Orang?

Oleh: Martin Aleida

 

Martin AdeleideKawan, apa yang kau pikirkan dan apa yang sedang kurenungkan, tentulah beda, tapi dengan begitu hidup kita lebih semarak. Seperti kaca raksasa (bukan batu akikrawa bangke hehehe …) yang remuk, pecahannya yang menerawang, menyajikan pemandangan yang kaleidoskopis, menggetarkan. Kenikmatan sarapan pagiku dengan secangkir kopi, sekerat nenas, dan tapai singkong menjadi sempurna setelah Kompas mengutipku dengan manis, akurat, mengenai dijemputpaksanya seorang penulis dari Yogya dengan tudingan pencemaran nama baik. Karena kelakuan yang dianggap harus dibuktikan di pengadilan, telah terjadi tindak pidana!

“Kita mesti tidak mencampuradukkan antara kritik sastra dan memaki-maki orang.”

Kukutipkan kembali kata-kataku dari laporan koran yang terpandang itu. Tak dikutip, tapi saya juga mengatakan kesusastraan kita belakangan ini penuh manipulasi. Kecaman, ejekan (maaf, termasuk terhadap diri saya yang tiada berarti ini) dilancarkan, dan bukannya menukik pada substansi sastra.

Izinkanlah aku berseru setinggi langit, wahai sastra yang mulia, kepada siapa nasib burukku telah bersarang, “Bebaskanlah dirimu yang agung dari anasir yang mulutnya berbisa sebengis ‘boko haram’.”

Kau begitu mulia ketika cerita pendek Langit Makin Mendung diadili di meja hijau. Dan betapa nurani kita terasa begitu penuh tatkali HB Jassin bertahan, tidak sudi menyebutkan siapa Ki Panjikusmin, penulis cerita itu. [Memalukan ketika media di mana aku pernah singgah, ketika diadili bukan pemimpin redaksinya yang duduk di kursi terdakwa, tetapi dua wartawan yang diungkapkan namanya, merekalah yang menulis berita yang dipermasalahkan!]


[one_fourth]Lekralah yang layak disebut sebagai angkatan[/one_fourth]

Perjalanan keemasan kritik sastra Indonesia seperti sudah berakhir ketika Subagio Sastrowardoyo menampik klaim “telah lahir Angkatan 66.” Dia bilang kalau hendak bicara angkatan, maka Lekralah yang layak disebut sebagai angkatan, karena bentuk maupun pandangan hidup baru yang terasa dalam karya sastrawan yang berkerumun dalam organisasi yang dilaknat Orde Baru dan antek-anteknya itu. Subagio malah menunjukkan paralelisme (kata halus untuk jiplak) antara puisi-puisi Taufiq Ismail dan karya sastrawan Lekra yang muncul jauh lebih dulu, seperti AS Dharta.

Sayang sekali, memang, dalam gemah-ripah produksi karya sastra belakangan ini tak muncul kritik yang berarti. Kritik mati. Mungkin inilah yang mendorong munculnya umpat-mengumpat, caci-maki bersifat pribadi.

Wallahu alam … Mungkinkah juga karena menjamurnya komunitas, yang dengan tujuan menyatakan merekalah yang paling heiiibaat, karena itu paling pantas dapat bantuan finansial dari kekuasaan maupun pihak asing.

Wallahu alam, tuan-tuan. Kritik boleh mati, tapi mampuslah kau debgab baik-baik. Tutuplah mulutmu yang amis itu …!


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.