Kolom Juara R. Ginting: ‘Continuity or Discontinuity’ diantara Karo dengan Batak

Juara R. GintingPerkenankan saya memperkenalkan salah satu thema penting terkait diskusi mengenai society (masyarakat), yaitu soal “continuity and discontinuity“. Persoalan ini saya anggap penting terkait diskusi kita mengenai KBB (Karo Bukan Batak). Akan tetapi, persilahkan saya terlebih dahulu menjelaskan sekilas apa itu “continuity and discontinuity“.

Di dalam bahasa Karo ada istilah “selpat dalen ku lepar” yang artinya tidak bisa lagi menyeberang karena “jalan” (atau jembatan) yang MENGHUBUNGKAN kedua tempat sudah terputus. Ini adalah sebuah DISCONTINUITY dari kondisi sebelumnya yang memiliki CONTINUITY.

DISCONTINUITY adalah ketiadaan CONTINUITY.

Saya tampilkan sebuah kutipan dari Kisah Raja Ketengahen (Mitologi penciptaan Karo):

” … Mengingat pesan Datuk Rubia Gande yang menyarankan mereka membakar sabut kelapa hijau bila mengalami masalah di bumi, maka Raja Ketangahen dan Tuan Mandileka Sori melakukannya. Tapi, malang, karena mereka melanggar pantangan Datuk Rubia Gande untuk tidak tetawa saat mereka berada di awang-awang, asap bakaran itu tak lama berselang melengkung dan menukik kembali ke bumi. Karena itu, Datuk Rubia Gande di Dunia Atas tidak mengetahui adanya panggilan kedua cucunya dari bumi ….”

Kutipan cerita itu menyatakan telah terjadi DISCONTINUITY antara Bumi dan Langit. Itulah awal kehidupan di bumi menurut Kisah Penciptaan Karo itu.

Satu lagi contoh DISCONTINUITY dari kutipan cerita Raja Bekelewet (Kisah Kejadian Kinigurun):

” …. Raja Bekelewet dan Sidang Bela pun berjalan menuju KUTA. Tapi, karena Sidang Bela bukan manusia, Dia hanya bisa sampai di JAHEN TAPIN. Karena itu, roh ini disebut juga SIDANG BELA JAHEN TAPIN. Anak-anak mereka yang setengah manusia setengah roh bisa masuk ke KUTA, tapi hanya sementara-sementara waktu karena mereka tidak tahan dengan bau JERANGO. Barulah keturunan mereka di generasi ke tiga, bisa masuk KUTA sepenuhnya ….”

Dari kutipan di atas terlihat jelas adanya wilayah (domain) DI DALAM KUTA dengan wilayah (domain) DI LUAR KUTA.

discontinuity 3TAPIN KUTA berada diantara kedua wilayah itu. “Perkawinan” antara Raja Bekelewet dengan Sidang Bela hanya bisa mengantarkannya ke sebuah wilayah pemukiman di luar kuta, yang biasa disebut wilayah urung.

Wilayah sosial urung adalah kesatuan SEMBUYAK yang dilegitimasi oleh ANAK BERU SENINA. Berbeda dengan wilayah sosial kuta yang menyatukan SEMBUYAK, ANAK BERU, KALIMBUBU, dan SENINA dengan legitimasi ANAK BERU TUA.

Dalam perkawinan NANGKIH, sebuah keluarga (jabu) mendapat tempat di urung dan, oleh karena itu, berhak mengerjakan tanah virilocal (dari pihak keluarga suami), tapi belum berhak melakukan ritual exchange (pertukaran hadiah atau pedalen utang) apapun karena terjadi DISCONTINUITY dengan wilayah sosial kuta.

Berbeda dengan ERDEBU BAYU pengantin pria beserta lokalitasnya diintegrasikan ke KUTA dari pengantin perempuan. Dari KUTA pihak perempuan tidak ada rintangan (discontinuity) menuju BARUNG pihak pengantin pria.

Sederhananya, laki-laki dewasa tinggal di barung (farming area) sedangkan perempuan dewasa tinggal di kuta (village). Makanya laki-laki dewasa tidak lagi bisa tidur di rumah kecuali jambur. Seorang suami harus tidur di jambur bila istrinya tidak sedang berada di rumah di malam hari. Mengapa? Rumah adalah hanya tempat tinggal perempuan (persis seperti di Minangkabau). Laki-laki hanya menempati jabu istrinya di rumah adat. Duda pun harus keluar rumah. Dan, sebuah pemukiman menjadi kuta adalah sejak di sana didirikan satu rumah adat. Jadi, kuta itu adalah kampungnya perempuan.




ERDEMU BAYU bertujuan agar ada CONTINUITY (kesinambungan) antara lokalitas laki-laki (barung) dengan lokalitas perempuan (kuta). Namun, kesinambungan antara keduanya juga bisa berbahaya karena bisa menjadi kabur/ samar PERBEDAAN antara kedua wilayah sosial ini. Untuk menjaga tetap adanya perbedaan maka diberlakukanlah REBU antara mami dengan kela serta antara erturangku dan antara bengkila dengan permain. Mereka-mereka yang rebu dianggap tidak saling melihat dan tidak saling mendengar secara langsung kecuali ada perantara.

Kuta adalah tempat yang menghubungkan sebuah keluarga ke SOCIETY AT LARGE. Di kuta manapun dilaksanakan sebuah kerja erdemu bayu maka perkawinan itu berlaku untuk semua wilayah Taneh Karo Simalem dan berlaku terhadap semua anggota dari Karo society at large. Jadi, ada sebuah CONTINUITY antara KUTA KARO dengan KARO SOCIETY AT LARGE.

Apakah erdemu bayu yang dilaksanakan di sebuah kuta Karo berlaku juga untuk Batak society at large bila seorang perempuan Karo kawin dengan seorang pria Batak?

Sejauh mana legalitas dari suatu kuta berlaku, sejauh itu pulalah dia menjadi bagian. Legalitas kuta Karo berlaku hanya di kalangan Karo dan tidak berlaku di kalangan Batak, maka Karo Bukan Batak.

La lit selpat dalen ku lepar sabab nai nari pe secara budaya la lit kite-kite dalen ku lepar alias DISCONTINUITY.

Catatan kaki: Tapin kuta adalah tempat upacara krusial bagi orang Karo. Idealnya, semua upacara yang dilaksanakan di dalam kuta diawali dengan erpangir (mandi limau) di Tapin Kuta. Meskipun sehari-harinya peserta tinggal di dalam kampung itu, hanyalah dengan ritul erpangir ada akses untuk memasuki kuta.  Kuta adalah tempat leluhur bersemayam. Tapin kuta sehari-harinya adalah tapin diberu (tempat mandi perempuan).







One thought on “Kolom Juara R. Ginting: ‘Continuity or Discontinuity’ diantara Karo dengan Batak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.