Kolom Darwono Tuan Guru: Nilai Turun Bukan Karena Kejujuran

Darwono Tuan GuruUjian nasional tingkat SLTA telah selesai. Hasil Ujian Nasional baik berbasis komputer (UNBK) maupun berbasis pencil and paper telah diterima sekolah masing-masing. Kita tinggal menunggu pengumuman resmi kelulusannya pada tanggal 7 Mei 2016.

Menurut informasi yang kami peroleh, terjadi penurunan nilai rata-rata untuk DKI. Konon, hal itu terkait dengan peningkatan sekolah yang menggunakan UNBK di DKI dari 2 sekolah menjadi 200 sekolah. Oleh karenanya, penurunan nilai itu diasumsikan terkait dengan “kebersihan” UNBK.

Benarkah demikian? Menurut hemat penulis, penurunan nilai rerata itu tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai pengaruh UNBK. Sudah barang tentu banyak faktor yang mempengaruhinya, muatan kurikulum, tingkat kesulitan soal, teknis pengerjaan soal UNBK, dll.

Namun kenyataannya, DKI berambisi sekali melaksanak K13 pada semua sekolah terutama SMA. Meskipun ada semacam pilihan, namun dengan embel-embel akhirnya tahun depan juga harus K13, sekolah-sekolah “terpaksa” menerima K13. unbk 2Ujian Nasional kali ini adalah ujian pertama K13 yang seharusnya hanya diikuti sekolah-sekolah percontohan.

Terkait dengan level kualitas soal, melalui tulisan berjudul “Keadilan dalam Ujian Nasional” pada Kompasiana edisi 16 Oktober 2015 penulis ungkapkan “Memperhatikan sebaran level kognisi Kisi Kisi UN SMA/MA 2015 – 2016 Untuk Mata pelajaran Biologi IPA, terlihat Level Pengetahuan dan Pemahaman (C 1 dan C 2) 35 %, Aplikasi (C3) 40% dan Penalaran (variasi C4, C5 dan C6) 25 % terasa benar itu adalah evaluasi Kurtilas (K13) yang memang menuntut evaluasi hingga C6.

Untuk sekolah-sekolah bukan percontohan kurikulum 2013 (sekolah unggulan), apalagi sekolah dengan murid-murid afkiran dari sekolah negeri seperti peserta didik di sekolah penulis, dengan input rata-rata NEM 4,5, prediksi penulis waktu itu adalah bisa meraih Tipe A (35 %) dan 50 % tipe B (20 %), atau berkisar 55 %, berada di level D. Penulis sangat yakin sekoah-sekolah dengan input setara dengan sekolah penulis akan memperoleh predikat D.

Dengan hasil itu, kita juga bisa berkaca secara jujur dengan apa yang kami pesankan pada tulisan itu: “Dengan kisi begitu terbuka menganga, tanpa rambu spesifik, maka mau tidak mau harus bekerja keras dengan segala keterbatasannya.”  Kami mengambil kasus satu mata pelajaran bahasa Indonesia yang selama ini sekolah kami mendapat level A dan sekarang nilainya turun (masih rahasia).

Biasanya untuk mencari pokok pikiran utama, atau sejenisnya, peserta ujian dapat memberi garis pada kalimat tercetak, atau mengurutkan, dengan memberi nomor. Namun, untuk UNBK, sudah barang tentu peserta tidak mungkin menggaris, atau memberi penomoran di monitor komputer. Menuliskan kembali kalimat di kertas corat-coret sudah barang tentu memerlukan waktu tersendiri, apalagi, biasanya ujian bahasa Indonesia memang tidak disediakan kertas untuk corat-coret. Artinya, ada kendala teknis yang perlu dipertimbangkjan dengan UNBK.




Tentang “kebersihan UNBK” sendiri khususnya terkait dengan kebocoran patut digarisbawahi. Menanggapi informasi kebocoran soal, sebaiknya pihak Kemendikbud tidak perlu meolak secara serta merta, ada baiknya bersikap proaktif dengan informasi kebocoran itu. Fakta bahwa soal UNBK bocor karena dapat disearching melalui google, yang ternyata sama persis hingga titik komanya dengan soaal UNBK, perlu ditanggapi dengan realistik dan rasional.

Kita tentu sudah tahu berita tentang seorang mahasiswa di Yogyakarta yang memperoleh warning dari Pentagon karena mencoba menjebol masuk. Jika sekelas Pentagon saja bisa “ada slonong boy”, maka, apalagi Puskom Lemendikbud (maaf). Bedanya, Pentagon dapat mengidentifikasi “slonong boy” hingga clue komputernya dan kirim warning tepat ke alamat, Puskom Kemendikbud mungkin tidak dapat menenggarai seperti itu.

Jika bisa bekerja seperti Pentagon, maka warning sudah dikirimkan sebelum diupload yang kemudian bisa diakses melalui google. Kebocoran melalui internet tentu saja efeknya akan lebih cepat dan massal. Jika Kemendikbud tidak mau hal ini berulang kembali, maka jika UNBK akan menjadi keharusan maka sistem pengamanannya harus canggih. Pengusutan kasus yang saat ini terjadi harus demikian presisi sehingga ke depan mampu membaca modus-modus yang mereka gunakan. Jika tidak, maka Kemendikbud harus mau menerima konsekuensi umum bahwa apa yang kita upload adalah bisa dibaca umum, oleh karenanya sifat Rahasia tidak ada lagi.

Dari kasus dua tahun ini menerapkan UNBK, pada dasarnya, sistem ujian apapun selagi masih ada mental pecundang, mental korup, maka kebocoran akan bisa saja terjadi. Kebocoran melalui media sosial sudah barang tentu akan menjadi sangat masal.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.