Kisah Bersambung: GINTING MANIK MERGANA (10)

Mimpi Buruk Lagi

kisber 13


[one_fourth]Bastanta P. Sembiring (Urung Senembah)[/one_fourth]

Malam itu juga, Ginting Manik mergana, Malem, Tumbuk, Tampé, Mohan dan Yasit berlayar meninggalkan Singapura dengan menumpang kapal barang kembali ke Sumatra Timur.

Mimpi buruk kembali mengganggunya. Gambaran masa-masa kelam di waktu yang telah lalu terus tampil seakan nyata sedang terjadi di hadapanya.

Bersama sahabat-sahabatnya dan anak kuta, dia asyik duduk di salah satu sapo di Tiga Kuta Namo Kelawas. Tubuhnya memang duduk tenang, akan tetapi pandangan, hati dan pikirannya tertuju ke arah turangnya beru Ginting Manik yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di tiga dengan teman-temannya.

Tampak olehnya beru Ginting Manik meninggalkan rombongan, berjalan meninggalkan tiga menuju ke arah perkutaan.

“Jenda kéna lebé,” kata Ginting Manik kepada teman-temannya.

Kuja kin aténdu é, silih, maka lampas kam mulih kidahken é?” 

Jawab Ginting Manik, “Sangana ka la sehat turangndu i rumah.” Lalu lagi kata Ginting Manik, “Lebén dagé aku, ya.

Diapun meninggalkan tiga menuju arah ke kuta

Seperti ada dorongan dalam dirinya saat itu untuk mengikuti jejak langkah turangnya beru Ginting Manik. Perasaannya tidak enak. Tubuhnya sedikit meriang, seperti mau demam.

Jalanan saat itu tampak sepi, karena sebagian besar masyarakat sedang ada di tiga dan sebagian lagi di juma.

Dia melihat Dharma yang sedang berjala ke arahnya. Lalu dia pun menyapa, katanya: “Ku ja aténdu é, Darma?”

“Ku tiga, Ka Tua.”

“La ndai kam simbel ras impalndu?”

Lang, Tua. La lit isé pé simbel aku i dalin,” jawab Darma.

Mereka pun berpisah. Darma Sitepu melanjutkan perjalanannya menuju ke arah tiga, sedangkan Ginting Manik tampak bengong dan berpikir tepat dimana dia berdiam dari tadi saat berpapasan dengan Darma Sitepu.

Ku ja ngé ia lawesna é?” Tanya Ginting Manik mergana dalam hati.

Ginting Manik kemudian melanjutkan langkahnya menuju kuta. Sesampainya di rumah, dia melihat anak dan istrinya, namun tidak melihat sosok turangnya. Dia pun kemudian bergegas ke luar dan kembali pergi ke arah tiga.

Di pertigaan, dari mana jika terus ke depan menuju tiga dan jika ke kiri menuju perjumaan dan kuta terdekat, tampak Ginting Manik mergana menghentikan langkah dan sejenak berdiam diri di bawah sebuah pohon jengkol. 

Kemudian melaju kembali langkahnya, tetapi bukan ke tiga, melainkan ke arah perjumaanEntah apa di dalam pikirannya yang menuntunnya ke arah itu.

Sekitar seratus meter dari pertigaan dan jarak sekitar seratus meter ke depan dimana saat itu dia berdiri, Ginting Manik mergana melihat sepasang tubuh manusia tergeletak di jalan.

Melihat hal ini, Ginting Manik pun berlari ke arah sepasang tubuh itu. 

Tinggal 10 meter lagi dia akan mencapai tubuh tak berdaya itu, namun langkahnya terhenti. Tubuhnya menjadi kaku seakan membeku. Wajahnya pucat dan matanya berbinar.

Detak jantungnya semakin kencang. Dia perlahan semakin mendekati tubuh yang tergeletak dengan bersimbah darah yang mengucur dari bagian perutnya.

Sesosok jasat perempuan muda cantik sudah tak bernyawa. Ginting Manik memeluk tubuh itu dengan erat. Air mata tak terbendung lagi. Dia berteriak, namun jalanan sepi. Tidak ada yang mendengarnya. 

kisber 14Sedih, kesal, marah dan juga penyesalan melingkupinya. Dia terus berteriak meminta tolong. Tetap tak ada yang mendengar. 

Di samping jasat perempuan muda itu juga tergeletak tubuh seorang laki-laki yang cukup dia kenal. Bersimbah darah, namun masih bernyawa. 

Dengan spontan Ginting Manik mergana mencabut tumbuk ladanya dan membenamkannya ke bagia perut tubuh lelaki itu sedalam mungkin, hingga maut pun menjemputnya.

Dengan tangan yang berlumuran darah, Ginting Manik mergana mengangkat jasat turangnya ke atas pangkuannya. Dia memeluknya semakin erat. Air mata berderai semakin kencang.

Serombongan Veld Politie (polisi lapangan) melintas dan melihatnya dengan sepasang jasat tak bernyawa dengan berlumuran darah. Polisi itupun kemudian menangkapnya dan menyeretnya memisahkan dirinya dari jasat turangnya.

Ginting Manik meronta dan melawan. Dia ingin terus bersama jasat turangnya, tetapi para polisi itu terus memaksa dan menyeretnya. 

Ginting Manik mergana mendengar ada suara yang begitu dia kenal, memanggilnya. Katanya, “Mama. Medakken. Medakken.

Sambung Malem, “Nggo nandangi seh kita, Mama. Ersikap kam.”

Lama kemudian Ginting Manik baru benar-benar tersadar. Lalu bangkit dan melihat hari sudah terang. 

 

BERSAMBUNG

Sebelumnya: Malam di Singapura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.