Kolom M.U. Ginting: Aksi Mahasiswa di Makasar

M.U. Ginting 2Luar biasa tingkat kesedaran mahasiwa Makassar yang sudah sampai berani menyimpulkan Papua untuk Papua dan orang Papua bisa mengurus dirinya sendiri. Kita masih ingat peristiwa Tolikara bulan Juli lalu. Gara-gara ‘polusi suara’ kata JK, apakah itu saja sebabnya?

Pada jaman Orba, penduduk asli setempat ditakuti dengan ‘sukuisme’, ‘daerahisme’, SARA, dsb. Ethnic competition ditutupi dengan multikulturalisme. Dominasi kekuasaan oleh pendatang dan pengambil alihan tanah ulayatnya ditutupi dengan ‘satu nusa satu bangsa’.

etnisitas 1Sebab yang terlihat di Tolikara menurut JK ialah gara-gara speaker yang dianggap polusi suara. Dari dulu juga penduduk asli di sini tak pernah diributi dengan speaker. Pendatang yang lain agama bawa speaker untuk berhubungan dengan Tuhan, berlainan dengan penduduk setempat yang tak pakai speaker pengeras suara. Siapakah yang harus menyesuaikan diri, pendatang atau penduduk asli pemegang tanah ulayat?

Carilah sebab utama konflik ini dari segi perbedaan dua kultur, dan keadilan berada di pihak siapa? Inilah yang telah disimpulkkan oleh mahasiswa Makassar dalam demo protes transmigrasi meneruskan politik Orba dan juga politik Stalin di Soviet pada jamannya. Politik ini masih menanam luka sampai sekarang. Dan luka ini tak akan pernah hilang kalau sebab utamanya tak pernah dicerahkan.

 ‘Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ kata pepatah leluhur kita. Bahkan dalam skala internasional sudah ada dalam kesimpulan yang sama.

‘Minorities (pendatang – MUG) should be welcomed but they should not be able to remake society in their own image’ kata prof Kevin MacDonald. MacDonald membikin secara jelas bagaimana mempertahakan keadilan dalam pertemuan dua kultur berbeda antara pendatang dan penduduk asli pemegang tanah ulayat dan kekuasaan setempat. Pendatang di sini dalam sangat minoritas, bukan ditransmigrasi seperti politik Soeharto dan Stalin. Jokowi jangan tirulah.

etnisitas 2Jadi jelas tak perlu bingung dalam hal ini. Mana yang adil dan mana yang tak adil dalam soal antara pendatang dan penduduk asli. Lebih jauh dan jelas lagi ialah seperti yang dikatakan Prof. Frank Salter  bahwa ‘the open borders movement is profoundly immoral’. Ini berlaku antar nation dan juga antar daerah berbagai suku, dimana negeri kita sudah punya banyak pengalaman pahit. Kalau penduduk asli disingkirkan dari kekuasaan dan tanah ulayatnya pindah tangan ke pendatang (open borders movement) jelas tak bermoral walau ditutupi dengan alasan apapun, apalagi dengan alasan ‘satu nusa satu bangsa’ atau politik pluralisme multikulti.

Mahasiswa Karo bisa ikut mempopulerkan ide gemilang dan maju sebagaimana telah dilakukan oleh para mahasiwa Makassar ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.