Kolom Wijayanto W. Aji: Strategi Konflik PDIP Penuh Resiko, ke Mana Ujungnya?!

REFLEKSI AKHIR TAHUN 2015

 

wijayanto 8Tak terasa kita sudah mendekati akhir Tahun 2015. Banyak fenomena politik yang menjadi perhatian publik selama ini. Salah satunya keanehan PDIP sebagai partai penguasa yang cenderung menerapkan manajemen konflik, seolah-olah berhadapan dengan Presiden Jokowi dalam menyikapi kebijakannya. Lalu, strategi konflik PDIP yang penuh resiko, ke mana ujungnya?

Sebelum menganalisa pemaknaan langkah politik PDIP, kami mencoba mengkaji latar belakang munculnya strategi tersebut. Secara historis memang Jokowi lahir dari bangunan idiologi PDIP cuma dalam fenomena Pilpres dan Pileg 2014. Fenomena elektabilitas Jokowi tidak berbanding lurus dengan terdongkraknya elektabilitas PDIP dalam Pileg 2014. Berdasarkan data yang kami peroleh, meskipun PDIP menang Pemilu, kemenangan tersebut tidak signifikan; hanya sebesar 19% suara nasional di tengah munculnya fenomena Jokowi effect saat itu.

Dari latar belakang tersebut kebanyakan pemilih Jokowi tidak otomatis pemilih PDIP. Bahkan relawan Jokowi yang menjadi pengikut setia Jokowi sejak pilihan gubernur hingga presiden rata-rata bukan basis dukungan PDIP melainkan hanya akan memperjuangkan kesuksesan Jokowi memimpin negeri ini dibanding memperjuangkan PDIP yang konflikmerupakan “rumah idiologi” Jokowi. Relawan netral yang dulu merupakan kelompok independen, yang pernah anti politik praktis, sejak munculnya fenomena Jokowi merasa tergerakkan memperjuangkan pemimpin rakyat untuk menang Pilpres.

Hal tersebutlah yang membuat strategi berbeda dengan partai pengusung pada Capres sebelumya seperti SBY dan Suharto yang partainya berjibaku membela presiden yang dimenangkannya. PDIP yang sudah terbiasa jadi kelompok oposisi tidak ingin hanya sebatas mendukung kesuksesan Jokowi jadi presiden tapi mengawalnya melalui jalur visi nawacita yang ingin dibumikan dalam program besar Jokowi.

PDIP tampak menerapkan strategi konflik penuh resiko demi memperjuangkan dinamika eksistensinya di kancah nasional dan juga untuk mengantipasi serangan lawan politiknya yang dianggap “tukang stempel” saja kayak partai pemenang sebelumnya Demokrat dan Golkar saat presiden dari partainya.

Strategi manajemen konflik di satu sisi memang menguntungkan PDIP ketika banyak suara-suara sumbang yang tidak puas akan pemerintahannya mampu ditangkap kader PDIP di legislatif lebih duluan dibanding pihak oposisi. Kalau yang menggarap oposisi, maka akan diplintir isu tersebut untuk digoreng bagi keuntungan oposisi. Sedangkan bila suara sumbang masih bisa dengan cepat direspon kader legislatif PDIP maka nilai keuntungan diperoleh ganda.




Di eksekutif, Jokowi jika kinerjanya positif akan membawa persepsi publik positif juga secara tidak langsung ke partai pengusungnya. Sedangkan ketika suara sumbang dan suara yang belum terakomodir oleh Jokowi mampu direspon kader PDIP di legislatif maka nilai ganda bagi persepsi publik terhadap PDIP. Eksistensi politik adalah sebuah keniscayaan bagi persepsi politik publik dalam merespon setiap fenomena yang muncul.

Cuma yang perlu diwaspadai ketika strategi konflik tidak mampu dimanage dengan baik maka akan jadi bom waktu bagi kekacauan politik nasional ketika para oposan mengambil celah dari strategi PDIP ini. Contohnya, dalam merespon suara sumbang ternyata kader PDIP yang diposisikan sebagai corong kritis ternyata masih sebatas menangkap respon suara sumbang publik tapi belum bisa jadi solusi terhadap ketidakpuasan suara publik.

konflik 4
Sebuah cafe di Padangbulan, Medan (Foto: ITA APULINA TARIGAN)

Fenomena-fenomena penyikapan ala PDIP gaya baru seperti penyikapan BBM, manajemen pemerintahan hingga soal korupsi, masih belum menyentuh suara terobosan ala legislatif PDIP dan hanya menyuarakan kritik pedas tanpa solusi. Seharusnya ujung dari strategi konflik PDIP yang penuh resiko harusnya menyentuh pada variabel solusi dari suara sumbang publik.

Diakui [atau] tidak diakui, PDIP merupakan partai pendukung pemerintahan. Gaya eksistensialisme politiknya bukan berujung pada pengkritisan yan membikin gaduh stabilitas politik nasional, tapi strategi PDIP hatus berujung pada pengkritisan dengan tawaran-tawaran terobosan terhadap suara sumbang publik sehingga Jokowi mampu merespon sebagai langkah pembenahan dari hasil respon publik lewat PDIP.

Kalau kerjanya seperti kader PDIP di Pansus Pelindo II yang bahasanya ala oposisi dengan mengancam dan mengintimidasi Jokowi, terkesa tidak ada bedanya dengan PDIP saat berada di luar kekuasaan.

Maka PDIP harus punya ide-ide terobosan sebagai bentuk ijtihad politik baru dalam merespon suara sumbang publik dan dalam memaknai PDIP bukan “Tukang stempel” Jokowi. Intinya, harapan publik bahwa politik harus terus dinamis kritis dan transparan demi menuju pendidikan demokrasi yang mencerdaskan bagi rakyat. Untuk itu, agar eksistensi PDIP ingin terus diakui publik, berikan terobosan-terobosan baru yang mencerdaskan bagi rakyat demi ujungnya indonesia lebih baik
‪#‎SalamPencerahan‬

Salam Hormat kami :
CENTER STUDY REPUBLIC ENLIGHTMENT FOR PROGESSIF MOVEMENT ( CS REFORM )




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.