Kolom Darwono Tuan Guru: Pendidikan Keluarga Modal Utama Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional

Darwono Tuan GuruSejak penulis masih TK di kota kelahiran penulis, Brebes, lagu Murid Budiman merupakan salah satu “lagu wajib” untuk dinyanyikan siswa. Untuk kali ini, mari kita camkan liriknya.

Murid : Oh Ibu dan Ayah selamat pagi, ku pergi belajar sampai kan nanti

Ibu     : Selamat belajar nen penuh semangat. Rajinlah selalu  tentu kau dapat. Hormati gurumu sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman

Lagu pendek tersebut mengisyaratkan makna mendalam tentang proses pendidikan. Secara eksplisit kita dapat melihat bagaimana seorang ibu, orangtua, berperan dalam menjadikan peserta didik siap belajar. Soul, ruh pendidikan pada jiwa anak telah hidup dibangunkan dari rumah, oleh orangtua.

guru 13Sebenarnya, posisi guru dalam sebuah sistem pendidikan sangat tergantung diantaranya dari paradigma pendidikan itu sendiri. Dengan paradigma pendidikan yang ada, maka dirumuskan methoda, model dan pendekatan pendidikan yang sesuai dalam proses pembelajarannya. Sepanjang karier penulis sebagai guru, maka sesungguhnya terjadi perubahan paradigma pendidikan nasional. Namun demikian, sejak era CBSA (cara belajar Siswa Aktif), KTSP, dan Kurtilas, secara eksplisit memang posisi guru sudah bergeser dari posisi sebelumnya.

Jika sebelumnya posisi guru adalah sangat sentral, maka sejak CBSA, bergeser ke posisi siswalah yang menjadi sentral. Oleh karena itu, sudah seharusnya ketika kita mengevaluasi hasil pendidikan kita, maka evaluasi dari “peran sentral” peserta didik itulah yang semestinya lebih dikedepankan.

Ini bukan berarti peran guru menjadi tidak berarti. Guru tetap sebagai figur yang berperan dalam pendidikan. Meningkatkan kualitas guru adalah harus, namun tentu saja akan lebih penting lagi jika kualitas peserta didik, input peserta didik yang akan terlibat dalam sebuah proses pendidikan tentu harus memenuhi kriteria-kriteria atau asumsi-asumsi sebuah sistem pendidikan itu sendiri. Pentingnya input pendidikan bisa dibuktikan dengan diterapkannya seleksi untuk memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi.

Sebuah proses pembelajaran dalam kelas akan berjalan sebagaimana seharusnya, tentu saja ketika sebuah kelas, terutamanya peserta didik, guru dan lingkungannya siap berproses. Guru sebagai pengelola kelas, hadir di kelas, dan menghadapi kelas yang siap berproses. Hanya kelas yang beranggotakan peserta didik yang “siap berproseslah” yang memungkinkan guru melakukan pengelolaan kelas sebagaimana seharusnya.

guru 15Realitasnya, dalam praktiknya, asumsi-asumsi dasar yang harusnya menjadi prasyarat guru-guru Indonesia, pada umumnya menghadapi kelas “yang tidak siap kelola”, “kelas yang tidak siap berproses”. Kehadairan guru di kelas yang seharusnya langsung melakukan proses pembelajaran, sering dituntut untuk mengkondisikan kelas agar bisa memulai proses pembelajarannya.

Jika para pengamat cermat mengamati “kesiapan peserta didik” untuk belajar dari sekolah-sekolah yang heterogen, maka penulis sangat yakin para pengamat itu dengan mudah menemukan fakta “pengganggu” yang mengharuskan seorang guru menunda tahapan-tahapan proses pembelajarannya. Tidak hanya pada awal pembelajaran “pengganggu” itu muncul, dalam tahapan-tahapan berikutnya, selama proses pembelajaran hingga akhir, guru sering berhadapan dengan realitas kurang kondusif untuk sebuah pembelajaran.

Kekurangan fokus siswa dalam kelas, sangat sering menggeser fokus guru itu sendiri dalam melakukan proses pembelajaran. Bahkan tidak jarang, guru harus hilang kesabarannya dan lepas kontrol dari perilaku siswa yang kurang siap “dikelola”.

Kurangnya kesiapan berproses, peserta didik kita, sangat dirasakan oleh teman-teman mereka yang kebetulan sudah mengalami proses pendidikan sebelumnya di luar negeri. Mereka menuturkan bahwa, begitu masuk di kelas, seluruh peserta didik benar-benar fokus mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian, guru dapat mengelola kelas sesuai kaidah-kaidah ideal. Inilah fakta yang kurang mendapat perhatian dalam membicarakan pendidikan.




Kesiapan peserta didik ketika hadir di sekolah untuk fokus pada proses pendidikannya, tentu adalah mutlak hasil  pendidikan keluarga, terutama pada saat-saat awal perkembangan dan pertumbuhannya. Bagaimana keluarga dapat mendidik anak-anaknya untuk menjadi manusia-manusia pembelajar yang siap berproses dalam pendidikan yang dikelola guru adalah modal utama untuk berlangsungnya proses pembelajaran di kelas, yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Dengan demikian, pendidikan keluarga sangat memegang peranan penting dalam sistem Pendidikan Nasional kita.

Fakta bahwa pendidikan keluarga memegang peranan penting dalam membangun perilaku peserta didik adalah dominasinya peserta didik yang bermasalah di sekolah berasal dari latar belakang keluarga yang bermasalah pula, paling tidak sejauh pengalaman yang penulis hadapi. Oleh karena itu, dengan adanya Dirjen Orang Tua, harapan memperbaiki kualitas pendidikan nasional melalui perbaikan kualitas Input dapat dipersiapkan sejak dini.

Keberhasilan kita menyiapkan keluarga-keluarga muda, yang nantinya dapat menghasilkan input peserta didik berkualitas, akan sangat berpengarauh dalam perbaikan kualitas Pendidikan Nasional ke depan. Tentunya, tidak ada jalan pintas dalam berproses.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.