Kolom Darwono Tuan Guru: Kartini dan Kasus Perubahan Paradigmanya

Darwono Tuan GuruSemasa SMP kelas 2 (1976), untuk memenuhi tugas pelajaran Bahasa Indonesia, 1 minggu membaca 1 buku dan kemudian ditulis ringkasannya dengan bahasa sendiri. Penulis membaca buku Kumpulan Surat-surat RA Kartini berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Armin Pane (seingat saya). Di kelas 2 SMP pula, penulis mulai mencipta puisi berjudul “Kartini” untuk mengisi rubrik di Majalah Dinding untuk keperluan lomba antar kelas dalam rangka memperingati Hari Kartini tahun 1976.

Pada peringatan Hari Kartini tahun itu, juga dilombakan “menggubah lagu Kartini” dengan menggunakan lagu yang sedang popular, dan seingat penulis, kelas penulis menggunakan lagu Mama dari Edy Silitonga  dengan adaptasi lirik tentang jasa Kartini. Selain lomba Majalah Dinding dan “Menggubah Lagu”, juga diselenggarakan lomba-lomba lain seperti paduan suara antar kelas, lomba menghias tumpeng, serta merangkai bunga dan buah, dll, termasuk lomba busana keluwesan menggunakan kebaya ala Kartini.

Hingga usia di atas 55 tahun, peringatan Hari Kartini selalu menarik buat penulis pribadi termasuk diskursus tentang jati diri RA Kartini dan silang pendapat berbagai hal tentang Kartini. Penulis tidak berpretensi menulis tentang Kartini untuk mengikuti alur kontraversi itu, namun lebih pada pemahaman penulis tentang apa yang terjadi pada RA Kartini sesuai dengan perkembangan pribadi beliau yang semakin dewasa.

Kartini 4
Sebuah daerah persawahan di Batu (Jawa Timur). Foto: ITA APULINA TARIGAN.

Habis Gelap terbitlah terang, bagi penulis lebih diartikan sebagai timbulnya pencerahan dalam diri RA Kartini sendiri. Melaui perjalanan hidupnya, kegelapan yang menyelimuti diri Kartini men. Merujuk apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW tentang menilai seseseorang, “Nilailah seseorang dari teman dekatnya”  maka periodisasi kehidupan Kartini dapat dibagi menjadi 2; yakni periode hidup dalam Kegelapan dan periode dalam Pencerahan (Terang), terkait dengan siapa yang mempengaruhi RA Kartini.

 


[one_fourth]1. Masa Gelap Kartini[/one_fourth]

Apa yang disampaikan oleh Rasulullah di atas menunjukan betapa sangat sentralnya peran seorang teman pada diri seseorang. Interaksi dan korespondensi RA Kartini dengan teman-temannya termasuk kehadiran teman yang diwakili oleh “buku bacaannya” membuat Kartini dalam gelap sebagai seorang wanita muslim yang semestinya memahami nilai-nilai kemuslimahannya. Namun, sebagai mana dinyatakan oleh Kartini dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis:

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca 

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu, Stella?

 

Apa yang dikeluhkan Kartini sebenarnya wajar terjadi. Jika pertanyaan itu bukan ditujukan kepada Stella, tentu akan mendapat jawaban yang proporsional. Namun, karena Stella juga memiliki kepentingan dalam “menggarap” Kartini, sudah barang tentu Kartini tidak mendapatkan jawaban yang semestinya.

Sebenarnya periode hidup RA Kartini jauh sesudah tokoh-tokoh wanita bahu-membahu dengan kaum pria seperti yang terjadi di Aceh (Cut Nyak Dien), di Padang (bahkan matrilineal), maupun yang terjadi pada wanita-wanita Jawa selama perang Diponegoro (1825 – 1830) bisa sampai ke RA Kartini, tentu pandangan RA Kartini tentang nasib wanita Jawa tidak seperti yang dituturkannya kepada teman-teman Belandanya.

Kepentingan “mereka’ untuk menjadikan RA Kartini gelap tentang penghormatan terhadap wanita (terutama oleh islam) dipupuk dengan dikirimkannya buku-buku yang menggarap persepsi Kartini  selama dalam pingitan, sehingga terasa Kartini  semakin gelap  dan makin meronta.

Diantara buku-buku itu adalah:

1. Hilda van Suylenburg karya Mevrouw Goekoop-De Jong yang terbit tahun 1897. Karya seorang Feminis.

2. Indruken van een Totok karya Justus van Maurik

3. Max Havelaar karya Multatuli atau Dowes Deeker, terbit tahun 1860

4. Moderne Vrouwen karya Jeanette van Riemsdijk.

5. Het Jongetje karya Borel “Diantara Hartaku”, yang terbaru adalah Het Jongetje oleh Borel.

6. De Wapens Neergelegd karya B.V. Suttner.

7. Terugblik karya De Genestet.

 

“Kegelapan” Kartini sangat nampak dalam  surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon:

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

Sangat terasa, jika kita  membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme.

 


[one_fourth]2. Terang Menerangi Kartini[/one_fourth]

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami.”

Kartini 6
Sanggar Seni Sirulo di Sukamakmur (Sibolangit). Foto: MASMUR SEMBIRING.

Itulah ungkapan pencerahan yang diperoleh RA Kartini setelah mengikuti pengajian yang diberikan oleh Romo Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang, dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Saat itu, beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan: “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Tak lama setelah itu, RA Kartini menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Sebagai penghargaan dan dengan semangat dakwah, kitab tafsir tersebut dihadiahkan kepada RA Kartini.

Salah satu tafsir ayat yang menggugah hati RA Kartini dan senantiasa diulang-ulangnya dalam berbagai suratnya kepada sahabat penanya di Belanda adalah surat Al Baqarah ayat 257.

