Kolom Darwono Tuan Guru: KOMPETENSI GURU YANG TERLUPAKAN

Darwono Tuan GuruJika kita Mengkritisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 8 yang penjabarannya termaktub pada Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, paling tidak ada 2 catatan yang menurut hemat penulis perlu disampaikan di sini. Pertama, terntang terminologi kompetensi professional, dan yang ke dua tentang kompetensi yang dilupakan.

Tentang kompetensi professional, terasa kurang tepat. Sebab, semua kompetensi itu merujuk pada kompetensi profesionalisme guru. Mungkin yang lebih tepat adalah kompetensi bidang  keilmuan. Kompetensi keilmuan ini adalah kemampuanan penguasaan ilmu dengan berbagai aspek keilmuan dan keilmiahannya yang sesuai bidang tugasnya. Sebagai contoh, kompetensi Biologi, kompetensi Matematika, Kimia, Sosiolaogi, Ekonomi, Geografi, dll. Jadi, tidak menggunakan terminologi kompetensi profesionalisme lagi.

guru 6Catatan ke dua adalah terkait dengan  tugas guru itu sendiri di bidang pembelajaran selain melakukan perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan evaluasi pendididikan. Pada penilaian sikap (kompetensi Inti, KI 1), kompetensi inti sikap spiritual yang berorientasi agar siswa menyadari bahwa semua yang ada di bumi ini adalah ciptaan Tuhan.

Kompetensi ini sangat penting, mengingat sesuai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dinyatakan “Negara berdasar ketuhanan yang maha esa”. Hal ini juga dilandasi oleh kesadaran bahwa Kemerdekaan NKRI adalah berkah rahmat Tuhan, sebagaimana termaktub pada Preambul UUD 1945 “Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkebangsaan yang bebas, maka dengan ini Rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya”.

Spirit religius akan pengakuan pada keagungan Tuhan itulah yang membedakan semangat Kemerdekaan Indonesia dengan bangsa lain. Sehingga pengembangan bidang apapun termasuk pendidikan tidak boleh melupakan nilai-nilai ketuhanan sebagai cerminan bangsa yang berpancasila terutama Sila Ketuhanan yang Maha Esa.

Dengan tugas seorang guru mampu menilai sikap spiritual peserta didik maka amat tidask relevan jika guru itu sendiri tidak memiliki kompetensi spiritual. Tidak adanya prasyarat kompetensi spiritual pada kompetensi yang diwajibkan dimiliki oleh guru boleh jadi merupakan sebuah kelalaian, atau memang kurang memahami  betapa sentralnya kompetensi spiritual untuk mendididik peserta didik memiliki sikap ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa.




Kompentensi spiritual seorang guru bukan sekedar menilai siswa pada pelaksanaan ajaran agama secara formal. Namun, lebih dari itu, kompetensi spiritual pada hakekatnya adalah kemampuan guru memberi makna dan mengaitkan keilmuannya dengan ajaran agama yang diyakininya, sehingga ilmu itu menjadi bermakna dalam konteks hidup beragama. Dengan demikian akan tumbuh generasi yang tidak memisahkan ilmu dan agamanya, atau yang disebut sebagai manusia sekuler. Generasi terdidik nantinya adalah generasi yang seimbang iman dan imtaknya.

Munculnya berbagai tindak kriminal/ dosa  dari yang ringan hingga paling dahsyat dilakukan oleh mereka yang  terlihat sangat rajin dengan ibadah formal adalah bagian dari gejala sekulerisme umat beragama. Bagi kaum muslimin, akan nampak bagaimana dia di tempat-tempat ibadah dan bagaimana dalam kehidupan lainnya.

Sebagaimana kompetensi lain yang terus dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi guru, kompetensi spiritual juga perlu terus ditingkatkan dan dievaluasi. Dengan cara demikian, semakin meningkat  karier seseorang juga akan semakin meningkat posisinya sebagai hamba dan khalifatullah. Semakin tinggi posisinya dalam kepemimpinan semakin besar nilai-nilai spiritualnya.

Mudah-mudahan ada manfaatnya.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.