Kolom M.U. Ginting: OPEN BORDERS

M.U. Ginting 2multi etnik 2“Kita perlu belajar kepada mereka dalam segala hal,” tulis Daud S. Sitepu di milis tanahkaro. Banyak memang yang kita orang Karo sebagai etnis bisa belajar dari etnis Yahudi, terutama dalam kegigihan etnis ini mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan etnisnya. Dalam memperjuangkan etnis Yahudi di USA mereka bikin lobbi penting misalnya mempengaruhi politik Washington membela negara Israel dan kepentingan orang Yahudi di USA.

Berlainan dengan etnis-etnis lain seperti China yang sangat tak mau berurusan dengan negerinya dalam perpolitikan di USA. Begitu juga etnis-etnis Asia lainnya seperti Korea, Taiwan, apalagi orang Indonesia tak ada lobbi politiknya sama sekali dalam mempengaruhi politik luar negeri Washington untuk Indonesia.

Pada permulaan 1965, lobbi Yahudi memperjuangkan peraturan untuk memasukkan sebanyak mungkin orang pendatang ke Amerika, termasuk orang-orang Yahudi dari Eropah Timur. Mereka berhasil dan sekarang banyak penentang secara akademis soal multikulturalisme di sana.


[one_third]tak ada saling percaya diantara penduduknya yang multietnis[/one_third]

Putnam, misalnya, bilang kalau di masyarakat multi-etnis modal sosial menurun karena tak ada saling percaya diantara penduduknya yang multietnis itu. Prof. Frank Salter (Australia) juga menunjukkan bagaimana multikulturalisme itu (politik open borders) telah banyak membawa kerugian bagi penduduk lokal, terutama dia menunjukkan kerugian genetis bagi populasi lokal.

Salter menekankan bahwa setiap orang memang punya hak dan kepentingan. Mereka yang menganjurkan ‘open borders’ memakai alasan sepenuhnya dari hak dan kepentingan pendatang untuk pindah ke tempat yang lebih bagus standard kehidupannya. Tetapi, mereka tak pernah memikirkan dari hak dan kepentingan penduduk setempat, seperti secara genetis mereka berkurang dan menyusut.


[one_third]Karena itu menurut Salter “the open borders movement is profoundly immoral[/one_third]
“.

Perumusan ini sangat benar tak diragukan, contohnya Dairi Pakpak atau Simalungun Siantar. Genetis orang Pakpak dan Simalungun sudah hampir punah di daerah itu. Jelas ini immoral dilihat dari segi hak dan kepentingan penduduk tanah ulayat. Hak dan kepentingan siapa yang harus didahulukan?

Pedoman universalnya ialah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Tetapi, kalau genetik pendatang sudah lebih banyak, pepatah itu tak berlaku lagi. Karena itu, yang paling baik ialah hentikan open borders di tiap negeri dan di tiap daerah ulayat etnis tertentu.

Kalau di Karo kurang tenaga kerja, harus dipikirkan dan ciptakan mesin-mesin pengganti tenaga kerja. Itulah perkembangan. Sekarang itu sudah mungkin, karena sudah ada teknik dan pengetahuan. Sekarang sudah tak cocok lagi mendatangkan tenaga kerja pendatang seperti juga di Eropah tahun 60-70an. Abad ini sudah berlalu. Mendatangkan tenaga kerja sekarang hanyalah bikin problem baru yang lebih payah dari soal kurang tenaga kerja.

Nasionalisme dan ethnonasionalisme sudah merupakan arah yang pasti pada Abad 21. Nasionalisme dan ethnonasionalisme (suku) adalah soal kultur, way of thinking dan genetis tiap kultur yang punya daerah atau lokasi genetis yang tak perlu diturunkan nilainya oleh siapapun, dan juga berhak penuh untuk bikin perubahan dan menentukan perkembangannya sendiri.


One thought on “Kolom M.U. Ginting: OPEN BORDERS

  1. Salah satu negara yang menutup bordernya sangat ketat ialah Israel. Israel menganjurkan orang-orang Yahudi pindah ke Israel, tetapi menutup ketat pendatang lain yang bukan Yahudi. Banyak yang mengeritik politik ini, terutama karena orang-orang Yahudi adalah penganjur multikulturalisme dunia dan diantara orang-orang kiri Yahudi seperti Marx juga menganjurkan internasionalisme dengan semboyan ‘proletar seluruh dunia bersatuah’, tak ada batas negeri. Ini juga dipakai oleh orang-orang komunis Indonesia pada zamannya. Orang komunis sangat membenci sukuisme di Indonesia. Sekarang ialah abad sukuisme dan abad kultur yang tak lepas dari genetis atau DNA. Sayangnya sudah sempat banyak suku-suku yang hilang sebelum zaman kesukuan ini tiba. Begitu juga sudah banyak daerah ulayat yang pindah tangan jadi kekuasaan pendatang, karena tanah ulayat itu tak punya genetis aslinya lagi. Contohnya di Sumut ialah Dairi Pakpak dan Simalungun Siantar. Perang etnis lalu di Kalteng, Poso dan Maluku adalah juga perang genetis yang makan korban banyak.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.