Kisah Bersambung: Ginting Manik Mergana (9)

Malam di Singapura

singapor 5


[one_fourth]Bastanta P. Sembiring (Urung Senembah)[/one_fourth]

Ginting Manik mergana dan keempat sahabat yang datang mengemban misi untuk menyelamatkannya harus terjebak dalam perang Ingris vs Jepang di Singapura. 

 

Perang yang dimulai dari 7 Februari hingga 15 Februari 1942, nantinya mengakibatkan jatuhnya Singapura ke tangan Jepang. Ini merupakan sejarah kelam bagi kesatuan tentara Britania Raya. 80.000 tentara gabungan India, Australia, dan Inggris menjadi tahanan perang setelah Letnan Jenderal Arthur Ernest Percival menyatakan kalah dan menyerah tanpa syarat.

 Sebelumnya, Desember 1941, tentara Inggris telah melakoni pertempuran di Malaya  hingga 31 Januari 1942  dan dipukul mundur oleh Jepang ke Singapura. 50.000 tentara dijadikan tahanan. Jadi, total pasukan Britania Raya yang ditahan dari pertempuran di seluruh Semenanjung Malaya sebanyak 130.000 tentara. Mereka kemudian menjadi tahanan perang dan akan menjalani kerja paksa di bawah kekuasaan Jepang.

Sekitar 25.000 penduduk etnis Tionghoa juga mengalami pembantaian yang kemudian dikenal dengan Pembantaian Shook Ching atau orang Jepang katakan  Kakyōshukusei atau “pembersihan Tionghoa” atau secara lebih halus Shingapōru Daikenshō (harafiah: “inspeksi besar Singapura”).

Oleh Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill, ini adalah “bencana terburuk dan kekalahan terbesar dalam sejarah Britania Raya”. Demikian beliau menggambarkan pertempuran di Semenanjung Malaya.

Namun, ini bukanlah peperangan mereka. Setidaknya itulah pandangan Ginting Manik dan teman-teman. Mereka memilih bersembunyi dan hanya melakukan perlawanan jika nyawa mereka terancam. Pendekatan dengan kelompok bawah tanah di Singapura pun dilakukan, untuk menjamin keselamatan, sekaligus memperoleh informasi, terutama jadwal pelayaran ke Hindia Belanda.

Sebulan lebih sudah Ginting Manik dan kawan-kawan tertahan, bersembunyi di sebuah gedung tua di pinggiran Kota Singapura. Komunikasi dengan Sumatera Timur menjadi sulit. Situasi kota semakin tidak terkendali. Jepang terus melancarkan serangan, dimana sebelumnya dua kapal Inggris (HMS Repulse dan HMS Prince of Wales) berhasil ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Jepang dan Malaya berhasil dikuasai. Mundurnya Inggris hingga ke Singapura mengakibatkan daerah ini menjadi medan pertempuran dan peringatan bagi Hindia Belanda.

“Tok-tok-tok,” terdengar suara ketukan dari balik pintu dimana Ginting Manik mergana dan keempat lainnya bersembunyi.

Malem mengintip dari lubang kecil yang sengaja dibuat untuk mengintai keadaan di luar. Melihat yang mengetuk adalah Hafidz sahabat mereka, pintu pun dibukakan dan langsung kembali ditutup setelah Hafidz masuk.

“Situasi di luar semakin memburuk. Seharusnya ini dapat kita manfaatkan. Kapal yang akan mengangkut Anda malam ini berlayar ke Sumatera Timur,” kata Hafidz. Sambungnya: “Namun kita tidak bisa menaikinya di pelabuhan. Itu terlalu beresiko. Kita akan berlayar hingga ke tengah lautan dengan perahu.”

Terjebak di negeri orang dalam situasi perang membuat mereka menjadi bosan. Mendengar ini, Ginting Manik dan kawan-kawan kembali bersemangat. Akhirnya, setelah berminggu-minggu terjebak di sebuah kota pelabuhan yang katanya didirikan oleh Sir Thomas Stanford Raffles, kesempatan mereka untuk dapat meninggalkannya akan segera tiba. 

Singapura merupakan kota koloni Inggris, sebuah pulau di ujung Selatan Semenanjung Malaya (137/85 mil di Utara Khatulistiwa di Asia Tenggara). Pernah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) yang dikenal dengan Temasekn (Kota Laut).

Sekitar  Abad ke 16 Masehi kemudian menjadi bagian dari Kesultanan Johor. Sejak tahun 1613 kawasan ini kemudian kurang diperhatikan akibat ulah perompak Portugis yang pernah membakar permukiman di bibir pantai Singapura. Baru pada 28 Januari 1819, Thomas Stanford Raffles yang sebelumnya bertugas sebagai Letnan Gubernur Inggris di Bengkulu (Sumatera, 1818 – 1824) mendarat di Pulau itu dan menjadikan Singapura sebagai pos perdagangan yang strategis dan pada 1826 Singapura kemudian menjadi koloni Britania Raya.

