Kolom Joni H. Tarigan: Sekolah untuk Anak atau Sebaliknya?

montossouri
Suasana di sebuah sekolah Montessouri

joni hendra tariganKetika di Sekolah Katolik khusus untuk calon pastor di Seminari Menengah Christus Sascerdos Pematang Siantar, saya masih ingat motto sekolah ini adalah non scholae sed vitae discimus, yang artinya kurang lebih “kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup”.

Dicere =belajar, Discimus = kita belajar; Vita= Vitae = hidup, schola= scholae= sekolah.

Saat ini saya juga , jika ada kesempatan, mencari- cari sekolah yang ada di Bandung. Anak kami sudah memasuki usia tahun ke tiga, sehingga kami benar-benar ingin memberikan arahan yang terbaik untuk anak kami. Kami tidak ingin anak ini melakukan apa yang sebenarnya bukan bidangnya, karena kami termasuk orang yang yakin dengan keunikan setiap orang yang terlahir ke dunia ini. Salah seorang Katolik di Bandung dalam paparan profilnya menyebutkan bahwa mereka menerapkan ‘The Montessouri Methode”‘. Methode ini sama sekali belum pernah saya dengar apalagai tahu.

Singkatnya yang menarik bagi saya, setelah membaca sebuah journal tentang methode ini,  adalah pertanyaan apakah anak harus memenuhi kebutuhan sekolah, atau sekolah harus memenuhi kebutuhan anak?

montessouri
Foto penemu Metode Montessouri dan seomboyannya

Pertanyaan tersebut pun kemudian menjadi bahan saya untuk kembali motto sekolah saya dulu, bahasa Latin, yakni non scholae sed vitae discimus. Saya berkayakinan bahwa seharusnya sekolahlah yang harus memenuhi kebutuhan si anak didik, bukan sebaliknya memaksakan anak untuk tujuan sekolah supaya anak didiknya pintar dalam satu bidang (exacta misalnya). Dengan kepastian bahwa setiap anak itu berbeda dan unik, maka sekolahlah yang harus mampu melihat kebutuhan anak didik dan mengarahkannya.

Di situlah, menurut saya, sekolah itu untuk mendidik.Akan tetapi dalam kenyataan, mungkin, kebanyakan sekolah masih menuntut anak didik untuk memenuhi standard sekolah.

Untuk memaksimalkan talenta masa depan  anak- anak kita,  maka sangatlah baik jika  salah satu parameter kita dalam memilih sekolah adalah apakah sekolah tersebut mampu melihat kebutuhan anak didiknya.

Montessori telah membuktikan bahwa orang yang keterbelakangan mental sekali pun bisa melakukan lulus standard sekolah di Italya, akan tetapi tidak dengan metode orang belajar normal. Di Indonesia, Prof. Yohannes Surya juga telah membuktikan orang terbodoh di Papua jika ditangani sesuai dengan talentanya maka telah menjadi juara Olimpiade.

Bagi siapa saja yang punya informasi tentang sekolah yang mampu melihat dan mengembangkan kemampuan anak, silahkan mari kita berbagi. Untuk masa depan bangsa ini mari kita saling membantu. Membagikan informasi yang baik adalah salah satu cara untuk berpartisipasi bagi kemajuan bangsa kita Indoensia ini.


3 thoughts on “Kolom Joni H. Tarigan: Sekolah untuk Anak atau Sebaliknya?

  1. Usul Beru Surbakti ini sangat memberi harapan. Ayo semua yang mungkin ikut, mulailah BERPARTISIPASI demi Karo dan Indonesia. Ikut aktif berpartisipasi adalah salah satu cara terakhir kemanusiaan untuk perubahan dan kemajuan Karo dan bangsa kita Indonesia ini.

    Dulu pemimpin pakai mobilisasi, sekarang pakai partisipasi. Mobilisasi tanpa kesedaran, karena bisa dengan uang atau dengan paksaan lainnya diluar kehendak kita. Partisipasi adalah kesedran dan suka rela. Tetapi sudah merupakan jalan terbaik abad ini.

    Soal ini juga terlihat bedanya dalam pilpres lalu. Jokowi pakai partisipasi publik, lawannya Prabowo pakai mobilisasi, pakai kuda dsb.

    Ayo semua orang Karo yang mungkin ikut, dukunglah ini dengan kegairahan penuh. Wanita Karo dari dulu juga sudah punya pemikiran maju demi Karo dan bangsa ini. Sekarang butuh dukungan dari semua orang Karo.

    MUG

  2. Mejuah-juah,
    Saya adalah pensiunan guru sekolah Internasional dan sudah berpengalaman melatih guru-guru di Jakarta, Bogor, Banda Aceh dan Meulaboh. Saya sudah membuat program yang berkesinambungan dalam pendidikan abad ke 21.

    Sekarang ini saya masih sibuk. Kalau saya sudah bebas dari kesibukan saya kita akan bisa bekerjasama untuk melatih guru-guru di Taneh Karo khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya. Adakah orang yang mau mendukung proyek ini? Kalau kita serius saya yakin guru-guru di Kabupaten Karo menjadi guru-guru yang kompetent.

    Kedengarannya saya “Tual”. Saya harus mengatakannya. Kalau tidak saya katakan tentu tidak ada yang tahu.

    Dibawah ini adalah link kepada program yang sudah saya tulis dan praktekkan sejak tahun 2005 di KNIU UNESCO Jakarta. Saya melakukannya satu kali seminggu selama tiga bulan dan lima hari berturut-turut dari jam 8 pagi sampai jam empat sore.

    Terlebih dahulu saya akan latih sebanyak 40orang guru-guru muda dan guru-guru tua semua digabung. Kedua kelompok ini harus digabung dalam pelatihan karena mereka biasanya mempunyai “World View” yang berbeda.Bujur melala.

  3. “Membagikan informasi yang baik adalah salah satu cara untuk berpartisipasi bagi kemajuan bangsa kita Indoensia ini.”

    Partisipasi atau Mobilisasi . . . perbedaan dua jaman. Sungguh tepat kata JHT mari berpartisipasi dalam soal besar negara dan juga soal-soal Karo, daerahnya dan kulturnya.

    Ayo generasi muda Karo dan Wanita Karo, mahasiswa, intelektual Karo dan akademisi Karo.
    Mari Berpartisipasi! Jadilah pelopor dan jadilah pemimpin. Kunci keduanya adalah PARTISIPASI.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.