Kolom Darwono Tuan Guru: KARTINI DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Darwono 2April adalah bulan Kartini, sedangkan bulan Mei adalah bulan Pendidikan dan Kebangkitan Nasional. Ada rangkaian yang saling berhubungan dari ketiga momen hari besar nasional tersebut.  April sebagai bulan Kartini terkait dengan peringatan Hari Kartini, Putri Sejati, Putri Indonesia, harum namanya, yang diakui sebagai pahlawan emansipasi wanita, pahlawan yang berjuang dengan pena, bukan dengan senjata. Hari Kartini ini kita peringati sekitar satu minggu lagi, 21 April tiap tahunnya.

Tulisan kali ini tidak bermaksud menguraikan keterkaitan ketiga momen hari nasional itu, namun sebatas pada pemaparan pikiran-pikiran Kartini terkait dengan bidang pendidikan yang penulis tekuni selama ini. Itupun terbatas pula pada beberapa pemahaman penulis terhadap beberapa surat RA Kartini sendiri.

Ketika kita membaca salah satu surat RA Kartini yang berbunyi: “Kecerdasan otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada juga kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat berhubungan dengan orang lain untuk mengantarkan orang ke arah yang ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradaban tinggal permukaannya saja.”

Bagi Sang Penyuluh Budi, RA Kartini, konsep kecerdasan bukanlah kecerdasan dalam makna IQ belaka. Surat itu menunjukan bahwa RA Kartini adalah seorang yang Kartinikonsern dengan kecerdasan holistik. Apa yang disampaikan oleh Kartini tersebut sekitar 1 abad kemudian menjadi terbukti sebagaimana kita bisa mendapatkan buktinya pada hasil penelitian terhadap World TOP 500.

Dalam Word  TOP 500 diungkapkan, dari penelitian yang dilakukan di Amerika, tercatat beberapa kecakapan yang sangat diminati dan diperlukan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia yang masuk dalam ranking TOP 500. Peringkat kecakapan yang paling diminati tersebut adalah (dengan urutan paling diminati paling atas):

1. Teamwork (Kerja Tim)

2. Problem Solving (Pemecahan Masalah)

3. Interpersonal Skills (Kecakapan Antar Pribadi)

4. Oral Communications (Komunikasi Lisan)

5. Listening (Mendengarkan)

6. Personal/ Career Development (Kepribadian/ Pengembangan Karir)

7. Creative Thinking (Berfikir Kreatif)

8. Leadership (Kepemimpinan)

9. Goal Setting (Pembuat target tujuan)

10. Writing (Kecakapan Menulis)

11. Organizational Effectiveness (Efektifitas berorganisasi)

12. Computation (Penghitungan/Komputer)

13. Reading (Kecakapan Membaca)

Terkait dengan keluhuran budi, kita menjadi tersentak ketika seorang yang sangat pendiam seperti RA Kartini memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni budaya masyarakat. Kartini sangat yakin ada kaitan erat antara seni budaya dengan kehalusan budi yang harus dibangun. Kartini mengatakan: “Karena bila taraf hidup kesenian suatu bangsa tinggi, maka budi bangsa itu sendiri adalah suatu puisi.” Budi suatu bangsa akan indah (seperti puisi) ketika tingkat kesenian bangsanya tinggi.

Bagi Kartini pendidikan harus mengarah pada perubahan karakter atau sifat-sifat bangsa bertambah baik.

“Cita-cita kami ingin memberikan kepada mereka sifat-sifat baik yang ada pada bangsa lain di samping sifat-sifat baik yang sudah ada pada mereka sendiri. Dan bukan untuk mendesak sifat-sifat mereka sendiri, melainkan untuk membuatnya lebih halus dan luhur!”

Kartini mencita-citakan bangsa Indonesia menjadi bangsa dengan karakter unggul yang mungkin diperoleh dengan belajar dari bangsa lain.

Kartini 2
Foto: ITA APULINA TARIGAN.

Kebanggaan, kesadaran  dan pemahaman Kartini sabagai anak bangsa akan kebaikan bangsa sendiri jelas terlihat pada pernyataannya berikut: “Banyak sekali sifat yang baik pada bangsa saya. Banyak sekali keindahan di dalam kepercayaannya yang menarik dan kekanak-kanakan. Barangkali kedengarannya aneh, namun walaupun demikian, hal itu adalah suatu kenyataan. Kalian Bangsa Eropah telah mengajar saya mencintai tanah air dan bangsa saya sendiri. Pendidikan Eropah justru mendekatkan kami kepada bangsa kami dan tidak menjauhkannya. Membuka mata dan hati kami untuk melihat keindahan tanah air dan bangsa. Dan juga keperluannya yang mendesak melihat tempat-tempat lukanya. Kami sangat mencintai negeri dan bangsa kami! Aduhai! Seandainya kami suatu ketika dapat berbuat sesuatu untuk membantu mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, maka alangkah bahagia kami.”

Berbeda dengan kaum terpelajar yang cenderung mengubah dirinya menadi bangsa lain ketika mereka belajar pada mereka, sehingga muncul keameriokaan, kebarat-baratan, maupun kearab-araban, patriotisme Kartini sangat jelas. Ini sebuah pembelajaran yang sangat patriotisme. Apapun yang diperoleh dari bangsa lain, menjadikan kita semakain cinta, semakin bangga pada bangsa sendiri, sebuah ironisme di tengah kebanggaan “menjadi asing” oleh kaum terpelajar saat ini. Tidak hanya itu, pernyataan Kartini juga menjadi pendobrak bagi mereka yang dengan dzalimnya melecehkan bangsa sendiri.

Untuk membangun karakter bangsa melalui pendidikan, Kartini melihat peran guru sangat penting.  Bagi Kartini, peran guru tidak hanya berfungsi mengembangkan potensi fikir melalui transfer of knowledge saja, tetapi juga dalam membangun karakter atau masalah budi pekerti.

Kartini menulis: “Seorang guru bukan hanya sebagai pengasah pikiran saja, melainkan juga sebagai pendidik budi pekerti.” Untuk itu, diperlukan kemampuan komunikasi guru yang sangat prima, sehingga apa yang disampaikan guru tepat sasaran.




Kartini menulis : “Tetapi apalah artinya pandai dalam ilmu yang hendak diajarkan itu, apabila ia tidak dapat menerangkan secara jelas kepada murid-murid.” Bagi Kartini, guru tidak cukup bermodal pandai, tetapi dia harus memiliki kemampuan komunikasi juga. Lebih dari itu, apa yang diajarkan guru harus ditopang oleh teladan guru itu sendiri jika apa yang diajarkan ingin diikuti.

“Apabila kami menghendaki orang lain mengikuti jejak kami, maka contoh yang kami berikan haruslah sesuatu yang berbicara, menimbulkan rasa kagum dan keinginan untuk menirunya.”

Terkait dengan ini, mau tidak mau, jika seorang guru menginginkan peserta didiknya berprestasi, maka guru harus berprestasi lebih dulu untuk menimbulkan kebanggaan dan pada ahirnya diikuti muridnya. Demikian juga dalam membangun karakter. Jika peserta didik diharapkan menjadi pribadi yang jujur, maka guru harus jujur terlebih dahulu.

Demikianlah beberapa hal yang dapat penulis pahami dari beberapa surat RA Kartini yang terkait dengan pendidikan. Untuk menutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan pernyataan RA Kartini : “Jangan kau katakan saya tidak dapat, tetapi katakan saya mau.”  Sebuah ungkapan yang menuntut kita menjadi manusia pembelajar dengan ketidakmampuan kita.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.