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).”

Pencerahan itu, mengubah  paradigma Kartini selama ini, tercermin dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902. Kartini juga menulis: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”

Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902, Kartini menulis: “Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.

Selanjutnya  dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis: “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

Dari sedikit periodisasi hidup Kartini di atas, nampaklah begitu jelas peran interaksi baik melaluk tukar fikiran maupun membaca buah fikiran dengan berbagai medianya. Sangat terlihat betapa RA Kartini bisa terseret pada paradigma “Barat”, “Feminisme”, maupun aliran pemikiran melalui interaksi dan bacaannya. Demikian juga bagaimana Kartini kemudian bisa berubah paradigmanya dan tumbuh kesadaran imannya melalui interaksi dengan kyai dan karyanya.




Hikmah perjalanan habis gelapnya Kartini terbit kesadaran iman Kartini  bagi dunia kita  kini yang sangat terbuka dengan berbagai informasi adalah bagaimana kita dapat membangun generasi Indonesia yang benar-benar tangguh dengan keindonesiaannya dan tidak mudah terpengaruhi oleh berbagai informasi, paham, idealism dan pandangan hidup yang bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan yang maha esa. Sebagaimana cita-cita Kartini untuk tidak menjadikan “manusia setengah Jawa dan setengah Eropa” sebagaimana yang justru saat ini sangat nyata adanya, fisiknya Indonesia, namun jiwa, pandangannya, dan perilaku, dan cara hidupnya mengagungkan nilai-nilai yang bertentangan dengan way of life bangsa.

Tercerahkan sebagai wanita yang menerima kodratinya, Kartini semakin menerima kewanitaannya yang siap-siap menjadi Ibu, bukan sebagai wanita yang ingin merebut “posisi-posisi lelaki” sebagaimana gerakan feminisme, apa lagi mengalihkan kodrati wanita yang mencintai lelaki, dengan mencintai sesama wanita sebagaimana kaum lesbian yang tidak membutuhkan lelaki. Itulah sisi perubahan dari gelap ke terang yang dialami RA kartini.

Sekali lagi, teman dan bacaan sangat penting dalam membentuk paradigma seseorang apa lagi pada saat-saat kritis pertumbuhan manusia pada periode mencari jati diri (masa remaja hingga dewasa muda) sebagaimana saat Kartini memasuki usia pingitan (12 – 23 tahun) itu. Pastikan anak-anak kita bergaul dan membaca informasi yang tepat ! Sebagaimana pesan luhur pini sepuh kita untu selalu membaca Quran dengan memahami maknanya (qiroatul Qur’an bitadabburil makna) dan bergallah dengan orang Sholeh, insya Allah hati dan jiwa generasi muda kita akan selamat dari kegelapan yang menggalaukan sebagaimana dialami Kartini muda.








One thought on “Kolom Darwono Tuan Guru: Kartini dan Kasus Perubahan Paradigmanya

  1. Masa kegelapan Kartini abad 19 adalah soal kegelapan sekitar emansipasi wanita, disambung masa kegelapan abad 20 soal kegelapan dalam politik dunia. Pada permulaan abad 20 adalah kegelpan dalam praktek kolonialisme termasuk perang dunia 1, kegelapan yang berkembang sampai pertengahan abad 20 dan perang dunia 2, dan pada pertengahan kedua abad 20, kegelapan itu mencapai bentuknya dalam format ‘imperialisme’ dibidang politik dan ekonomi. Dibidang kultur dan budaya adalah ‘multikulti’ (Angela Merkel) atau multikulturalisme.

    Setelah ‘multikulti’ ini mulai terbelejeti dan tak laku lagi karena dapat tentangan keras dari cultural revival atau ethnic revival dunia, muncul terorisme, korupsi dan narkoba. Tiga format KEGELAPAN ini masih berlaku sampai sekarang, dan menjadi pusat pertentangan dunia antara kekuatan nasional dan kekuatan ‘global hegemony’ neolib. Dua kepentingan besar dunia sekarang (kepentingan nasional dan kepentingan global hegemony neolib) berhadapan langsung atau fokus langsung didalam 3 persoalan ini (terorisme, korupsi, narkoba).

    Dengan munculnya teknik baru digital internet, maka muncullah era informasi yang mengakibatkan keterbukaan informasi yang sangat luas, dalam kuantitas maupun kualitas yang boleh dikatakan tak terbatas. Publik yang luas menjadi sumber informsi, dan menjadi pewarta informasi mengalahkan semua media dan publikasi besar yang berdominasi dan berkuasa mutlak pada abad-abad lalu, terutama abad 20.

    Dominasi dan kekuasaan media mogul abad 20 tak bisa lagi dipertahankan oleh ‘finans center’ (neolib) karena media sosial lebih besar dan lebih luas tak terbatas. Inilah faktor utama yang menentukan perubahan dunia, sekarang dan seterusnya. KETERBUKAAN DAN PARTISIPASI PUBLIK sudah tak terhindarkan, dan bisa membuka atau menelanjangi apa saja yang masih tertutup.

    Siapa yang bisa membayangkan kalau terorisme tak ada kaitannya dengan agama islam. Siapa yang bisa membayangkan kalau teroris tak perlu ditakuti, dan siapa yang bisa membayangkan kalau terorisme erat kaitannya dengan pedagang senjata, yang kasih makan keluarganya dengan duit yang berlumuran darah? Siapa yang bisa membayangkan kalau Obama sebelum lengser akan mengatakan bahwa teroris bisa bawa bom nuklir sebesar buah apel untuk mengimbangi kata-kata Jokowi itu?

    MUG

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.