Pernak Pernik Kemerdekaan (1): PENDORONG

Oleh: Arapen Sinuraya (Prabumulih)

 

arapen 3
DOKAN, sebuah kampung tradisional Karo di dekat Ajinembah (Dataran Tinggi Karo). Foto: Juara R. Ginting (1989)

arapen sinurayaSemasa saya kecil dulu, saya sangat suka mendengar almarhum ayah saya bercerita tentang kisah-kisah perjuangan di masa perang kemerdekaan. Saya pernah bertanya kepada beliau, sebenarnya apa sih yang mendorong beliau merasa terpanggil ikut berjuang?

Alasannya cukup sederhana. Ingin balas dendam kepada Belanda dan beliau sama sekali tidak tahu apa itu arti merdeka (maklum, masa itu belum ada radio. Jadi belum dengar berita Proklamasi).

Mengapa almarhum sebegitu dendamnya? Ceritanya begini ….

Setelah Jepang pulang ke negaranya, banyak tentara Belanda berseliweran di Kabanjahe (dikenal melalui benderanya yang merah putih biru). Bila malam hari tiba, sering terdengar suara letusan senjata.dan besoknya Belanda akan melakukan sweeping ke kampong-kampung terdekat, termasuk Bunuraya.

Mereka menangkapi para pria dewasa dan menganiayanya untuk mengorek keterangan keberadaan para ekstrimis (istilah Belanda pada waktu itu). Almarhum ayah saya pada waktu itu berumur 17 tahun dan kebetulan badannya tinggi besar. Dia dianggap pria dewasa dan ikut diciduk (2 kali). Dianiaya lalu dibebaskan.

Oleh karena khawatir dengan apa yang dialami anak bungsunya, Nini Iting saya menyuruh almarhum menyingkir ke Ajinembah. Katanya: “To dahi Nini Karondu ku Ajinembah. Melala lembuna. Ermakan saja kam rassa.”

Singkat cerita, tinggallah ayah bersama empung beru Karo di Ajinembah dan menggembalakan sapi-sapi Nini Karona.

arapen 1
2 pengembala sapi dan sekawanan sapi di Ajinembah. Foto: Mecu Ginting

Suatu hari, di saat almarhum menggembalakan sapi, melintaslah sebuah pesawat terbang Belanda. Entah bagaimana terjadinya, tiba-tiba pesawat tersebut memutar dan terbang rendah di atas kawanan sapi. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh sang pilot sehingga sapi-sapi pada buyar berhamburan tak tentu arah.

Habislah sapi hilang semua. Ayah saya tidak berani pulang ke rumah empung. Di saat almarhum menangis meratapi sapi-sapi yang hilang (di kemudian hari diketahui sapi-sapi itu semua ternyata pulang sendiri ke rumah) lewatlah pasukan Selamat Ginting. Didorong oleh rasa amarah dan dendam, maka ikutlah almarhum berjuang tanpa tahu apa tujuan perjuangan tersebut. Hanya terdorong rasa ingin membunuh Si Gedang Igung (Belanda) sebanyak-banyaknya .

Bergabunglah almarhum ayah saya dengan Resimen Halilintar. Almarhum ayah saya baru tahu (katanya sih) bahwasanya Republik Indonesia telah memproklamirkan Kemerdekaan di Tahun 1945 setelah Penyerahan Kedaulatan RI Tahun 1949.

Sungguh sangat sederhana dan agak naif…..

Foto head cover: Anak-anak sedang bermain di Desa Manuk Mulia, tidak jauh dari Desa Bunuraya dan Ajinembah. Foto: Juara R. Ginting.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.