Kolom Darwono Tuan Guru: KEPADA SIAPA GURU MENGADU?

Darwono Tuan GuruMeminjam terminologi bidang kedokteran, mendiagnosa atas berbagai gejala penyakit (simptom) dengan akurat adalah modal utama untuk mengambil tindakan medis yang tepat. Demikian juga dalam bidang pendidikan, menghadapi hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015 yang rendah,  harus dilakukan serangkaian diagnosa dengan akurat, baik terkait dengan gejala obyektif melalui berbagai analisa data dan fakta  maupun gejala subyektif, gejala yang diakui guru itu sendiri (anamnesa), dimana dokter menanyai tentang apa yang dirasakan pasien.

Hasil UKG adalah sipmptom, seperti misalnya rendahnya kadar Hb (hemaglobin), sedang penyebab munculnya simptom rendah kadar Hb tentu sangat banyak. Demikian juga munculnya gejala rendahnya hasil UKG 2015. Sudah barang tentu faktor penyebabnya sangat banyak.

Memvonis rendahnya hasil UKG tanpa memahami penyebab sesungguhnya adalah sama saja dengan memvonis seorang dengan kadar Hb rendah sebagai pembusukan organ yang harus diamputasi. Dalam konteks ini, guru langsung divonis berkualitas rendah dan harus diganti dengan yang baru. Terlebih dikaitkan pula dengan upaya mensejahterakan guru. Para pengamat yang kurang memahami permasalahan menganggap mubadzir meningkatkan kesejahteraan guru melihat kompetensinya rendah. 

ukgUpaya memperbaiki pendidikan dengan salah satu langkahnya menyejahterakan guru yang telah dirintis oleh Mendiknas pertama era reformasi pada era presiden Gusdur, Prof. Yahya Muhaimin, dengan dihasilkannya UU Pendidikan dan kemudian UU Guru dan Dosen, janganlah diputus begitu saja dengan simptom rendahnya hasil UKG 2015.  Apa lagi mengingat UKG 2015 berulangkali dinyatakan hanya sebagai mapping, pemetaan guru, untuk melakukan langkah-langkah tindak lanjut.

Terkait dengan hasil UKG 2015 yang rendah, sekali lagi, harus dilakukan analisis konprihensip untuk mendapatkan gambaran yang jelas, terutama mendapatkan penyebab sesungguhnya dari rendahnya hasil UKG. Tanpa mengetahui penyebab sesungguhnya maka tindakan kuratif (therapy) atas gejala yang muncul akan bersifat spekulatif, hanya ngoyoworo, yang tidak jelas juntrungnya.

Sebagaimana di dunia kedokteran, untuk melakukan therapi, selain menganalisis gejalai obyektif melalui serangkaian pemeriksaan media, juga perlu mengungkap gejala subyektif, berupa serangkaian pertanyaan yang mengeksplor pasien terkait dengan apa yang dirasakannya, apa yang dideritanya. Untuk diagnosa gejala obyektif, biarlah berbagai data dan fakta dari UKG dianalisis para ahlinya, termasuk dalam hal ini adalah analisis butir soal, redaksional, dan cakupan kontens UKG sesuai kisi yang telah ditetapkan.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan gejala subyektif, sesuai kedudukan penulis sebagai “partisipan” dalam UKG 2016, dengan mencoba memahami kondisi subyektif teman-teman sepenanggungan. Jika ada nada yang seolah membela teman guru, maka hal itu harus ditangkap sebagai kewajaran, karena sebagi guru, penulis tentu harus bisa membela korpsnya.




Kondisi subyektif peserta UKG, guru itu sendiri didominasi oleh alumnus FKIP, Ilmu Pendidikan yang sudah barang tentu konten keilmuan, misalnya Biologi, sangat berbeda dengan  konten Biologi di S1 murni (non kependidikan). Ini adalah konsekuensi bahwa di S1 Kependidikan, paket S1 nya tidak penuh untuk mendalami keilmuannya, namun juga dibagi untuk Ilmu Kependidikannya. Bahkan, konon menurut informasi kawan-kawan guru (kebetulan penulis bukan dari FKIP), mereka dipersiapkan untuk bagaimana mengajarkan materi Biologi SMA misalnya, tidak full untuk mendalami Biologi sebagaimana mereka yang belajar di S1 Biologi. Oleh karena itu, ketika mereka harus menghadapi test yang setara S1 keilmuan, tentu saja, seharusnya diupgrading terlebih dahulu kemampuan biologinya.

Sementara itu, untuk kompetensi pedagogiknya, UKG 2015 konten pedagogiknya adalah aplikasi pembelajaran untuk kurikulum 2013. Padahal realitasnya, kurikulum 2013 itu sendiri masih dalam kontroversi, belum seluruhnya diterapkan oleh guru. Bahkan, lebih memprihatinkan dari itu, baru sedikit sekali jumlah guru yang telah mendapatkan kesempatan pelatihan kurikulum 2013. Oleh karena itu, wajar saja mislanya ketika menjawab soal dengan angka-angka hasil penilaian, peserta terjebak dengan hanya merata-rata dari data itu. Padahal, mungkin yang seharusnya adalah dicari modusnya (yang sering muncul).

Tentu saja banyak hal yang mestinya disampaikan di sini. Namun, 2 hal di atas barangkali  cukup memberi gambaran bagaimana sesungguhnya jika konten UKG adalah setara S1 murni. Maka, peserta UKG sesungguhnya harus diupgrading terlebih dahulu untuk menghadapi UKG. Oleh karenanya, sangat tidak adil jika kondisi yang demikian, yang pada akhirnya menghasilkan UKG yang rendah kemudian dijadikan pisau geluitin memvonis guru.

Untuk upgrading, selain hal-hal terkait dengan kompetensi yang telah diujikan, kompetensi kepribadian dan kompetensii sosial, juga kompetensi spritual sangat perlu dilakukan. Kompetensi spiritual sangat perlu dikembangkan terkait dengan tugas Nation Character Building yang harus diemban oleh guru.

Mudah-mudahan bermanfaat.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.