Yuni, Penderita Tumor Syaraf: “Kupercaya, Keajaiban Itu Ada.”

imanuel sitepu 3IMANUEL SITEPU. MEDAN. “Tuhan, ambilah nyawaku. Sepertinya aku sudah tak sanggup lagi menahan cobaan yang Engkau berikan,” itulah sepenggal kalimat yang sempat terucap dari seorang ibu bernasib kurang beruntung yang dialami Yuniarti Silitonga. Wanita berusia (40) yang setiap hari harus menahan sakit dan tidak bisa bergerak karena mengalami kelumpuhan  semenjak dokter memvonisnya menderita Tumor Chorpus 9 yang menyerang syaraf bagian punggungnya tujuh tahun lalu.

Saat ditemui oleh SorA Sirulo [Rabu 30/12] di Jl. Jamin Ginting, eks  rumah singgah Yayasan Biji Sesawi Gg. Malaysia, Padangbulan (Medan). Saat itu, dia berada di dalam kamar 4 x 5 meter milik seorang pengusaha. Dia tinggal di sana, ditemani oleh putri semata wayangnya yang kini duduk di bangku SMP kelas VII.

Kepada wartawan Yuni berkisah, sejak  tahun 2011, penyakitnya membuat dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Sehari-harinya ia hanya mengandalkan putrinya melakukan aktivitas mulai dari memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.

Yuni juga bercerita kalau saat ini kondisi perekonomian yang mereka alami membuat keduanya tak bisa berbuat banyak. Keduanya hanya mampu bertahan hidup dari belas kasih orang. Sekilas tentang Yuni, ia Yunibercerita kalau saat ini dirinya tidak lagi memiliki keluarga yang peduli dengan keadaannya. Terlebih setelah penyakit langka tersebut menggerogoti tubuhnya.

“Saya hanya seorang anak yatim yang dulu dibesarkan oleh nenek saya. Saya tidak memiliki saudara laki-laki. Dulu nenek saya hanya bercerita kalau ayah saya adalah seorang tentara yang kabarnya gugur berperang di Timor Timur.

Dulunya saya bekerja sebagai  bidan di salah satu rumah sakit di Labuhan Batu. Namun, semenjak penyakit langka ini menyerang, saya tak mampu lagi bekerja. Bahkan uang yang saya kumpulkan telah habis untuk biaya Magnetik Resonance Imaging (MIR) dan operasi.

“Jangankan bekerja, untuk pergi ke kamar mandi saja saya harus merangkak, kalau anak saya sedang tidak ada di rumah. Saat ini kami hanya bisa hidup dari belas kasihan orang,” papar Yuni seraya meneteskan air mata.

Kesedihan Yuni bertambah karena, kabarnya, rumah singgah yang ditempatinya, pada bulan April 2016 akan berahir masa kontraknya. Setelah itu, ia tak tahu bagaimana nasib dirinya dan puterinya ke depan.

“Kalau waktunya sudah tiba, kami tak tahu lagi harus tinggal di mana. Kami hanya pasrah Pada Tuhan,” kata Yuni.


Sempat terbesit di dalam benaknya untuk pasrah dan berdoa agar Tuhan segera mengakhiri hidupnya. Namun, ia sadar betapa sakit dan sedih apabila putri semata wayangnya harus hidup sebatang kara. Dulu, dia pernah berdoa agar Tuhan mencabut nyawanya. Tetapi, doa keputusasaan itu akhirnya dia tepis dan buang jauh-jauh karena putriny tidak pernah mengeluh bagaimanapun kondisinya.

“Mama gak boleh ngomong gitu, Putri gak pernah merasa capek merawat mama, biarpun mama kondisinya seperti ini. Mama harus bertahan dan sembuh. Tuhan itu hidup, pecayalah. Suatu saat kehidupan kita akan berubah,” kata Yuni menirukan ucapan puterinya tercinta.

Sebagai orangtua tunggal, tak banyak  yang dimintanya. Ia hanya berharap suatu saat ada keajaiban yang mampu menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Saat ini, ia juga berharap agar Tuhan membuka pintu hati siapapun yang ingin membantu membiayai kebutuhan Yuni dan anaknya.

” Selain saya sangat membutuhkan bantuan dari dermawan, tetapi yang paling saya  inginkan bagaimana puteri saya bisa tetap sekolah meskipun cuma tamat SMA. Saya sangat sedih bila mengingat putriku yang punya prestasi dan mendapat ranking, tapi harus putus sekolah hanya karena ketiadaan biaya.

“Bagaimana nanti masa depan putriku ini. Semoga Tuhan memberikan jalan lewat tangan-tangan  dermawan. Saya percaya keajaiban itu pasti ada,” kata Yuni.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.