Cerpen: Eclipse Wedding




Oleh: Maria Timmen Surbakti

Maria Timmen Surbakti 2
Maria Timmen Surbakti

Bel sekolah berbunyi kencang. Murid-murid berhamburan keluar kelas, di pintu gerbang sekolah. Ibrahim menunggu di luar. Entah siapa yang ia tunggu. Barangkali sangat penting, hingga ia begitu cemas menatap wajah orang-orang yang keluar satu per satu. Setelah tak begitu lama. Akhirnya yang ditunggu pun datang. Sara, gadis berambut panjang lurus terurai. Warna rambut hampir coklat kemerahan terang. Alisnya tebal. Matanya jernih dan menatap ke arah orang yang memanggilnya. Tiba-tiba namanya dipanggil.

“Sara..  ke mari!”

“Sedang apa kamu d isini, Ibrahim?”

“Aku tidak banyak waktu, aku pergi sore ini ke Siantar. Aku jadi bersekolah di seminari. Kuharap kamu baik saja, ini ada buku untukmu.” Ibrahim menatap matanya dan tersenyum. Tangannya memegang sebuah buku berjudul ‘The Alchemist’. Buku itu berpindah tangan.

Sara hanya diam memandang kepergiannya. Ibrahim mendayung sepedanya dengan cepat hingga bayangannya pun hilang. Sara merupakan gadis pendiam yang sering bertemu dengan Ibrahim di bukit doa Maria di Gereja Katolik St Petrus. Ibrahim senang menyapa Sara setiap mereka bertatap muka. Tidak jarang mengajaknya duduk sebentar mendengarkan ceritanya di tengah suasana yang hening itu.

Ibrahim pernah bercerita, ayahnya seorang Melayu muslim. Sedang ibunya seorang Katolik. Ibrahim pernah bilang juga kalau ia tidak makan daging babi meski ia seorang Katolik. Ia juga tidak boleh pergi Sekolah Minggu ketika kecil. Ibunya diam-diam membawanya Sekolah Minggu apabila sang ayah sedang pergi ke luar daerah. Sejak itulah Ibrahim kecil senang mendengar cerita-cerita Alkitab. Ia membaca Alkitab dan tak jarang menceritakan pula kepada adiknya Hadijah. Meski ayahnya seorang muslim, namun sang ayah pernah bertekad tidak akan memaksa ibunya untuk menjadi mualaf. Tekad pada orangtua ibunya agar diberi izin untuk menikah waktu dulu. Ayahnya pun tak pernah memaksa hal apapun pada sang ibu. Hanya saja ayah meminta agar kedua anaknya mengikuti dirinya menjadi seorang muslim.

“Aku suka pergi ke mari, di sini tenang. Coba kau lihat. Wajah bunda Maria, tampak tenang. Yesus tampak gembira dan nyaman di pangkuannya,” kata Ibrahim pada Sara.

“Apa kau tak takut pada ayahmu, jika setiap kali kau kemari?” Sara berbalik menatap Ibrahim dengan wajah penuh khawatir.

“Aku pernah bilang pada ayahku. Ketika ia memarahi ibuku lagi. Karena diam-diam membawaku ke Sekolah Minggu waktu kecil dulu. Aku akan mencari sendiri apa yang akan kuikuti. Karena aku sudah besar. Asalkan mereka damai.” Sara tertegun mendengar jawaban Ibrahim.

“Ada sebuah kisah Nabi Sulaiman. Ia pernah dihadapkan pada dua orang wanita yang berkelahi. Mereka memperebutkan seorang bayi kecil. Satu ibu berkata, bunuh saja bayi itu daripada aku tidak memilikinya. Sementara ibu yang satu menangis sambil berkata serahkan saja bayi itu padanya asal dia hidup.” Lanjut Ibrahim bercerita. Sara mengedipkan mata dan berpikir tentang cerita itu.

“Sewaktu aku kecil, aku melihat pertengkaran kucing dan anjing. Mungkinkah mereka berdamai? Seperti Nabi Sulaiman, mungkin akan menjadi sama dengan kisah anjing dan kucing ini. ”

“Maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali” Kata Sara yang makin bingung dengan cerita Ibrahim.

“Kau akan tahu suatu saat. Aku akan seperti Nabi Sulaiman mampu mendamaikan mereka,” jawab Ibrahim sambil berlalu begitu saja.

Sara yang masih berdiri di depan gerbang sekolah, sementara sudah tak ada lagi murid yang berlalu lalang. Menghentikan lamunannya. Mengingat kisah itu, dia menjadi memikirkan sesuatu hal. Apakah Ibrahim sedang pergi untuk mempersiapkan penyelamatan dunia. Mendamaikan peperangan atau semacamnya. Gerbang sekolah ditutup penjaga. Ia pun tersadar untuk segera pulang.

“Di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada,” demikian sekilas tulisan di belakang buku yang digenggamnya. Sekian tahun telah berlalu, buku ini masih bagus bentuknya.

***
“And I Know Someday That It’ll All Turn Out
You’ll Make Me Work So We Can Work To Work It Out
And I Promise You Kid
That I’ll Give So Much More Than I Get
I Just Haven’t Met You Yet”

Lagu-lagu itu mendengung dari sebuah kamar di sebuah biara. Jarum panjang menunjukkan pada angka delapan, dan jarum pendek pada angka dua belas. Di depan layar laptop, tampak pekerjaan yang sepertinya serius. Sesekali dahi mengkerut, membaca baris per baris dari sebuah buku yang tebal. Wajahnya yang tak cukup bulat disandarkan pada ujung meja, ia kelelahan. Menaruh kaca matanya. Tertidur begitu saja.

