Kolom M.U. Ginting: 425 Tahun Kota Medan

medan 3
Bangunan rumah seperti ini masih banyak kita jumpai di pinggiran Kota Medan, terutama yang mengarah ke Dataran Tinggi Karo yang kampung-kampungnya telah didirikan oleh orang-orang Karo sejak sebelum masa Penjajahan. Itu menandakan bahwa sejak jaman Pre Kolonial Medan bagian Selatan merupakan pemukiman Karo sedangkan bagian Utara pemukiman Melayu. Tidak ada suku lain tinggal di sini kecuali setelah masa Kolonial.

M.U. Ginting 2“Dikatakan oleh Walikota Medan, pada 1 Juli 2015 ini, Kota Medan akan memasuki usia yang ke-425 tahun. Artinya, kota ini berkembang melalui transformasi sejarah yang panjang. Bermula dari sebuah kampung kecil yang dibangun oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an, hingga saat ini telah tumbuh / berkembang menjadi kota masa depan yang dicintai dan dibanggakan,” diberitakan oleh SNN.

Walikota Medan Dzulmi Eldin menguraikan perkembangan terkini Kota Medan tetapi beliau juga mengingatkan dan tak melepaskan kenyataan sejarah terbentuknya Kota Medan yang dibangun oleh Guru Patimpus.

Seperti kita ketahui, Guru Patimpus adalah seorang Karo bermerga Sembiring Pelawi. Ini juga menandakan bahwa 425 tahun lalu diantara manusia kultural pertama atau kelompok manusia pertama di daerah Medan tak diragukan adalah Suku Karo. Kemungkinan setelah perpindahan dari dataran tinggi bagian utara Sumatra (Gayo) ke dataran tinggi lebih selatan (Karo) ribuan tahun lalu. Kelompok ini jugalah yang kemudian membangun kekuasaan besar Haru, dengan benteng pertahanan terakhir di dekat Delitua (Benteng Putri Hijau).

Hipotesis lama perpindahan dari Selatan ke Utara di bagian Sumatra ini sudah tidak berlaku setelah penemuan fosil dan barang anyaman berumur lebih dari 5.000 tahun di Dataran Tinggi Gayo (2012). Yang lebih betul ialah perpindahan dari Utara ke Selatan.

medan 1
Suasana di Lau Cih (2005), sebuah kampung Karo di Kota Medan. Di masa sebelum dan setelah Jaman Penjajahan, terdapat rumah-rumah adat Karo di kampung ini, seperti halnya juga di Sunggal yang di masa sebelum kedatangan Belanda telah ada 50 rumah adat Karo di sana. Foto: Nomi br Sinulingga.

Suku Karo adalah penduduk asli Kota Medan dan daerah sekitarnya sejak ribuan tahun. Keberadaan perkampungan dan desa-desa tradisional Karo mulai dari daerah Sunggal terus ke Hamparan Perak serta adanya rumah-rumah adat Karo di daerah ini sampai abad Perang Sunggal terus ke masa-masa perang kemerdekaan, semua ini menjadi bukti nyata existensi Karo dan peranan penting yang dibawakannya dalam menegakkan kerajaan besar Haru, perlawanan keras menentang penjajahan dalam Perang Sunggal dan perang kemerdekaan. Wakil Presiden Hatta menulis 1948 dalam suratnya bahwa semua rakyat Karo adalah pahlawan karena mengorbankan jiwa raganya secara heroik tanpa pamrih mengusir penjajah demi kemerdekaan nation Indonesia.

Dengan ditaklukkannya Haru oleh pasukan-pasukan Islam Aceh dan Melayu dibantu juga  oleh pasukan asing Portugis dari laut, dan dengan migrasi terus menerus suku-suku lain ke daerah-daerah asli Suku Karo ini, akhirnya suku Karo jadi minoritas.

