Kisber: GINTING MANIK MERGANA (13)

kisber 19
Model: para artis Sanggar Seni Sirulo.


[one_fourth]Bastanta P. Sembiring (Urung Senembah)[/one_fourth]

Awalnya, kedatangan Jepang disambut gembira oleh banyak pihak. Kampanye militer Jepang dengan mengusung Perang Asia Timur Raya memberi harapan baru bagi negara-negara yang telah lama dirantai oleh belenggu penjajahan.

Kebangkitan Jepang sebagai salah satu agresor dari Asia menumbuhkan semangat bagi negara-negara Asia lainnya, khususnya. Propaganda Jepang berhasil menumbuhkan persepsi kalau Jepang sebagai saudara tua akan membebaskan negara-negara yang disinggahinya, termasuk di Nusantara. Namun, lambat laun harapan itu semakin jauh api dari panggang. Rakyat malah semakin menderita. Pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pembuangan, dan kerja paksa semakin hari semakin parah terjadi.

Penyerangan terhadap salah satu teritorial administrasi yang juga pusat pangkalan Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat pada 7 Desember 1941 di Hawaii merupakan bukti nyata betapa besar ambisi Jepang yang melebihi keinginan untuk menjanjikan suatu kebebasan bagi saudara-saudara di Asia.

Hal tersebut tentunya sejak dini telah dibaca oleh banyak kalangan, namun tidak sedikit juga yang berusaha menutup mata dan telinganya. Mereka mengabaikan fakta itu dan memilih tunduk, sehingga tidak jarang terjadi pertikaian antar sesama.

Pendudukan Jepang sendiri untuk Nusantara diawali di Tarakan di Kalimantan Timur (11 Januari 1942) dan melebar ke wilayah Kalimantan lainnya. Untuk Pulau Sumatera diawali dengan penyerbuan Palembang pada 12 Februari 1942 dan berhasil dikuasai pada 16 Februari 1941. Ini memutus akses mobilisasi Hindia – Belanda dari pusat di Batavia ke Sumatera.

Dari Palembang (Sumatera Selatan), Jepang terus bergerak ke kawasan lainnya di Sumatera. Aceh dan Sumatera Timur berhasil dikuasai pada  11 Maret 1942 dan Sumatera Barat pada tanggal 17 Maret 1942. Kondisi di Sumatera Timur semakin memburuk pasca pendudukan Jepang. Banyak rakyat yang memilih mengungsi meninggalkan kuta untuk menghindari keganasan pasukan Jepang.

Talapeta (Taman Latihan Pemuda Tani) – pun didirikan untuk menempa pasukan sukarela mendukung militer Jepang. Kaum pria yang masih sehat, khususnya pemuda, mengikuti wajib militer. Karena itu, banyak keluarga yang meninggalkan kuta untuk menghindari wajib militer ataupun pembuangan ke Birma dan Thailand. Hidup bersembunyi dan terlunta-lunta di negeri sendiri, itulah yang dialami kebanyakkan masyarakat kala Jepang menguasai Nusantara. Siapa yang melawan, bahkan bertanya, konsekuensinya adalah mati!

16 Agustus (Hiroshima) dan 9 Agustus 19945 (Nagasaki) Amerika menjatuhkan bom atom di dua wilayah Jepang itu, disusul dengan serangan mendadak Uni Soviet terhadap koloni Jepang di Manchuria (Manchuko).

Pukulan telak terhadap Jepang ini kemudian mendorong campur tangan dari pihak kekaisaran. 15 Agustus 1945 dalam pidatonya melalui siaran radio yang dikenal dengan Gyokuo-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.n Penandatanganan Dokumen Kapitulasi Jepang di atas kapal tempur USS Missouri (2 September 1945) menandai berakhirnya Perang Dunia II dan harapan baru bagi negara-negara terjajah, termasuk Nusantara.

