Kolom M.U. Ginting: Life is Short

 

life
Sebuah peristiwa “gift exchange” dalam sebuah ritual perkawinan Karo. Foto: Rudy Pinem.

M.U. Ginting 2“Life is short. Time is fast. No replay. No rewind. So, enjoy every moment as it comes.” Life is short, karena itu harus berusaha menikmati setiap detik dan menit yang kita jalani tiap hari.

Jelaslah banyak yang memaklumi isi kata-kata ini, dalam kenyataan tidaklah banyak yang ingat untuk menikmati detik-detik berharga itu. Kalau saya bilang ‘detik-detik berharga’ sepertinya ada waktu-waktu istimewa, tetapi detik-detik berharga itu ialah detik yang kita lalui setiap detik kita hidup.

Siapa yang ingat detik-detik itu?

Banyak yang ingat detik itu ketika membaca kutipan di atas, tetapi selama setahun kita tak baca, selama itu pula kita lupa detik-detik itu. Heran, kan? Saya ingat saya baca itu lebih dari 2 tahun lalu, tetapi sekarang baru saya ingat lagi ketika baru saja membaca lagi kutipan itu.

Segi lain lagi yang tak habis pikir ialah kalau keluarga yang kelaparan karena kemiskinan, anak tak pernah cukup makan, apakah mungkin menikmati detik-detik hidup itu kalaupun dia baru saja baca kutipan itu?

Lantas, terpikir juga saya, apakah kutipan itu berlaku hanya bagi orang yang sudah melewati 4 kebutuhan Maslow dan yang sudah dalam tingkat kebutuhan ke 5 self-actualization? (Sehingga tak memikirkan lagi kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjamin atau mengancam hidup).

life 2
Gabungan mahasiswa Karo di Belanda dengan kelompok tari Karo TARTAR BINTANG di Gedung Theater Kota Utrecht (Nederland) menampilkan kisah Beidar Nandena yang hilang setelah erupsi Gunung Sinabung di Dataran Tinggi Karo (Sumatera Utara). Foto: Ariadi Wiajaya.

Maka, ada juga yang bilang karena hidup pendek, tak akan pernah terlalu banyak waktu untuk menghibur mereka yang bernasib buruk, yang berlayar bersama kita, dalam kapal kehidupan ini. Betul sekali juga ini memang.

Menyumbang atau menggembirakan orang-orang bernasib buruk ini pastilah juga bisa dimasukkan ke dalam detik-detik yang dinikmati tadi. Tetapi berapa detiklah ini, detik-detik berikutnya apa lagi mau dibikin supaya terus bisa menikmati?

Akhirnya saya bikin kesimpulan sendiri: Dalam tiap momen yang kita hadapi (spt. bertemu teman atau bekerja), bikin apa yang harus dibikin, omongkan apa yang harus diomongkan, tulis apa yang harus ditulis. Ini saya sebut dengan nama TUGAS ORANG HIDUP, dan nikmatilah itu, nikmatilah semua detik-detik dari proses itu.

Lupakan kutipan di atas, nikmati momen dan detik di hadapanmu, nikmati Tugas Orang Hidup. Dan, ini berlaku selama masih hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.