Kolom Joni H. Tarigan: Kuning dari Karo

kuning
Seorang penjual obat-obat tradisional Karo di pasar tradisional Pancurbatu (Deliserdang, Karo Dataran Rendah), 15 Km dfari pusat Kota Medan. Butir-butir berwarna putih adalah kuning.

joni hendra tariganOrang-orang Indonesia sudah pasti tahu kalau kuning adalah salah satu jenis warna. Akan tetapi, di Taneh Karo, kuning adalah salah satu jenis obat tradisional. Mungkin kuning biasa secara nasional disebut parem. Saya tidak tahu di tempat lain apa nama kuning ini.

Sering sekali sekitar Pukul 20.00 WIB (malam), saya dan anak saya keluar rumah. Kami pun menengadah ke kubah langit dan kami bisa menikmati lampu-lampu yang begitu banyak yang berserakan di atas kami. Kami juga melihat lampu yang sangat besar seperti bola basket, terang bercahaya, namun sesekali bersembunyi di balik gumpalan awan malam. Bintang berserakan dan bulan bercahaya, pemandangan yang selalu kami nikmati, bersama Rafael anakku, ketika malam tiba.

“Bintang, bulan, tutup, awan, hidup, jauh, naik, pesawat, sekolah,” kata-kata inilah yang sering diucapkan oleh Rafael yang baru berusia 2 tahun.

Bagi anda  mungkin kata-kata ini tidak memiliki makna yang cukup detail. Tetapi, bagi saya dan istri yang selalu mendorongnya untuk memahami alam sekitarnya, kata-kata ini adalah rangkaian kata yang mungkin akan membawanya ke masa depannya.

Bagi kami ayah dan ibunya kata- kata itu sebenarnya rangkaian dari: “Itu adalah bulan dan bintang yang lagi hidup (terang), letaknya sangat jauh, sehingga untuk ke sana harusnaik pesawat, maka harus sekolah.”

Ketika bulan tidak terlihat maka rangkaian kata Rafael adalah: “Bulannyan sedang sembunyi ditutupi awan.”

kuning 2
Seorang ibu menjual bahan-bahan obat tradisional Karo yang dicarinya sendiri ke dalam hutan di Dataran Rendah Karo (Karo Jahe). Foto menunjukkan saat dia menjual bahan-bahan itu di pasar tradisional Pancurbatu (Deliserdang, Dataran Rendah Karo), sekitar 15 Km dari pusat Kota Medan ke arah Dataran Tinggi Karo.

Kegiatan memandangi langit ini menjadi rutinitas kami selain bermain bola, ketika malam sudah tiba. Bahkan kamilah satu-satunya di gang tempat kami tinggal yang keluar malam bersama-sama dan memandangi langit.  Mungkin mereka takut anak mereka masuk angin jika keluar rumah saat malam. Masuk akal juga memang kemungkinan  masuk angin bagi anak-anak karena suhu yang sudah dingin, kelembaban naik, dan juga tiupan angin lumayan kencang.

Rafael yang sudah 2 tahun tentu saja tidak lebih hebat dari anak- anak yang lain, sehingga Rafael bisa saja sakit. Kenyataanya, Rafeal tidak sakit, dan kami terus menikmati bulan dan bintang ketika malam.

Kami pun menyadari bahwa kuning yang kami bawa dari Taneh Karo, yang setiap mandi sore dioleskan ke seluruh tubuh Rafael, membuat Rafael tidak sakit walau terkena angin malam. Kuning yang hanya Rp.5.000/ 10 butir itu membuat kami tidak pernah ragu bermain di halaman rumah saat malam. Sampai hari ini Rafael tetap bugar dan semakin terlihat ingintahunya demikian kuat.

Saya membayangkan butiran kuning itu akan menjadi bagian Rafael meraih mimpinya. Jika saja saat malam pertama kami menatap langit dan Rafael langsung sakit, mungkin kami tidak akan melnjutkan memandangi lagi langit itu ketika malam.

Kuning itu membantu Rafael berimajinasi bahwa bintang-bintang dan bulan itu sangatlah jauh dan ia bisa berimajinasi bisa mencapainya dengan naik pesawat. Mendapatkan pemahaman lewat apa yang seorang anak amati akan membuatnya berimajinasi dan dengan sendirinya, ia akan terus mengolah itu menjadi pemahaman yang realistis seiring bertambahanya usia, maka suatu saat bisa saja menjadi ahli antariksa adalah cita-citanya. Dan, ketika  ia menjadi ahli di bidang antariksa atapun bidang aerospace, maka kuning yang tak seberapa itu ikut ambil bagian.

CATATAN:

Fotohead cover adalah kios-kios penjual bahan-bahan obatan tradisional Karo di Pusat Pasar Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo (Dataran Tinggi Karo).  Fotografer: Nancy Meinintha Brahmana.

Video (bawah) adalah tarian yang diangkat dari ritual pengobatan tradisional Karo menjadi sebuah seni pertunjukan oleh koreograf Juara R. Ginting. Tari dipertunjukkan oleh Sanggar Seni Sirulo pada penutupan sebuah kongres internasional tentang Global Warming di Medan.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.