Kolom Darwono Tuan Guru: SEKOLAH JANGAN BERSIKAP KONYOL

Darwono Tuan GuruPasca berbagai tindakan pemenjaraan guru atas tuntutan orangtua yang tidak terima perlakuan masing-masing guru, beredar “himbauan” dari Bupati Purwakarta yang intinya adalah sebagai berikut. Mereka yang “tidak mau dididik” sekolah, tidak masuk ke sekolah-sekolah negeri di Purwakarta dan disarankan dididik sendiri oleh orangtuanya. Sepintas himbauan itu akan efektif bisa mencegah “orangtua-orangtua bermasalah” dengan “anak-anak bermasalahnya” masuk ke sekolah negeri, sehingga diharapkan “penyeretan guru ke penjara” oleh orangtua murid juga dapat dicegah.

Edaran Bupati Purwakarta itupun menyebar di ranah publik, khususnya melalui sosial media.

Sepanjang pengamatan penulis, edaran itu mendapat tanggapan sangat positif, dan belum ditemukan tanggapan negatifnya. Artinya, edaran itu benar-benar diterima oleh berbagai komunitas guru yang ada di sosial media. Bahkan sangat antusiasnya dukungan itu, sampai-sampai ada yang berani, mengupload foto dalam “suasana PPDB” (Penerimaan Peserta Didik Baru); dengan gambar Panitia PPDB, orangtua murid, dan calon peserta didik laki-laki berseragam sekolah (SMP). Dilengkapi pula dengan tulisan provokatif, agar sekolah-sekolah tidak menerimanya sebagai peserta didik dalam PPDB itu.

Menurut hemat penulis, tindakan seperti itu adalah konyol. Memang, dengan tidak menerima siswa itu mungkin kejadian sebelumnya yang dilakukan oleh orangtuanya tidak terulang dan tidak ada penyeretan guru ke penjara dilakukan oleh orangtua siswa. Namun demikian, pelarangan atau penolakan anak tersebut di sekolah yang dia guru 18inginkan justru akan menyeret sekolah bersangkutan ke ranah hukum sejak awal.

Jika tanpa alasan yang dapat diterima hukum atas penolakan siswa bersangkutan maka pasal tindakan deskriminatif dan perampasan hak-hak pendidikannya dapat dikenakan kepada sekolah atau, paling tidak, kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Yang dimaksud dengan pengertian tindakan atau perbuatan diskriminasi secara luas (gamblang) tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 3, Undang Undang Tentang Hak Asasi Manusia. Isinya menyatakan bahwa diskrimininasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

JIka kita berempati atas larangan itu, maka kita dapat merasa ketidaknyamanan dari tindakan memprovokasi agar “anak dari orangtua murid” itu tidak diterima di sekolah bersangkutan. Tindakan tidak menyenangkan ini dapat dituntut pidana berdasarkan hukum pidana Pasal 335 ayat (1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

2. Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.




(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Artinya orangtua murid bersangkutan dapat menyeret pihak-pihak terkait dengan menggunakan delik tersebut

Untuk tindakan pencegahan terjadinya kasus berulang, maka ada baiknya sekolah membuat aturan sekolah, yang kemudian menjadi kesepakatan bersama antar sekolah dan semua orangtua murid (tidak hanya calon peserta didik itu sehingga tidak ada tindakan dikriminatif), termasuk dengan klausual yang mengatur bagaimana cara menyelesaikan masalah ketika suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan bersama.

Dalam mengajukan “kesepakatan bersama” itu, sekolah harus menekankan bahwa hal itu untuk keperluan bersama, sehingga proses pembelajaran nantinya berjalan nyaman. Pihak sekolah harus mensosialisasikan kepada seluruh guru dan warga sekolah untuk komitmen pada kesepakatan bersama itu.




Meski tidak diharapkan muncul masalah lagi, namun untuk mengantisipasinya kesepakatan bersama tersebut harus mengatur cara penyelesaian masalah. Sangat penulis sarankan, cara penyelesaian masalah itu mengedepankan musyawarah sebagai nilai yang dijunjung tinggi di negara berpancasila ini. Musawarah bisa berjenjang dari antara orangtua murid dengan sekolah (termasuk gurunya), kemudian antara orangtua, sekolah dan pihak komite (tripartid) yang dapat diwakili oleh tim penyelesaian masalah dari Komite Sekolah.

Terkait dengan tulisan di atas, maka pihak-pihak yang telah meng-upload “gambar” atau mengedarkannya segera untuk menghapus gambar provokatif itu, sebelum pihak orangtua menggunakan pasal tindakan tidak menyenangkan bagi dirinya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.