Tetapi, dalam kenyataan sekarang, ternyata tidak banyak yang mengetahui asal-usul sejarah Kota Medan. Juga tidak banyak yang mengetahui Suku Karo telah menjadi minoritas di Medan dan yang juga tersingkir jauh dari kekuasaan di Kota Medan. Semua ini telah mengakibatkan minimalnya pengetahuan umum adanya kaitan Suku Karo dengan berdirinya Kota Medan 425 tahun lalu.

Dari segi ethnic competition, yang sangat kuat dan ketat di Medan dan di Sumut umumnya, antara etnis-etnis Tapanuli (Batak, Mandailing) kontra etnis-etnis Sumtim Melayu, Karo, Simalungun) serta persaingan ketat antara Batak kontra Mandailing dan juga dengan Karo, persoalan di atas (disingkirkannya dan tak dikenalnya Karo) bisa sangat mudah dipahami.

Ini dengan sendirinya juga pengakuan atas Guru Patimpus yang pada dasarnya adalah sejarah keaslian dan peranan Karo di wilayah Sumtim dan Kota Medan, khususnya pada zaman lalu. Selain itu juga sangat penting digarisbawahi bahwa Suku Karo adalah suku pahlawan dalam perang melawan kolonial sejak perang Datuk Badiuzzaman Surbakti. Soal ini dinyatakan juga oleh Wakil Presiden RI Hatta seperti tertulis di atas.

medan 4
Sebuah tarian karya Juara R. Ginting yang menampilkan Kota Medan sebagai seorang putri dari Suku Karo yang mirip dengan Beru Dayang (Dewi Padi) atau Putri Hijau yang menjadi Ratu Kerajaan Haru (mirip dengan Nyai Roro Kidul versi Jawa). Penari adalah Marta beru Perangin-angin. Foto: Nomi beru Sinulingga.

Abad lalu (Abad 20) adalah abad extroversi dunia, adalah abad braggarts loudmouth dimana kemenangan dan sukses selalu berada di pihak braggart-loudmouth ini. Dalam ethnic competition soal ini sangat penting. Kita masih ingat ketika Prof. Masno Ginting mencalonkan diri jadi Rektor USU persaingan begitu ketatnya sehingga tak ada satupun orang Karo di USU yang berani kasih suara kepada Masno Ginting karena takut dimusuhi suku dominan USU.  Karena itu juga etnis-etnis extrovert mencapai kemenangan dan telah melalui puncaknya abad lalu. Sekarang abad introversi Quiet Revolution atau Revolusi Mental Jokowi.

Karo telah berusaha menunjukkan arah perkembangan ini tanpa sedikitpun keraguan terutama karena way of thinking dan filsafat hidup Karo sangat kompatibel dengan arus dan arah perubahan ini. Soal ini terutama terlihat dalam 3 hal yaitu dalam soal demokrasi, leadership dan emosi kultural. Ketiga soal ini sangat sesuai dengan sifat/watak orang Karo.

Demokrasi suku akan menggantikan demokrasi liberal Barat di semua negeri berkembang, termasuk Indonesia yang dalam penerapannya kita sebut KEARIFAN LOKAL.

Walikota Medan Dzulmi Eldin dalam pertemuannya dengan HMKI minggu lalu menguraikan saling hubungan ini, dengan pedoman utama ‘saling mengakui, saling menghormati dan saling menghargai’ sesama semua suku bangsa negeri ini. Pengakuan dan penghargaan atas jasa Guru Patimpus adalah salah satu diantaranya. Beliau telah lakukan ini dalam praktek.

Tanpa pengakuan dan penghargaan akan susah mencapai kerjasama dan gotongroyong dalam membangun kota yang kita cintai ini.

Catatan dari redaksi: Di bawah kami menampilkan sebuah pertunjukan musik tradisional Karo yang menunjukkan bagaimana musik Karo sangat lain dan berbeda sekali dengan suku-suku tetangganya; Melayu, Tamiang, Gayo, Alas, Singkil, Batak (Toba, Samosir, Humbang, Silindung), Pakpak dan Simalungun, begitu juga dengan Mandailing.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.