Kolom M.U. Ginting: Dari Terorisme ke Ekstrimisme

M.U. GintingDalam menghadiri sidang PBB di Jeneva 7-8 April, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Tito Karnavian dalam pidatonya mengajak elemen masyarakat madani untuk berperan aktif mengatasi ekstrimisme. Sementara itu Sekjen PBB Ban Ki Moon menyampaikan permasalahan terorisme saat ini sangat erat kaitan dengan ekstrimisme kekerasan. Pernyataan Tito dan Ban Ki Moon menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan pemikiran atas terorisme. Tito setingkat lebih maju, karena dia percaya akan partisipasi publik, ’mengajak element masyarakat’. Ini bukan sembarang ajakan, karena partisipasi publik adalah bagian tak terpisahkan dengan keterbukaan Abad 21. 

Dalam pertemuan itu Ban Ki Moon kelihatannya mengganti istilah ’terorisme’ dengan istilah ’extrimisme’ atau ’extrimisme-kekerasan’. Selama ini istilah terorisme dikaitkan dengan agama Islam. Karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa terorisme tak ada kaitannya dengan agama Islam, tentu tak cocok lagi istilah ’terorisme’.

Lebih masuk akal pakai extrimisme atau extrimisme kekerasan, seakan-akan maksudnya bukan lagi dikaitkan dengan agama Islam. Dengan cara begitu mengharapkan publik dunia masih yakin ’kehebatan’ terorisme yang menakutkan walaupun tak ada lagi kaitannya dengan agama Islam dan tak perlu ditakuti menurut Presiden RI. 

Jelas ada tendensi usaha tertentu dari pihak tertentu pula bahwa masih perlu adanya ’the global war on terrorism’ dan jadi kewajiban seluruh dunia untuk ikut ambil bagian. Dalam hal ini terlihat juga usaha Presiden Obama dalam pidatonya terakhir bilang kalau-kalau bom nuklir bisa jatuh ke tangan teroris. Artinya, dari tingkat bom biasa ke tingkat bom nuklir.

Wow, hebatnya, peningkatan ’fear mongering’ yang sangat luar biasa dari Pak Obama, seakan-akan mengingatkan kepada Presiden RI Jokowi yang tegas bilang tak perlu takut sama teroris!

Sebaliknya juga dikatakan oleh a prominent academic and author Dr Michel Chossudovsky bilang:

The so-called war on terrorism is a front to propagate America ’s global hegemony and create a New World Order. Terrorism is made in USA , The global war on terrorism is a fabrication, a big lie’.

 

PBB 2Memang terlihat ada persamaan pidato Tito dengan Ban Ki Moon di Jeneva itu. Tak ada lagi sebutan agama Islam dan juga istilah yang ada sangkut pautnya dengan ’ketakutan’. Kedua soal ini pastilah ada hubungannya dengan pernyataan Presiden RI, terorisme tak perlu ditakuti dan Wakil Presiden RI yang tegas menyatakan terorisme tak ada kaitannya dengan agama Islam, setelah teror Thamrin di Jakarta tempo hari.

Hebat juga memang pengaruh kedua pemimpin Indonesia itu! Rakyat dunia dan pemimpin dunia ternyata memperhatikan dan apresiasi sikap RI yang diwakili oleh Jokowi-JK. Bukan main!

Dalam pertemuan Jeneva, Wakil RI Tito malah menyatakan perlunya partisipasi publik dalam menangani terorisme, soal mana tak ada sepatah katapun dari perwakilan lain, termasuk dari Ban Ki Moon! Partisipasi publik dan keterbukaan adalah musuh utama kegelapan termasuk terorisme. Tetapi, partisipasi publik dan keterbukaan sudah menjadi arus pokok perkembangan dunia, sudah menjadi kekuatan baru yang tak mungkin dikalahkan oleh kekuatan apapun.

Terlihat juga setelah teror Brussel, banyak orang-orang Eropah menyatakan tak perlu takut pada terorisme dengan alasan bahwa orang yang bunuh diri dengan bomnya tak bisa dicegah. Selalu ada saja orang-orang muda naif yang gampang dicuci otaknya, ingin masuk surga setelah bunuh diri membom orang-orang ’kafir’.

PBB 3Kalau di Indonesia, setelah bom Thamrin, sudah terlihat jelas bahwa merekrut orang-orang ini sangat gampang dan bisa direkrut belasan atau berapa saja tiap kali mau membom satu tempat. Rekrutan lainnya ialah orang-orang kriminal yang sangat merasa beruntung dapat kerjaan demikian, dengan duit besar yang dijanjikan dan dengan kekuasaan begitu besar, bunuh orang sembarangan saja cukup dengan alasan ’kafir’. Terlihat jelas di ISIS.

Duit dan Kekuasaan! Greed and Power. Kombinasi alamiah yang menjadi cita-cita tertinggi manusia setelah munculnya kekuasaan di dunia. Orang menjadi kriminal umumnya atas dasar ini, termasuk orang-orang menjadi koruptor. Tak mungkin ada orang kriminal yang menolak kerjaan yang begitu menjanjikan, duit besar dan kekuasaan besar. Kalau menolak, berarti dia hanya setengah kriminal dan orang setengah ini tak akan dipakai. Yang dipakai ialah orang-orang kriminal sejati!

Merekrut orang-orang ini dengan sendirinya juga tak ada soal, otomatis berjalan lancar secara ’alamiah’ juga.

Jadi, jelas ada 2 tipe dasar orang direkrut jadi teroris dan yang sekarang berubah namanya jadi ’extrimis’ atau ’kekerasan extrimis’, tak dikaitkan lagi dengan agama Islam atau setidaknya tak ada lagi yang ngomong kaitannya dengan agama Islam, dan tak perlu ditakuti.

Tingkatan terakhir pemikiran soal teroris ialah dari Paus Fransiskus, yang bilang bahwa terorisme erat kaitannya dengan pedagang senjata. Orang-orang ini kasih makan keluarganya dengan duit yang berlumuran darah, kata Paus. Dengan istilah lain ialah ’war-based economy’ atau ’terror-based industry’ yang pegang peranan penting.    

Jonathan Turley George Washington University bilang: ”The core of this expanding complex is an axis of influence of corporations, lobbyists, and agencies that have created a massive, self-sustaining terror-based industry.” 

Paus Fransiskus adalah satu-satunya pemimpin besar dunia yang pertama kali berani mengaitkan terorisme dengan pedagang senjata. Di pertemuan Jeneva itu sudah ada peningkatan pemikiran, tetapi belum setingkat Paus.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.