“Ibrahim, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu juga jatuh cinta padaku,” Sara berkata lembut tepat di telinganya.

“Try not to fall in love with me, aku boleh saja jatuh hati padamu. Tapi jangan padamu terjadi pula hal serupa,” Jawab Ibrahim pelan.

“Untuk apa semuanya ini. Kenapa kamu mencintaiku dan melarangku mencintai kembali,” tanya Sara perlahan.

“Aku ingin menyelamatkan umat. Aku ingin berada di tengah umat dan berdoa akan kedamaian hati mereka. Hidup mereka.”

“Apa dengan cara itu ayahmu akan menjadi Katolik?” tanya Sara semakin berani.

“Ayahku bukan Katolik, tidak juga aku. Aku hanya ingin menebar kedamaian ke setiap ujung telinga dan hati umat.”

“Apa mungkin anjing dan kucing pun berdamai dengan keputusanmu?”

“Tentu saja, anjing dan kucing akan damai apabila ada yg ‘mendidik’ dan mengawasi mereka, yaitu manusia. Maka umat pun harus ada yang mendamaikan dan selamatkan”

“Kenapa tidak mencoba satu orang yang diselamatkan, kenapa harus semua umat?” Tanya Sara lagi. Mengheningkan suasana. Tanpa sepatah pun Ibrahim tak sanggup menjawabnya.

“Aku akan menyelamatkanmu pada waktunya,” Ibrahim menjawab itu hanya dalam hatinya.

Lambat kepalanya tak lagi tertahan, perlahan jatuh ke kanan dan membangunkan seluruh sel tubuhnya. Ia bangun dan sadar kalau tadi ia sedang asyik bermimpi. Ia bangkitkan tatapannya, menutup layar laptop. Menarik nafas, serta berjalan pada ujung kamar. Terdapat Rosario dan Bunda Maria. Ia menghela nafas sekali lagi dan berdoa. Mulutnya komat-kamit semacam baca mantera. Amin. Ia pun selesai berdoa, namun sepertinya menjadi sulit tidur memikirkan sesuatu. Apakah mimpi itu atau tentang sesuatu yang ia tulis pada layar tadi. Ia menatap ruangan kamar. Berharap akan bisa tertidur lagi.

Apa gerangan yang membuat dia berada di dalam ruangan itu. Berawal ketika dulu, ia kecil melihat seekor kucing berkelahi dengan seekor anjing. Bukankah hal yang lumrah. Tapi ia tak bergeming dari tatapannya ketika itu. Ia bertekad, akan mampu mendamaikan kucing dan anjing tersebut. Tekad itulah yang ia bawa hingga sampai ke dalam ruangan ini. Sebuah ruangan yang akan membangun tubuh jasmani dan rohaninya ke jalan tertentu.

***




Peristiwa suatu pagi, seorang Pastor dengan chevrolet khasnya sedang berjalan ke arah gereja. Berpapasan dengan anak-anak yang juga berpakaian rapi. Dengan polos dan yakin bahwa pastor itu begitu baik, maka seorang anak berani menghentikan mobil pastor tersebut. Ternyata pastor tersebut tidak marah malahan menyuruh semua naik ke mobilnya. Bukan main gembiranya mereka. Di dalam mobil anak-anak kagum dengan jubah coklat romo yang lengkap tanpa mantel.

“Pastor, apa pastor berasal dari Kota Medan atau Jakarta. Di sana banyak gedung tinggi, ya. Gerejanya juga lebih besar?” tanya seorang anak padanya.

“Pastor berasal dari desa juga seperti kalian. Tidak jauh beda,” jawab Pastor sambil tersenyum. Anak itu pun kemudian turun berhamburan karena sudah sampai.

“Aku bisa jadi seperti pastor kalau sudah besar, ya. Supaya bisa berkati banyak orang,” kata seorang anak itu padanya sambil kemudian berlari pergi.

Meski berjubah gagah yang dibanggakan anak-anak tadi. Ia merupakan manusia biasa saja yang punya naluri dan sama seperti anak tadi ketika masih kecil. Bukan tak pernah dipikir bagaimana jika pilihan itu bukan menjadi panggilan yang tepat baginya. Pedomannya masih pada banyak yang terpanggil sedikit yang terpilih.

Gereja sudah penuh sesak oleh umat. Semua mempersiapkan diri. Inilah waktu yang di tunggu sepasang pengantin berdiri di hadapan jemaat juga pastor.

Pastor itu tampak masih muda. Hanya di balik matanya terlihat aliran bening yang hendak keluar. Seperti tak tahan, sambil memberkati kedua mempelai. Diiringi musik nan syahdu. menambah sakral dan haru, jemaat pun hening dan menyaksikan peristiwa penting.

“Benar ini pemberkatan suci pernikahan yang paling mengharukan. Mempelai perempuan menangis, sang pastor juga meneteskan air mata,” seorang ibu berceloteh pelan sambil menghusap air matanya sendiri.

“Coba liat, tampan nian pastor itu. Gagah lagi tinggi. Kalau saja ia bukan seorang pastor, sudah kujodohkan saja dengan putriku,” jawab ibu satu mencoba mencairkan suasana.

“Gadis itu pun cantik, ya, dia tak baik menangis terlalu banyak. Bisa merah mata gadis cantik itu. Oh, Sara yang cantik.”

Pagi ini, tepat pada gerhana matahari. Pemberkatan pernikahan, langit tampak agak gelap ketika peristiwa itu berlangsung, Suasana begitu terasa mengharukan. Sampai pastornya pun ikut terharu terbawa suasana. Pastor itu bernama Ibrahim.

“Maktub. Kalau aku memang bagian dari mimpimu, suatu hari nanti kau pasti akan kembali.” – Fatima

-The Alchemist-



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.