Menghadirkan Indonesia di Negeri Kincir Angin

Oleh: Ita Apulina Tarigan (Leiden)

 

Ita ApulinaPerjalanan nyaris 24 jam sejak berangkat dari Surabaya ke Amsterdam membuat saya tidak bertemu nasi sama sekali. Sebagai anak bangsa sejati tentulah hidup belum hidup jika lambung belum bertemu nasi.

Menyematkan diri sendiri dengan istilah traveller tentu harus jaga standing tidak merengek dan patah semangat. Hujan es menyambut begitu pesawat mendarat di bandara Schiphol. Then, saya menyadari jaket hijau Eiger, topi Eiger saya sama sekali tidak berdaya dengan udara Amsterdam. Brrr…..

Sumatra HouseDi arrival hall saya celingak celinguk mencari Bang Juara. Tidak ada, saya coba kontak lewat Skype, tidak diangkat. Saya browsing sekali orang-orang yang berdiri di pintu kedatangan. Akhirnya, terlihat rambut keritingnya. Yah, akhirnya kami bertemu. Kami naik train menuju Leiden Central. Lapar dan haus sekali di udara yang bikin menggigil ini.

Di Leiden Central saya diajak mampir ke Sumatra House sekedar minum teh, karena makan sudah disiapkan di rumah, katanya. Di Sumatra House bertemu dengan Kak Nelly beru Sembiring, pemiliknya. Teh panas dan kukis langsung hadir di meja. Dia sedang sibuk di steling makanannya, sedang siap-siap untuk buka. Di belakang sana, ada seorang juru masak dengan kuali besar dan beberapa kompor sedang finishing touch berbagai jenis makanan. Harum bumbu dan aroma Indonesia memenuhi ruangan. I feel at home.

Berkali-kali Kak Nelly memasukkan baki makanan ke dalam stealing, dari berbagai macam masakan sayuran, ayam, telur sampai rendang. Sungguh lapar! Tapi saya masih tahan diri. Setelah minuman habis, kami pamitan sekalian membuat janji besok akan datang sekalian menjamu seorang teman dari Paris yang akan datang ke Leiden.

Tak jauh dari Sumatra House ada halte bus menuju Leiderdorp. Hujan gerimis dan angin semakin kencang. Benar-benar brrr….
*****

Kami menunggu bang Ahman Sebayang di Leiden Central yang berkendara sendiri dari Paris. Dari Leiden Central menuju Sumatra House tidak sampai 5 menit berjalan. Mutar-mutar cukup lama mencari parkir, soalnya di Belanda parkir tidak bisa sembarangan dan sangat terikat dengat waktu.

Sumatra House 2Sumatra House belum buka ketika kami sampai. Dari seberang jalan Kak Nelly berteriak, wah, senang rasanya pintu akan segera dibuka, terbayang ruang hangat. Teh panas kembali tersaji. Seperti kemarin kak Nelly dan karyawannya sibuk membersihkan dan menata makanan di dalam stealing kaca. Kami berbincang gembira.

Tiba saat makan. Sayur lodeh dengan petai, ayam semur, rendang, sate, nasi kuning, nasi goreng, sambal tempe tersaji di meja. Serasa makan di Padangbulan. Rasanya tidak kalah, sungguh Indonesia. Selama kami duduk, puluhan orang keluar masuk membeli makanan berkotak-kotak, tidak hanya bertampang Asia, juga Eropah. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senang di hati. Setelah memuaskan kelaparan kami, dilanjut dengan wine dari Perancis.

Tiba-tiba seorang perempuan dengan ransel dan topi masuk dan bertanya “ada makanan apa?” Namanya Shirley, perempuan Indonesia asal Bengkulu keturunan Thionghoa yang menetap di Maroko. Suasana jadi meriah. Kak Nelly memberikan daftar menu. Dia menjerit senang.

“Saya mau bakso. Apa ini bakso sungguhan?” tanyanya.




Kami tertawa berderai. Kami katakana kepadanya, di Sumatra House tidak ada makanan palsu. Shirley seorang back packer, sangat ahli tentang solo travelling di Mediterania dan Afrika. Kisah-kisah dan tipsnya sungguh menarik dan menantang. Saya katakan kepadanya, Stop! Kamu sudah meracuni saya, Mbak. Dia tertawa, jawabnya sungguh tangkas dan dia bilang: Saya suka meracuni orang.

Ketika Shirley mengatakan, Oh .. orang Batak, ya? Bisakan kalian bayangkan seperti apa semangat kami menerangkan bahwa Karo Bukan Batak? Menerangkan dan berdiskusi dengan Shirley tentang kelompok etnik yang berbeda sangat menyenangkan. Penjelasan yang logis, tanggapan yang jernih membuat seluruh pembicaraan mengalir. Kamipun berolok-olok, Ini mah bukan di Netherland, tetapi di Indonesia. Saya rasa perasaan kami semua sama malam itu. Waktu jugalah yang memisahkan kami.

Sampai jumpa Sumatra House dalam waktu dekat ini.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.