Jumat, 17 Agustus 1945 (Jepang: 2605, Hijriah: 1364)  di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, Ir. Soekarno didampingi drs. Mohammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berita ini baru sampai di Sumatera Timur pada 27 Agustus 1945 yang dibawa oleh Mr. Teuku Moehammad Hassan (Gubernur Sumatera) dan disambut baik oleh para simbisa di Sumatera Timur dan segera membentuk barisan, karena sudah dapat dipastikan pihak Belanda dengan bantuan Sekutu tidak akan begitu saja melepas Nusantara, termasuk Sumatera Timur.

kisber 20
Model: Annes Tarigan (Vokalis dan musikus Sanggar Seni Sirulo)

Mendengar berita ini, banyak kaum pria juga Ginting Manik mergana pun kembali bergabung dengan para simbisa. Situasinya sudah berbeda, bertempur untuk negeri sendiri adalah kewajiban dan cita-cita bagi seorang simbisa. Oleh sebab itu, Ginting Manik mergana tidak merasa ragu untuk kembali mengangkat senjata.

Apa yang diprediksikan akhirnya tiba juga. Sesuai dengan Perjanjian Wina (1942), atas kesepakatan negara-negara Sekutu untuk mengembalikan tanah jajahan Jepang kepada pada pemilik koloni masing-masing, maka militer Inggris mendaratkan armada  pertamanya di Medan pada 9 Oktober 1945 dipimpin oleh T.E.D. Kelly, diikuti Sekutu serta NICA (Nederlandsch Indiё Civil Administratie) untuk mengambil alih pemerintahan di bawah komando SEAC (South East Asia Command) yang bertanggungjawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatera, Jawa, dan Indocina yang dipanglimai oleh Lord Moutbatten sebagai komando tertinggi Sekutu di Asia Tenggara.

Pada Desember 1945, pihak Sekutu secara sepihak memasang pamflet bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area yang memicu kemarahan para laskar. Perang terbuka pun tidak dapan dihindari yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak.

Agresi Militer yang dilakukan Sekutu dan NICA membuat  Laskar Pejuang semakin terdesak dari Medan. Untuk mendukung perlawanan di Medan Area, dibentuklah satu Komando Resimen Laskar Rakyat sesuai dengan rekomendasi rapat 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.

19 Agustus 1946 di Kabanjahe (Karo Gugung) telah terbentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang dihimpun dari eks Gyu-gun, Heiho, dan kelompok pemuda lainnya yang kemudian berganti menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat bagian Dataran Ringgi Karo/Karo Area (Karo Gugung). Kelompok ini dipimpin oleh Matang Sitepu, dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat Ginting, Rakoetta Brahmana, R. M. Pandia, Persada Karo-karo dan Keterangen Sebayang.

Komando-komando ini nantinya menjadi BKR (Barisan Keselamatan Rakyat) yang dipimpin oleh Djamin Ginting sebagai tentara resmi pemerintahan.

Walaupun bukan seorang ahli strategi atau petarung yang handal, keberadaan Ginting Manik mergana cukup vital dalam perjuangan ini. Kemampuannya dalam berkomunikasi baik dalam penggunaan bahasa asing dan melakukan pendekatan membuat dirinya sangat berguna memberi informasi dan logistik bagi laskar.

Dengan keahlian yang dimiliki dan kedekatan sebelumnya dengan kalangan Eropa, membuat akses Ginting Manik terbuka ke pemerintahan sementara bentukan Sekutu. Bekerja sebagai pengemudi kereta (sado) bagi pegawai perusahan perkebunan, merangkap dia menjadi mata dan telinga bagi para simbisa.

Di samping kesibukanya, berkat seorang sahabat bermerga Sembiring Meliala dari Kuala, Ginting Manik mergana berkenalan dengan seorang beru Sembiring Meliala. Dia seorang janda beranak satu yang kelak dipersunting menjadi istrinya. Pernikahan keduanya ini dikemudian hari memberinya tiga orang putera dan tiga orang putri hingga ajal menjemputnya di usia 78 tahun.

BERSAMBUNG


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.