“Begitu malam tiba, kalian akan berlayar. Saya akan mengabarkan informasi selanjutnya,” kata Hafidz.

”Untuk itu, jangan melakukan hal-hal yang membuat orang-orang curiga,” pesan Hafidz 

“Baiklah. Terimakasih, saudara Hafidz,” kata Melem kepada Hafidz. Lalu sambungnya: “Kamu juga harus berhati-hati.”

Hafidz pun pergi meninggalkan tempat itu.   

* * * *

singapor 6Malam pun tiba. Hafidz memberi signal agar Ginting Manik mergana dan teman-temannya keluar dari persembunyian.

Mengendap-endap di antara lorong-lorong gelap Kota Singapura, Ginting Manik dan teman-teman pun bergerak menuju pantai dengan tuntunan Hafidz. 

Mereka sudah dekat ke pantai. Angin laut dan suara ombak semakin jelas terdengar. Tetapi, langkah itu harus dihentikan sejenak. Sekawanan serdadu Inggris yang sedang patroli melintas. Ginting Manik dan teman-teman harus segera bersembunyi sebelum para serdadu Inggris itu menyadari akan keberadaan mereka.

Mereka pun bersembunyi diantara reruntuhan gedung yang hancur diterjang rudal Jepang. Seperti tikus yang mengintai di malam hari di antara tumpukan sampah, demikianlah Ginting Manik dan teman-teman, menanti konvoi tentara Inggris menjauh dari keberadaan mereka.

Dari jarak sekita 50 meter, Hafidz memberi signal kalau situasi sudah aman dan tentara Inggris sudah menjauh. Mereka pun kembali bergerak.

Beberapa saat kemudian Hafidz kembali memberi kode agar menurunkan kecepatan langkah mereka. Hafidz perlahan mundur mendapati Ginting Manik. Lalu, katanya: “Hati-hati, di depan ada laskar Inggris yang sedang patroli di pantai.”

Mereka pun bersembunyi diantara semak belukar.

“Kita harus tepat waktu. Jika tidak kalian akan ketinggalan kapal,” kata Hafidz.

“’Ncé uga sibahan é, Ma?” tanya Malem kepada Ginting Manik, berbisik. Takut suaranya terdengar dan keberadaan mereka akan diketahui.

Jawab Ginting Manik: “Sitimai saja lebé.

Mereka pun menunggu. Namun kelima serdadu Inggris itu tidak juga beranjak dari tempat mereka berdiri saat itu.

Hafidz dan Ginting Manik mergana tampak berdiskusi. 

Kemudian Hafidz perlahan keluar dari persembunyian, membuat kelima serdadu Inggris itu merasa terusik dengan kehadiranya yang tiba-tiba.

 “Hai! Kamu yang di sana. Sedang apa malam-malam begini?” tanyanya.

Dengan mengarahkan senjata laras panjangnya ke arah Hafidz, para serdadu itu semakin mendekat.

“Tida apa, tuan,” jawab Hafidz tenang. 

Melihat sosok pemuda Melayu dengan perawakan muda dan polos itu, membuat serdadu merasa tidak ada yang berbahaya. 

Lalu kata Hafidz,“ saya hanya mencari angin segar ke pantai.”

Saat kelima serdadu Inggris itu menurunkan arah senjatanya dan tampak lengah, Ginting Manik dan teman-teman pun dengan sigap menyergap kelima serdadu itu hingga tewas dan menyeretnya ke balik semak belukar.

“Ayo kita bergegas,” kata Hafidz.

Mereka pun bergegas ke tepi pantai. Dari balik pepohonan dan semak belukar, Hafidz dan lainnya menarik sebuah perahu dan menaruhnya ke bibir pantai hingga menyentuh dinginnya air laut. Lalu mereka pun bergegas menaiki perahu menuju ke tengah lautan hingga ke posisi yang telah direncanakan sebelumnya.

“Itu kapal kita” Kata Hafidz.

Hafidz kemudian menghidupkan tiga pelita petromaxnya, sebagai pertanda kepada teman-teman di kapal akan keberadaan mereka.

Mereka pun mendekat ke arah sebuah kapal kargo yang akan membawa mereka berlayar pulang ke Sumatera Timur.

Setelah menaiki kapal. Hafidz pun bergegas kembali ke perahu dan kembali ke pantai, sedangkan Ginting Manik dan lainnya melanjutkan pelayaran menuju kampung halaman mereka di Sumatera Timur.

 

 

BERSAMBUNG


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.