Frankfurt Book Fair 2015

Pengunjung ramai dan antusias tinggi. Apakah penerbitan buku masih menggeliat?

Oleh: Antonius Bangun

 

 

Antonius GintingFrankfurt Book Fair (selalu di bulan Oktober), ajang pertemuan tahunan penerbit mancanegara. Hampir seluruh negara mengirim penerbitnya ke Frankfurt Book Fair (FBF), ada yang banyak tapi ada juga yang sedikit. Mereka bertemu di sini untuk sharing information dan jual beli rights.

Tahun ini Indonesia sebagai Guest of Honour, Tamu Kehormatan. Indonesia diberi kesempatan untuk sebesar-besarnya memanfaatkan even ini untuk bukan hanya menjual rights, tapi lebih dari itu, mengenalkan Indonesia dari berbagai aspek: pariwisata, budaya, kuliner dan lain-lain.

frankfurt 2
Laura Bangun sedang mempresentasekan makalah tentang “Women in Publishing” di Frankfurt Book Fair 2015.

Melihat pengunjung yang demikian banyak dengan antusias tinggi, susah dipahami dunia penerbitan sedang menurun dari kejayaannya menuju ke “tidak berdayaan”. Yang pesimis mengatakan demikian. Tapi melihat jumlah pengunjung (pebisnis) yang demikian banyak dan antusias maka muncul pertanyaan: “Apakah benar dunia penerbitan sedang menurun menuju ketidakberdayaan?”

Saya pun 25 tahun lalu, dalam thesis MA saya, sudah meramalkan penurunan penerbitan buku (printed matters). Saat itu, gagasan dan percobaan machine translation sudah ramai dikembangkan. Apakah sekarang sudah waktunya?

Data statistik jelas menunjukkan penurunan dunia penerbitan beserta stake holders. Penerbit banyak yang mengurangi karyawan, bahkan banyak yang totally berhenti. Toko buku begitu juga, banyak yang hilang, banyak juga yang mengurangi outletnya bahkan berubah menjual komoditi lain.

Saya sudah memilih jalan hidup di dunia penerbitan, mulai dari sekolah: S1 Ilmu Perpustaan UI dan MA in Book Publishing dari Loughborough University of Technology, UK. Dulu saya mengajar “Penerbitan dan Distribusi Buku” di Jurusan Ilmu Perpustakaan UI.

frankfurt 3
Kesaint Blanc presentasi buku baru dibawakan oleh Vita dan Laura.

Pada usia 25 tahun saya mendirikan PT. Kesaint Blanc Indah (Penerbitan dan Percetakan) dan sudah menjalani manis pahit bisnis penerbitan.  Setiap tahun saya mengunjungi pameran buku mancanegara, berkenalan dengan berbagai bangsa sekalian membeli rights untuk diterbitkan di Indonesia. Saya sudah mengalami: percetakan kalah cepat mencetak buku memenuhi permintaan pembaca. Saya sudah pernah menjual buku, sama seperti barang lain, di hyper market besar dan laku seperti kacang goreng. Dan paling saya syukuri, semua yang saya miliki sekarang ini diberikan TUHAN melalui penerbitan.

Tapi di sisi pahitnya: saya pun sudah pernah merumahkan karyawan dan mengajak mereka menanam jagung dan ubi di lahan percetakan pada masa krismon 1990an. Juga, ketika itu saya harus reexsport mesin-mesin yang baru dibeli karena suku bunga pinjaman lebih 60% per tahun.

Sekarang, Kesaint Blanc sudah regenerasi. Beberapa tahun lalu, dalam percakapan dari hati ke hati terungkap anak dan menantu saya lebih ingin berusaha sendiri ketimbang jadi pegawai. Saya senang kalau ada mereka mau meneruskan usaha keluarga ini. Sekarang perusahaan ini totally sudah dijalankan oleh anak-anak dan menantu saya.

Mereka brillian, begitu semangat dan kreatif. Dibarengi dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang luas mereka berhasil mengangkat dan mengembangkan Kesaint Blanc mendunia. Terkadang saya membayangkan, kalau “malekat penyelamat” ini tidak datang, tentu beberapa tahun lalu Kesaint Blanc sudah karam. Tuhan selalu bertindak tepat pada waktunya.

frankfurt 4
Pada kesempatan ini Kesaint Blanc bekerjasama dengan Caravan Studio lounching buku Rebirth of Indonesia Folktales. Ada Pak Mentri Anies Baswedan bersama Laura.

Tapi, ada bayang-bayang yang menakutkan. Perubahan media karena cepatnya perkembangan teknologi. Digital dan electronic media pasti menggerus, printed matters pasti decline. Imbasnya bisa langsung dan telak. Bisa dianalogikan seperti pada era munculnya televisi. Media yang menampilkan suara dan gambar bergerak. Semua orang mengkhawatirkan, radio broadcast akan hilang. Siapa yang mau hanya mendengar sementara media lain bisa menampilkan sekalian pelakonnya. Pasti radio kalah telak dan akan hilang. Kenyataannya, radio tetap exist dan berkembang dengan menampilkan program-program kreatif.

Melihat fenomena ini, tentu kita pun berkeyakinan buku (printed matters) tidak akan hilang. Sama seperti radio yang tetap exist dan berkembang, buku juga akan demikian.

Mana mungkin orang bisa berlama-lama baca dari laptop atau I-Pad sambil tiduran. Berbahaya, muka mereka bisa lebam atau bahkan berdarah kejatuhan gadget itu. Sementara buku akan membelai wajah mereka dengan lembut dan mengantarkan kepada mimpi yang indah ketika sipembaca tertidur. Hehehe ……

Yang paling inti adalah, content tak akan pernah dihindari, tetap akan dibutuhkan dan diminati karena itu penambah ilmu, informasi dan keterampilan. Produk budaya yang melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkan budaya itu sendiri. Media pasti berubah, dulu buku bermula berbentuk tablet tanah liat, daun lontar, papirus dan perkamen (parchmen) kemudian berubah drastis (revolusi) setelah penemuan mesin cetak (Guttenberg). Ingat 100 alkitab pertama.

Sekarang, ada media electronic, digital, aplikasi gadget dan lain sebagainya. Itu semua butuh content. Penerbit adalah penyedia content dan mempublikasikannya kemasyarakat. Keberhasilannya adalah kepuasaan pembaca. Media adalah nomor berikutnya.

Mari… terus kreatif dan produktif. Membangun bangsa dan peradaban manusia. Selamat berpameran. Maju terus penerbit. Hidup Indonesia.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.